RAHAN DAN BARMA

MENGINGAT
Penahkah kau mengingat semua yang terjadi dalam hidupmu? Mencoba untuk mengingat semua yang dapat kau ingat tentang kisah hidupmu. Atau mungkin hanya bagian terpenting saja dalam hidupmu. Engkau merasa begitu sedikit dari apa yang telah terlalui yang dapat kau ingat dengan jelas. Penggalan-penggalan kecil dari masa usia tertentu berlalu lalang di benakmu. Tergambar samar detil-detil kecil dan lalu berpindah lagi. Tak semuanya kau ingat. Tak semuanya kau lupakan. Dan semuanya ada dalam ingatanmu. Hanya saja, kadang orang tak terlalu ingin mengingat.

FIRST LOVE
Kedamaian Permai, 22 Agustus 1996

Tidak ada yang tahu kapan musim kemarau akan berhenti. Satu hal yang jelas aku masih sibuk melemparkan bola basket ini ke arah keranjang lapuk itu. Dan ini sudah tembakanku yang ke 120. Keringat masih terus mengucur karena matahari pun masih setia menemani walau sekarang sudah jam setengah lima sore. Di saat aku mulai kelelahan, kulihat adikku masih penuh semangat melemparkan bolanya. Ia memang bertubuh lebih atletis dibandingkan aku. Otot-otot bisepnya begitu mantap walaupun ia baru lulus SD tahun lalu. Namaku Rahan, sedang itu adikku Barma. Seandainya saat ini hujan turun sekalipun ia takkan berhenti berlatih. Barma terlatih untuk bermain basket di lapangan outdoor dalam segala kondisi cuaca, dan itulah yang membuat ia tampak lebih gagah dibanding aku yang akan berada di kantin Bi Yeti saat hujan turun.

“Barma! Sudah panas belum? Ayo lawan aku!” tantangku.

Sudah menjadi kebiasaan kami untuk bermain satu lawan satu sebelum mengakhiri sesi latihan. Dan lihatlah ia mendekat ke arahku sambil mendribel bola di antara kedua kakinya. Wajahnya menyiratkan rasa percaya diri yang tinggi.

“Bola siapa nih?” tanyanya.

“Bolamu lah.”

Ia mulai memantulkan bola dengan kedua tangannya. Bagiku sekilas ia terlihat seperti kiper yang akan menahan tendangan penalti. Barma mencoba menerobos masuk dari sisi kiriku. Aku melangkah mundur untuk menahan pergerakannya, tapi ia melakukan full stop dan langsung menembakkan bola, dan masuk. Aku hanya bisa memungut bola dan melihat wajahnya yang bersinar puas.

“Satu-Kosong!” teriaknya

Sekarang giliranku beraksi. Dengan cepat aku mendribel bola dan mendekatinya dengan perlahan. Tangan Barma berusaha mencuri bolaku, aku mematahkan geraknya dengan merendahkan bahuku. Lalu aku bergerak masuk untuk melakukan lay-up yang tak dapat ia bendung. Kedudukan imbang sekarang. Dan Barma tersenyum padaku. Sekarang ia yang memegang bola. Dengan tenang ia hanya memantulkan bola tanpa bergerak sedikit pun. Aku hanya memasang posisi bertahan. Barma bergerak maju, sedikit kekiri dan melakukan gerak tipuan. Tapi bola membentur ujung sepatunya dan terlepas ke arahku. Tak kusiakan kesempatan itu dan segera kulakukan lay-up yang lagi-lagi tak mampu ia halangi.

“Dua-Satu!” kataku senang

Barma sekarang nampak serius, ia merangsek dengan penuh tenaga ke dalam lingkaran. Bolanya tidak masuk memantul ke luar. Aku merebound bola itu, keluar dari garis tiga angka dan melesakkan sebuah tembakan yang mulus ke dalam keranjang. Dan berakhirlah permainan kami sore itu.

“Tembakanmu makin jitu rupanya?” Barma memujiku.

“Itulah kalau sering latihan. Tubuh akan mengenal polanya dan kau pun tak akan sulit mengenalnya,” jawabku.

Kami pun melangkah pulang ke rumah. Rutinitas sehari-hari kami adalah sekolah, bermain basket, dan belajar komputer (lebih tepat main games di komputer). Antara Barma dan aku banyak kegiatan yang kami lakukan bersama. Tapi ada hal yang Barma belum lakukan saat itu yang telah aku lakukan. Merasakan jatuh cinta pada seorang dewi. Ya, Barma tidak tahu apa rasanya mencintai seseorang. Tidak saat ia duduk di kelas I SMP.

Nama gadis itu Audrey Okta, dan entah mengapa teman-teman di kelas memanggilnya Mimi. Dan aku mencintainya seperti ikan yang merasa tak dapat hidup tanpa air. Seperti itulah aku mencintainya. Maka, aku pun tidak pernah tertarik untuk bolos sekolah. Karena aku tahu disanalah ia akan berada, duduk dengan indahnya di tengah kelas. Dan aku menikmati mencuri pandang ke arahnya. Mengamati setiap gerak-geriknya. Mengukir namanya di meja. Bahkan membuat surat cinta yang tidak pernah diberikan.

Ini cinta yang sulit untuk dijelaskan. Yang membuatku menunduk jika kami beradu pandang. Yang membuatku gugup jika ia menyapa. Yang memberimu semangat lebih saat mengerjakan soal matematika yang sulit di depan kelas. Adakah yang lebih indah dari cinta pertama?


LOVE LETTER– SMPN 14 Palembang, 23 Agustus 1996

Hari itu telah kuputuskan untuk mengungkap semua rasa aneh itu dengan surat. Surat yang kutulis tadi malam. Diatas kertas merah jambu. Semalam jariku menari dan aku menyusun kata-kata terindah yang aku bisa. Ingin menyentuh hatinya dengan tulisanku. Aku memang tak punya cukup nyali untuk bicara langsung. Sepertinya ada tangan gaib yang menundukkan pandangku dan membungkam mulutku jika harus berhadapan dengannya. Dan mulai kuukir pelan-pelan kata demi kata.

“… aku tidak meminta kamu untuk jadi pacarku… biarkanlah waktu berjalan apa adanya… karena kita tidak tahu apa yang ada di depan kita… dan suatu saat nanti… jika bintang kita masih bersinar… aku akan datang mencarimu… dan memintamu untuk mengiringi langkahku.. andai engkau mau..”

Aku bahkan masih takut untuk memintanya menjadi kekasihku. Di dalam surat itu tak sadar jari jemariku mengingkari hati nurani. Apa yang terjadi saat itu tak sedikit pun kumengerti. Tapi kemudian jadilah surat itu begitu saja. Di lembar kedua kutuliskan lirik lagu Forever and One yang sudah kualih bahasakan. Berharap ia tak mengetahui bahwa itu adalah lirik lagu yang sangat populer, dan menyangka ia mengira itu puisi cinta hasil karyaku. Apa yang kulakukan? Aku bahkan telah menganggap dirinya bodoh, padahal adalah aku yang membodohi diri sendiri. Begitulah cinta kukira, atau setidaknya yang terjadi padaku.

Kesempatan datang saat istirahat. Mimi sedang tidak di kelas, sementara Rizki, teman sebangkunya, belum beranjak keluar. Dan kudekati Rizki dengan ragu-ragu.

“Rizki, aku titip ini buat Mimi ya?” pintaku sambil memberikan surat itu.

“Eh, Rahan, ada hati ya ke Mimi? Aku boleh baca nggak?” Rizki malah balik bertanya.

“Udah kasih aja ke Mimi, ngapain sih pake dibaca segala?” bingung campur malu perasaanku.

“Eh, aku kan udah pengalaman, aku mau liat pemilihan kata kamu. Jangan-jangan ntar abis dibaca malah disobek, kan ga enak?” Rizki coba memberikan alasan.

Aku malah jadi bingung setengah ketakutan dan akhirnya mengizinkan Rizki membaca surat itu.

“Ya udah baca gih, tapi jangan kasih tahu siapa-siapa ya? Entar kamu kasihin ya jangan lupa!!” kataku lagi.

“Beres bos!”

Aku pun kembali ke tempat dudukku. Langkah pertama selesai pikirku. Begitu duduk, kuamati Rizki sedang kegirangan menimang-nimang surat itu dan membacanya sambil tersenyum seolah surat itu adalah majalah humor. Kemudian ia melangkah ke arahku sambil tersenyum lebar.

“Kamu pinter ya bikin surat cinta! Aku berikan sekarang ya?” Kemudian ia mencubit pipiku sebelum berlari-lari kecil keluar. Meninggalkanku dalam kebekuan sesaat. Aku sangat gugup saat itu. Aku pikir aku takkan dapat menatapnya kalau ia masuk kelas nanti. Bahkan untuk sekedar mencuri pandang saja. Kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi segera tersusun dalam benakku. Dan aku tak berani mengkhayal lebih jauh.


A BROKEN HEART – Kediaman Keluarga Rahan, 23 Agustus 1996

Aku kembali disini, melihat diriku yang tengah di mabuk cinta. Rahan muda yang menyedihkan, batinku. Ia tak tahu harus bicara apa di telpon nanti. Tentu ia tidak tahu, karena ia tidak akan membicarakan sesuatu yang penting. Bicara cinta pikirnya, dan bukankah cinta itu tidak penting? Ia menuliskan kalimat demi kalimat yang akan ia katakan dalam pembicaraan. Persis seperti seseorang yang sedang menyiapkan rencana curang untuk ujian. Kecil-kecil tulisannya, diatas kertas kusut, dan di bawah lampu temaram.

“Halo, ini dari Rahan, gimana Mi, suratku sudah dibaca belum?”

“Halo, assalamuallaikum, bisa bicara dengan Mimi?”

“Halo, permisi pak, bisa saya bicara dengan Mimi, dari temannya?”

Di luar hujan menetes kecil-kecil. Tapi di atas atap seng itu terdengar berirama buat si Rahan Muda. Seakan tabuh genderang cinta bergema di ruangan itu. Dan itu dia, kini mulai bergerak masuk ke ruang tengah. Uuh, tingkahnya seperti maling kecil, celingak-celinguk memastikan tak ada orang yang masih terjaga di ruangan itu. Tangan kiri memegang kertas kata-kata dengan gemetar, tangan kanan memencet nomor -81160*- leher menjepit gagang telpon. Nada sambung itu lebih mirip bunyi kereta api bagi si Rahan Muda, dan ia mendengarkan tiap-tiapnya dengan amat seksama. Dan saat suara di ujung sana berkata, “Halo?”, Rahan muda terkejut dan tersadar, itu suara Mimi!

“ha.. Halo Mimi, met malem, ehm ganggu nggak nih?”

“Eh? Siapa ya? Suara di ujung sana bertanya

“Ini aku, Rahan” gemetar suaranya

“Oh, ada apa nih?”

“Mimi, udah baca suratku yang tadi kan?”

“Iya, udah koq, makasih ya” jawabnya dengan halus

“Ehm, nggak marah kan? Ya udah deh, makasih ya Mimi. Udahan dulu ya”.. klik… Si Rahan bodoh menutup telponnya dengan mata memejam.

Aku melihat lagi kebodohanku. Rahan Muda menutup telpon itu dengan hati gembira, ia bernyanyi kecil, angin kencang dan suasana orang jatuh cinta menerpanya. Dengan pelan ia kembali ke ruangan atap seng yang tidak lain adalah kamar tidurnya. Ia tarik selimutnya setelah memadamkan lampu. Ia ingin berkhayal indah, tapi apa daya ia teringat.

“Mimi, UDAH baca suratku yang tadi kan?”

Ia tersadar sekarang, Mimi mengiyakan pertanyaan sudah atau belum membaca surat. Dan itu bukan berarti Mimi menerima cintanya. Menerima sesuatu yang tidak penting darinya. Rahan Muda terperangah, napasnya tak teratur. Dan ia tahu, malam itu ia tak akan tidur nyenyak. Urusan yang tidak penting sering kali mengganggu ketenangan seseorang. Aku berlalu.

–//–

Bagi Rahan Muda, cinta adalah sesuatu yang sangat indah. Suatu perasaan yang menyenangkan dan berlebihan hingga hatinya tak mampu menguasainya. Angan-angan indah itu terpaksa terhenti tiga tahun kemudian. Rahan Muda mengetahui cintanya tak berbalas, dan seketika itu pula apa apa yang tadinya terlihat indah, sekarang berubah menjadi serbuk abu. Mati dan menumpuk di dalam hati itu. Rahan Muda terluka dan ia tidak tahu bagaimana mengobatinya.


MY BROTHER’S GIRLFRIEND
Palembang, Juni 01

Aku tak ingin kembali ke titik ini. Aku mengenali bau hari ini. Ya, sekarang tercium jelas olehku, ini bau darah. Dan dua orang yang disana, tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini. Mungkin, semua orang tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini. Aku kini, meskipun aku tahu, tapi aku tidak bisa mengubah keadaan. Aku tak nyata saat ini.

–//–

SMAN 14 Palembang, Juni 2001

“Oy gilo, kemano be kau ni? Mak ini ari la jarang nian latian basket.” Boy nyerocos seenaknya persis di kuping Barma.

“Iyo Rahan, adek kau ni mak ini ari la dak lagi gilo bola, becinto tulah gawenyo mak ini ari.” Sambung Firman.

“Kudenger-denger kau ni pacaran dengan mak wong ye?” si Boy semakin menjadi.

“Lemak be, mak wong, maknyo budak-budak kali ye. Kamu ni pacaknyo sirik be, dak seneng turuti.” Barma membalas dengan tersenyum.

“Berapo taun pucuk kito umur dio tu Ma?” tanya Syarif.

“Empat taun jok, bukan level kamu lah pokoknyo.” Barma kembali cekikikan.

Di kejauhan ada sosok gadis semampai bersender di pintu Starlet merah. Gadis itu menatap ke arah mereka. Ia mengenakan celana blue jeans, dan t-shirt putih bertuliskan “YOURS” tepat di bagian dadanya. Sangat kontras ia di tengah kerumunan siswa-siswi berpakaian seragam SMA itu. Kalau tidak salah namanya Ayu.. dan aku lupa kepanjangan namanya. Barma cerita ia kuliah di fakultas sastra di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Menurut Barma, Ayunir sangat dewasa, bijak, enak diajak bicara. Tapi kupikir itu semua hanya karena ia baru jatuh cinta. Aku pernah sekali berbicara dengan Ayu, tapi menurutku ia aneh. Ia tak pernah memposisikan dirinya jadi dirinya sendiri. Duh, kok aku justru jadi ribet. Maksudku, … aku merasa ia penuh kepalsuan. Tapi ya sudahlah aku tak mau ambil pusing. Ah, sekarang aku ingat Ayunir namanya. Ayunir Ayu kepanjangannya. Ay adalah panggilan sayang Barma untuknya. Kurasa itu bukan panggilan sayang, hanya saja ia tak mungkin memanggil gadis secantik itu Unir bukan? Ya, lebih tepat disebut panggilan terpaksa, mungkin.

“Ai, dijemput caknyo tu?” kata Boy setengah iri.

“Ne, diomongke dateng nian wongnyo. Panjang umur caknyo tu.” tambah Firman.

“Pelah e, anak mudo duluan. Kagek sore jadi kito sparring dengan budak UNSRI? Agek aku ke Pusri abis dari rumah Ay. Ka Rahan, Arma pegi ye!” Barma pun bergegas.

Barma berlari kecil ke arah Ayunir. Kulihat Ayunir melemparkan kunci Starletnya pada Barma. Barma menangkapnya sebelah tangan, ia mendekat dan pipi mereka bersentuhan. Sebuah adegan yang membuat iri mahluk lain di sekitarnya. Kepala Barma berputar dan mereka berdua tersenyum sembari melambai ke arah Firman, Boy, dan Rahan Muda. Barma memutari mobil dan masuk dari pintu kanan. Rahan Muda dalam hati kecilnya ingin Barma bersamanya, bukan, Rahan Muda cemburu karena Barma nampak bahagia dengan Unir. Tetapi sungguh, kini aku berharap wanita itu tak membawanya pergi saat itu. Dia semestinya pulang ke rumah bersamaku. Atau? Ah entahlah.

–//–

catatan kaki:
1. “Oy gilo, kemano be kau ni? Mak ini ari la jarang nian latian basket.”
1. Hey gila, kemana saja kamu? Sekarang ini sudah jarang sekali latihan basket.
2.“Iyo Rahan, adek kau ni mak ini ari la dak lagi gilo bola, becinto tulah gawenyo mak ini ari.”
2. Iya Rahan, adikmu ini sekarang sudah tidak suka lagi main bola, pacaran saja kerjanya sekarang.
3. “Kudenger-denger kau ni pacaran dengan mak wong ye?”
3. Aku dengar kau pacaran dengan yang lebih tua ya?
4. “Lemak be, mak wong, maknyo budak-budak kali ye. Kamu ni pacaknyo sirik be, dak seneng turuti.”
4. Enak saja, lebih tua, ibunya anak anak kali ya. Kalian ini bisanya sirik saja, kalo engga senang ikutin dong
5.“Berapo taun pucuk kito umur dio tu Ma?”
5. Berapa tahun di atas kita umur nya dia itu Barma?
6. “Empat taun jok, bukan level kamu lah pokoknyo.”
6. Empat tahun bro, bukan kelas kalian lah pokoknya
7. “Ai, dijemput caknyo tu?” = “wah sepertinya dijemput nih?”
8. “Ne, diomongke dateng nian wongnyo. Panjang umur caknyo tu.”
8. Baru saja digosipin malah beneran datang. Panjang umur nih pasti.”
9. “Pelah e, anak mudo duluan. Kagek sore jadi kito sparring dengan budak UNSRI? Agek aku ke Pusri abis dari rumah Ay. Ka Rahan, Arma pegi ye!”
9. Mari, jagoan pergi dulu. Nanti sore jadi kita tanding lawan anak UNSRI? Nanti aku ke Pusri selepas dari rumah Ay. Ka Rahan. Arma pergi ya!”


DEAD PARENTS & LOST BROTHER– Kediaman Keluarga Rahan, Juni 01

Aku tidak bisa disini, aku tak ingin disini. Tapi semua semakin jelas, yang kabur semakin nyata. Aku tak akan masuk lebih jauh lagi. Aku lihat langkahku dari kejauhan. Tubuh kurus, tinggi, kacamata, rambut acak-acak. Ya, aku memang nampak kacau sekali hari itu. Aku berjalan sambil membaca koran. Aku mendekat. Semakin mendekat, mendorong pintu pagar besi dengan sebelah tangan, sambil tetap membaca. Aku menahannya agar tidak masuk ke rumah, dan Rahan Muda pun berhenti seolah mengerti. Rahan Muda berbalik. Rupanya, ia hanya merapatkan kembali pintu pagar, dan berbalik kembali menembusku. Di teras, ia duduk di kursi plastik, meletakkan koran, melepas ikatan tali sepatunya.

“Assalamuallaikum” salam Rahan Muda. Tak ada jawaban. “Bu, Yah?” ia memanggil. Tapi tetap tak ada sahutan. Ia membuka pintu, ternyata tak dikunci. Aku harus pergi! Aku tak bisa berada disini!!

Rahan Muda melangkah masuk tapi ia terhenti di langkah pertama. Ayah telah terkapar bersimbah darah di ruang tamu kami. Meja terguling, di lantai banjir darah ayah. Punggung ayah terluka bekas sabetan benda tajam, dan matanya tak terpejam. Bumi tempat berpijak terasa menghilang, kedua kaki Rahan Muda terasa lemas. Ia menjatuhkan sepatunya. Rahan Muda berpegangan pada dinding agar tidak rubuh. Ia menyeret langkahnya sangat perlahan dan dari ujung dinding ia melihat. Ibu. Ibu yang sangat dicintainya ada dibawah meja makan dengan sekujur tubuh penuh luka bacok.

Rahan menarik kembali kepalanya perlahan. Punggungnya disandarkan pada dinding dan perlahan kakinya merosot jatuh tak lagi mampu menumpu. Ia pun terduduk dengan bersandar di dinding. Kepalanya memberat, sementara di telinganya terngiang lagu yang sering dinyanyikan ibu untuknya.. “Tidurlah nak… anakku sayang, pejam matamu hilangkan lelah… Tidurlah nak… buah hatiku… biar kau mampu… bermain lagi…

Semakin lama semua semakin menghitam bagi Rahan Muda. Berat beban itu tak tertanggung oleh jiwa rapuhnya. Dan ia berada di ambang batas.

–//–

Seperti hujan yang turun tiba-tiba. Tiada yang mengira kalau ada garis seperti ini. Lelah ku bercampur dengan kesal. Adapun Barma, Ia tidak tahu apa-apa tentang ini semua. Di kepalanya saat ini hanya ada wanita itu. Ayah dan Ibu bersimbah darah seperti itu, dan aku bahkan tak bisa menangis untuk mereka. Larik-larik gelisah ini semakin menjadi. Sementara Barma duduk dengan tenangnya di depanku kini. Para tetangga telah menceritakan semua yang terjadi tadi sore padanya. Ia baru pulang. Dan hanya diam saja dari tadi. Kini orangtua kami terbungkus rapi oleh kain kafan dan para tetangga melantunkan lagu-lagu indah untuk mereka.

Mata kami bertemu, dan aku mencoba memancarkan semua emosiku padanya. Bibirku terbungkam rapat, tanganku mengepal keras, gerahamku saling mengatup. Barma tidak membalasku, ia menunduk. Pandangnya lalu dilempar ke atas langit-langit dan sebelah tangannya ia angkat menutupi wajahnya. Aku tahu, ia merasakan emosiku. Hening diantara kami semu adanya. Di dalam kepalaku masih tergambar jelas semua darah itu. Mata Ayah yang mendelik, dan di telingaku terdengar orang bersahut-sahutan, “Kemana saja kau tadi?”. Perutku semakin mual penuh rasa muak, hingga akhirnya bibirku bergerak.

“Kemana saja kau tadi sore Ma?”

Yang ditanya menghela napas panjang. “Di rumah Ay, Bang Rahan.”

“Menurutmu ini semua perbuatan siapa Ma?”

“Entahlah bang, Tuhan sendiri barangkali” Barma menjawab datar.

“Kau ini bicara apa?! Memang sudah gila otakmu dibikin wanita itu?” pekikku tertahan.

“Hey Barma dengar kau ya, apa kau tak malu pada Ayah dan Ibu yang meregang nyawa sedang kau asyik pacaran?” keluar sudah yang tertahan dari mulutku.

Barma hanya menyeringai dibalik tangan yang menutupi separuh wajahnya. Ia lalu menarik kursinya ke arahku, mencondongkan tubuhnya dan berkata pelan, “Justru Abang yang terlihat tak waras saat ini bagiku. Memangnya Abang mau aku bagaimana? Meratap? Bang, Ayunir ga ada kaitannya sama kematian Ayah dan Ibu, gak ada.”

“Pokoknya Abang nggak suka kau menganggap enteng kepergian Ayah dan Ibu, mereka dibunuh Ma! Di-Bu-Nuh!”

Hening sejenak diantara mereka berdua. Kulihat jelas betapa aku tak mampu mengontrol emosiku saat itu. Sementara Barma sibuk menggerakkan jari-jarinya. Itu adalah kebiasaannya jika sedang merasa gugup.

“Bang, dibunuh itu hanya cara. Lagian semua orang pasti mati. Tak ada yang perlu kita lakukan bang. Tak perlu marah, tak perlu kecewa, tak perlu pula dendam.”

“Aku nggak bisa mengerti kau Ma. Selama ini aku pikir kau dan aku dibesarkan dengan cara yang sama. Tapi lihat kau yang sekarang, baru tiga bulan pacaran, omonganmu udah sama nggak jelasnya dengan anak itu.”

“Abang kira aku terpengaruh Ay? Ay hanya menunjukkan bang, filsafat hidup yang ia pelajari dari kuliahnya. Kebanyakan yang ia bilang, bukan asal ngomong.” Barma kembali membela kekasihnya.

“Filsafat hidup taik kucing! Aku gak perduli ia mau dari mana, kuliahnya belajar apa. Aku cuma mau kamu jadi diri kamu sendiri. Jangan ikutin omongan wanita itu Barma.”

“Abang boleh bicara ama diri sendiri, boleh sok stress, tapi aku nggak akan ikut-ikutan layu cuma gara-gara masalah seperti ini.” Lalu ia beranjak bangkit dari bangkunya.

“Demi Tuhan Barma?! Orang tuamu meninggal dan kau bilang cuma? Sampai hati kau??” aku meneriakinya dengan keras.

Kemudian kulihat diriku sendiri menangis terisak–isak. Aku menyadari bahwa aku kehilangan segalanya. Orang tua dan juga saudaraku satu-satunya. Aku tak tau seberapa erat hubungan Barma dan Ayunir, tapi yang jelas Barma sudah berubah. Dan aku membenci Ayunir yang membuatku kehilangan saudaraku. Aku ingin saudaraku kembali.

–//–

Malam itu terasa sangat panjang. Tetanggaku dan beberapa temanku masih terus menyanyikan nyanyian untuk ayah dan ibuku. Mereka berganti-gantian sepanjang malam. Mungkin itu sebabnya aku sulit untuk tidur, mungkin karena suara mereka terlalu keras. Tapi aku pun masih memikirkan perubahan yang terjadi pada Barma. Atau mungkin aku yang salah dan Barma yang benar? Masihkah ada yang salah dan yang benar? Baik dan buruk? Mengapa aku seolah hanya ingin memaksakan jalan pikiran Barma sama denganku. Tentunya ia pun sudah cukup dewasa dan mampu berpikir sendiri. Namun mengapa aku begitu gusar padanya? Aku tak yakin Barma tahu apa yang ia katakan. Tapi aku juga tak yakin dengan apa yang kukatakan. Tuhan, kau dimana?

–//–

 

EPISODE BINTANG-BINTANG
Digariskan disana sepanjang nestapa…
Larik- larik cahaya menembus bayangan
Ada yang terkubur dan ada yang terlahir..
Tuan yang durjana kapan kau mati?
Jangan bawa adikku…


WEIRD CONDOLENCES

Kamar Ayu Ayunir .. (saat yang sama Barma dan Rahan bertengkar)

“Aku ini wanita jalang dari kumpulannya terbuang”
(tulisan di pintu kamarnya)

Gadis cantik itu terbaring di kasurnya. Badannya sungguh indah terbungkus piyama. Ia tidur. Ia tidur setelah menuliskan sesuatu yang panjang di sebuah buku besar berwarna hitam. Aku bergerak menembus sampul buku dan mulai membacanya….

Kematian adalah anugerah terindah yang dicapai manusia di penghujung hidupnya. Kematian dinantikan semua manusia. Beberapa bahkan rela mencarinya demi mempercepat kedatangannya. Manusia adalah makhluk yang sempurna. Manusia memiliki akal. Oleh karena itu manusia punya kemampuan membuat keputusannya sendiri. Tidak ada yang berhak mencela keputusan manusia lain karena itu adalah sebuah kekejian. Maka percayailah bahwa kematian itu bukan jalan yang terputus. Kematian adalah titik sambung. Dan hidup hanyalah awal. Kematian adalah perantara. Sesungguhnya ada dunia diatas dunia manusia. Dan kesanalah kita semua akan pergi. Dan kesanalah yang bernyawa akan pergi.

Aku membacanya dengan rasa takut. Aku merasa gadis ini seorang psikopat. Entah mengapa aku sangat yakin tulisannya di buku itu adalah semacam penghiburan untuk hati adikku yang sedang terluka karena kematian ayah dan ibu. Dan tulisan semacam itu masuk begitu saja meresap sedalam-dalamnya ke pikiran adikku. Ia masih muda. Sementara apa yang ditulis wanita ini bukanlah sesuatu yang biasa. Wanita ini jenius seperti iblis yang sudah hidup ribuan tahun lamanya. Mungkin ia memang iblis? Kalaupun benar, aku tak dapat berbuat apapun. Aku hanyalah wujud tak nyata. Tak bisa melawan.

Gadis itu terbangun, matanya merah.. ia mengikat rambut pendeknya dengan karet dan ia duduk mengawasi sekitar kamarnya, seolah ia tahu kehadiranku disitu. Ya, kurasa ia tahu. Tidak. Ia memang benar-benar tahu. Ia merasakanku. Ia menggerakkan tangannya ke arahku. Ia menembusku.

“Siapa kau?!” teriaknya

“Siapa disana?”pekiknya lagi.

Ia nampak mulai histeris dan melemparkan semua buku di mejanya kearahku. Tentu semua menembusku. Aku tak bermaksud mengganggunya. Dan aku pun menghilang dari kamarnya. Tapi, siapa wanita ini sebenarnya Tuhan?


THIS IS NO LONGER MY HOME

Itu adalah sore yang biasa. Aku duduk di teras depan dengan sebatang rokok yang belum kunyalakan. Sekarang, saat orang tua sudah tiada seperti saat ini, aku berfikir, apa yang dilakukan oleh orang lain yang mengalami hal yang serupa. Penyebab kematian tentunya bisa sangat beragam, dan tidak ada satu pun yang menyenangkan. Hanya saja, ketika kematian datang begitu mendadak, orang yang ditinggalkan tidak bisa melakukan persiapan apapun. Ya, yang mati akan tetap mati, dan yang hidup akan harus tetap menjalani hidupnya, hari-harinya. Tanpa tahu apa yang tersimpan untuknya di masa depan.

Baru beberapa saat saja setelah aku menyelesaikan ujian akhir SMA ku, dan sekarang aku dihadapkan dengan pilihan yang sederhana, kuliah atau kerja. Setiap kali aku berada di dalam, bercak darah yang telah dibersihkan masih membekas jelas di ingatanku. Aku masih dapat melihat mereka meninggal dengan begitu menyedihkan. Aku tak tahu, apakah aku akan pernah mampu untuk melupakannya.

Apakah aku saat ini depresi? Apakah keputusanku untuk kuliah atau untuk kerja nanti merupakan keputusan yang benar? Bagaimana aku tahu keputusanku tidak terpengaruh oleh emosi? Satu-satunya yang aku tahu untuk saat ini adalah aku tak lagi sanggup untuk tinggal di rumah ini. Ini bukan lagi tempat kembali untukku.

Meski apapun yang terjadi, aku sama sekali tak ingin tahu alasan mengapa orang tuaku dibunuh dan siapa yang membunuh mereka. Aku ingin untuk bisa melupakan, untuk bisa melanjutkan hidupku. Itu saja. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Barma, tapi kurasa ia lebih tegar daripada diriku, itu jika melihat tingkah laku dan kata-katanya kemarin. Apakah ia tegar karena ia memiliki pasangan? Apakah ia sanggup untuk tegar karena ia laki-laki dan memiliki Ayunir? Ya. Pasti itu jawabnya mengapa ia begitu berupaya untuk tidak terusik. Ia ingin untuk kuat, demi kekasihnya.

Sedangkan aku? Aku saat ini tidak memiliki siapa-siapa. Barma adalah satu-satunya orang yang bisa kuajak bicara. Semua pikiran-pikiran ini hanya melingkar dan terus berputar di dalam benakku. Ketika orang tuamu mati, hidup seakan tak memberikan banyak pilihan. Kecuali untuk tutup mata dan terus menjalaninya, seperti tak pernah terjadi apa-apa.

–//–

Barma pulang malam itu, dan aku baru saja selesai mencuci piring seusai makan malam. Dia memanaskan air untuk membuat kopi hitam kesukaannya. Aku duduk di meja makan, menatapnya dengan penuh tanda tanya.

“Apa yang kau lihat, Bang?” ucapnya

“Kau,” kataku.

“Ada apa?”

“Aku ingin tahu, apa yang harus kita lakukan, sekarang hanya tinggal kita berdua yang tersisa,” kataku lagi.

“Abang ada rencana apa?”

“Terus terang, aku tak bisa lagi tinggal di rumah ini. Tadi sore aku sudah hubungi Om Hendra, menanyakan berapa harga rumah ini, dan apakah dia bersedia membelinya.”

“Kita jual rumah ini? Boleh. Abang tinggal di mana?”

“Aku, kalau rumah ini jadi dibeli om Hendra, aku mungkin akan ke Bandung, kerja atau kuliah, aku belum tahu persis. Bisa juga dua-duanya.”

“Kuliah lah Bang, sayang kalau Abang ga jadi apa-apa. Bukannya Abang mau masuk UI?”

“UI? Universitas negeri bukan pilihan utamaku sekarang. Aku ambil D-3 Komputer saja atau yang semacamnya. Kau sendiri?”

“Ya, tempat tinggal bukan masalah untukku. Masjid sekolah ada. Di organisasi ada. Di klub basket ada. Aku bisa tinggal dimana saja. Aku mau teruskan basketku sajalah.”

“Kau .. engga masalah .. Kau setuju rumah ini kita jual?”

“Jual saja semua yang bisa dijual. Kita butuh biaya untuk mulai hidup baru bang.”

Airnya mendidih. Barma membuat kopi hitam kental dan menambahkan setengah sendok gula manis. Dia duduk di depan TV dan menyalakan rokoknya. Mendekatkan asbak dan gelas kopinya.

“Kau sudah makan, Barma?”

“Ini sajalah. Aku tidak lapar.”

Dan aku pun beranjak ke kamar tidur. Melarutkan diri dengan alunan lagu Rick Price hingga aku jatuh tertidur. Semoga tidak mimpi buruk.

— // —
Why I live in despair?
Cause wide awake or dreaming
I know she’s never there
And all this time I act so brave
I’m shaking inside
Why does it hurt me so
(Rick Price – 1992 – Heaven Knows)


THIS IS FAREWELL – Juli 2001

“Rokok?” ucapnya seraya menawarkan sebungkus Marlboro yang baru dibukanya.

“Ngga lah, nanti saja sehabis makan di Pagi Sore,” jawabku.

Dia mengambil sebatang dan menyelipkan ke sela bibirnya. Ada sesuatu yang khas dari cara Barma menahan batang rokok di sela bibirnya. Ia menjepitnya dengan agak miring. Ia pernah bilang padaku suatu ketika, “Bang, look at me, begini cara Andy Lau merokok.” Dan sejak saat itu ia selalu tampil dengan gaya ‘Andy Lau’nya. Ia lalu mengambil zippo dari saku jaketnya dan menyalakan rokok tersebut.

Saat itu kami sedang berada di Kolonel Atmo, banyak pool bis antar kota disana, dan aku akan berangkat dengan bis. Menempuh 18 jam perjalanan dengan satu-satunya hiburan adalah walkman dan beberapa kaset yang sudah kusiapkan. Tidak ada yang bisa membunuh kebosanan selain musik. Tapi saat ini musik dan baterai walkman bukanlah hal yang mengganggu karena aku sudah mempersiapkannya tadi malam.

Hari ini, aku akan meninggalkan kota Palembang dengan tujuan Bandung. Meninggalkan masa lalu demi menuju masa depan. Meninggalkan kenangan buruk suatu pembunuhan dengan berharap bertemu keajaiban. Meninggalkan satu-satunya anggota keluarga yang tersisa. Yang terakhir ini tidak akan tergantikan. Aku tak tahu mengapa aku harus meninggalkan dia. Haruskah aku meninggalkan satu-satunya keluargaku yang masih hidup? Aku mungkin tidak ‘harus’ meninggalkan dia, tetapi dengan kepergianku ini, aku ‘akan’ meninggalkan dia. Apakah orang lain juga memikirkan keluarganya seperti ini? Sedalam ini? Ketika mereka akan berpisah? Ataukah orang lain memikirkan keluarganya seperti ini, setiap saat? Apakah keluarga harus selalu saling berada di sisi satu sama lain?

Aku kembali teringat saat ibu dan ayahku masih hidup. Aku selalu berkeras ingin pergi dan kuliah di luar pulau Sumatera. Aku ingin melihat pulau Jawa, aku ingin melihat tempat-tempat lain, aku tidak ingin menjadi sekedar katak dalam tempurung. Selalu alasan yang itu-itu juga kugunakan dalam argumenku dengan orangtuaku. Dan saat tensi perdebatan memanas, ibu selalu mengucapkan argumen yang sama,“Tapi keluargamu disini, Nak. Ya kan?” Argumen yang sama, kata-kata yang sama, selalu, setiap waktu. Aku selalu mereda, dan memutuskan untuk mengalah setiap kalinya pula, hingga pada suatu saat aku lepas kendali dan berkata, “Ya, keluargaku memang disini, tapi coba jelaskan lagi padaku, apa pentingnya keluarga untukku? Jelaskan, ayah ibu. Karena Rahan punya mimpi. Dan bila terus seperti ini, Rahan hanya melihat keluarga sebagai penghambat.”

Aku mengucapkannya dengan pelan. Tetapi ibu langsung menangis. Sedangkan ayah menatapku dengan sangat marah, lalu ia membuang badan dan melangkah ke luar rumah. Ibu yang menangis membuatku merasa bodoh dan bersalah. Aku menunggu ia selesai. Dan tatkala ia sudah mengusap air matanya, ia hanya berkata, “Minta maaflah pada ayahmu.”

Malam harinya, ayah, ibu, aku dan Barma, kami semua berkumpul. Ini rutin, dan biasanya ayah akan memberikan wejangan panjang lebar. Tetapi malam itu tidak, beliau hanya berucap, “Putraku, lakukan apa yang ingin kalian lakukan, kami akan selalu mendoakanmu.” Lalu keduanya masuk ke kamar tidur. Meninggalkan aku dan Barma di ruang keluarga. Omong kosong apa ini pikirku. Apakah ini cara mereka menghukum kesalahanku? Aku tak pernah mengerti.

“Bang, menurut abang Ayunir gimana orangnya?” ucapan Barma menghamburkan lamunanku.

“Ay? Kamu minta pendapat abang soal Ay? Hmm … gimana ya, anaknya cantik, otaknya agak keblinger, tapi itu bukan masalah sih ya …”jawabku.

“Terus, kok berhenti? Kalo itu bukan masalah, apa masalahnya?”

It’s obvious, can’t you see? She’s older than you. Dia lebih tua daripada kau.”

“Emang itu masalah?”

“Oh ya. Jelas. It is a problem. A big one.”

“Aku ga ngerti.”

It’s like this. Wanita yang lebih tua, hubungan dengan pria yang lebih muda, itu biasanya hanya untuk senang-senang, biar unik. Beberapa orang senang sesuatu yang melawan arus. Orang-orang semacam ini tidak suka dengan segala sesuatu yang berbau mainstream, mayoritas. Cewek lain suka boysband, mereka suka musik lain. Cewek lain suka boneka, mereka suka hobi yang lain. Cewek lain tidak suka rokok, mereka suka. Cewek lain suka pria tua, mereka cari pria muda. Now, can you see the pattern? Mereka selalu ingin beda.”

“Trus apa masalahnya? Panjang lebar, tapi masih ga jelas apa masalahnya?

“Tidak masalah memang. Jika bisa konsisten. Sayangnya, sikap rebel kaya gini hanya sementara saja Barma. Hingga pada suatu titik, mereka akan perlu menikah, dan mereka akan mencari pria yang lebih tua, hanya karena satu alasan, wanita selalu, catat omongan Abang, selalu mencari pria yang mapan. Bila ada pilihan antara yang mapan dan yang tidak mapan. Common sense wanita akan tuntun mereka pilih yang lebih mapan. Itu tentunya masalah bagi pria yang muda.”

“Tidak jugalah, artinya selama Barma bisa mapan, Ayunir akan selalu ada di sisi Barma kan? I think I can do that.”

“Oh ya? Maybe, it’s possible. Tapi, ada satu hal lain lagi, hingga pada suatu saat wanita yang lebih tua akan selalu mencari alasan untuk mengatakan bahwa pasangannya kekanak-kanakan. Dengan kata lain, mereka akan merasa tua.”

What? It doesn’t even make sense.

It is. Wanita di rumah. Pria kerja di luar rumah. Mereka akan selalu mencurigai kita punya affair dengan wanita yang lebih muda.”

This is bullshit. How do you come up with all that?”

It’s true.”

Bullshit.”

That’s how it works.”

You’re mysogynist. That’s what you are. A big one.”

“Call me what you like. I stand true to my words.”

Ia memukul bahuku pelan. Dan kami berdua tertawa lepas. Meskipun siang itu seperti biasanya di Palembang mentari bersinar sangat terik, tapi aku merasakan hangat saat itu. Benar-benar situasi yang bisa dinikmati. Aku suka berbicara dengan adikku. Mungkin aku seharusnya lebih sering berbicara dengannya sebelum ini.

Dan bis yang akan membawaku pun datang. Petugas pool mulai meminta penumpang untuk naik dan aku serta Barma naik ke atas bis. Ia membawakan salah satu tas yang berisi pakaian. Aku duduk di kursi 2A, selang satu baris dari kursi supir. 2A berarti aku duduk dekat dengan jendela, dan aku suka duduk disana. Entah mengapa nuansa perjalanan akan lebih terasa jika duduk dekat jendela.

“Oke, Barma pulang ya bang. Hati-hati dijalan.”

“Kau juga, jaga dirimu baik-baik. Ayunir, sampaikan saja salamku.”

“Sip.”

“Oh ya, ada satu hal yang ingin kutanyakan. Aku sudah lama penasaran.”

Shoot it.”

“Ingat waktu ayah bilang ‘lakukan apa yang ingin kalian lakukan, kami akan selalu mendoakanmu’? Apa maksudnya? Apa itu tulus? Kukira mereka marah padaku.”

Barma tersenyum kecil.
“Abang, abang. Kukira mau tanya apa. Namanya orang tua manapun, ingin anaknya ada di dekatnya jadi bisa diawasi, dirawat, diasuh, dijaga. Kalau anaknya jauh, orang tua hanya bisa mendoakan. Apapun yang terjadi, tidak ada yang bisa dilakukan ayah dan ibu, kalau abang jauh. Dan itu sangat berat. Udah ya. Bye.”

Bye.”

Sial. Aku tak tahu itu. Aku semakin tenggelam dalam rasa bersalah. Dan bis yang kunaiki mulai berjalan pelan. Saat aku memandang keluar, tak lagi kulihat Barma. Aku tak punya siapapun untuk kulambaikan tangan saat terakhir meninggalkan Palembang. This is farewell. Ya, inilah perpisahan.

If blood will flow when flesh and steel are one
Drying in the colour of the evening sun
Tomorrow’s rain will wash the stains away
But something in our minds will always stay
Perhaps this final act was meant
To clinch a lifetime’s argument
That nothing comes from violence and nothing ever could
For all those born beneath an angry star
Lest we forget how fragile we are
(Sting – 1987 – Fragile)


A NEW PLACE

Bandung. Parahyangan. Padjadjaran. Pasundan. Aku tak pernah benar-benar tahu persis apa beda ketiga P tersebut. Aku datang saat itu dengan tumpukan uang hasil penjualan rumah bersarang di rekening bank. Suatu kesempatan untuk memulai hidup baru. Dan aku benar-benar sendiri. Apakah akan ada sesuatu yang indah menantiku di sini? Well, I don’t know. Perhentian pertamaku adalah kunjungan sementara pada teman masa kecilku yang menghabiskan masa SMA nya di Bandung. Namanya Andromeda. Ia tinggal di Daerah Haji Akbar, Kebon Kawung, dimana kuhabiskan dua minggu pertamaku bersamanya.

Teman masa kecil selalu menyenangkan, kurasa karena kami punya banyak kenangan untuk diperbincangkan. Aku melihat tinggi padanya, karena ia adalah anak yang sangat rajin, dan punya kepribadian hangat. Lama tidak bertemu, aku jadi sadar bahwa selama ini aku memang katak dalam tempurung. Dari Andromeda aku belajar beberapa hal yang bisa jadi merupakan pengetahuan umum, tapi datang dari seorang teman, hal-hal semacam itu sangat mempengaruhiku.

Di Bandung, terutama di daerah haji Akbar ini, banyak sekali gang-gang sempit dan tentu orang-orang duduk maupun pejalan kaki lain adalah suatu hal yang biasa ditemui. Kata punten atau permisi seraya sedikit menundukkan badan adalah tanda kita menghormati orang lain. Sederhana, tapi aku sungguh tidak terbiasa. Dan ini menjadi pengalaman yang menarik bagiku. Kata-kata bahasa Sunda pertamaku pun aku pelajari dari dia, seperti meserwilujengibakcaitosseepuwihbadepoho dan semacamnya.

Di kamar Andromeda, yang belakangan menjadi kamarku setelah ia berangkat pulang ke Palembang untuk kuliah kedokteran di UNSRI, banyak terdapat Majalah yang memuat Kunci Gitar. Tentu aku suka musik, tetapi bermain musik adalah sesuatu yang sama sekali baru untukku. Ia pun dengan senang hati mengajariku bermain gitar. Dan seterusnya, gitar adalah sahabat karibku.

Keberagaman Indonesia mulai kurasakan, karena di rumah kos tersebut, yang hanya terdiri dari 3 kamar, penghuni lainnya adalah para pegawai bank, satu orang berasal dari Papua, dan yang satu lagi dari Manado. Di saat-saat senggang, kami saling bercerita tentang kejadian sehari-hari, mulai dari aktivitas main bola voli profesional, hingga tentang anak ibu kos yang cantik jelita. Hmm, kecantikan perempuan Bandung, mungkin sudah menjadi rahasia umum yang tak perlu dijelaskan lebih jauh.

Di malam terakhirnya, Andromeda menceritakan pengalaman semasa tahun-tahun sekolahnya di Bandung. Ia menyebutkan secara tidak langsung bahwa tidur bersama antara remaja pria dan wanita adalah sesuatu yang ‘biasa saja’. Ia menyarankan kepadaku agar luwes dalam bergaul dan tidak terjebak pada hal-hal yang melewati norma semacam itu. Di sisi lain, ia juga menasihatiku agar tidak bersikap menghakimi atau pun memandang negatif pada orang-orang yang kita kenal yang berlaku seperti itu. Dia bilang, “To put it short, it is a common sense that everyone should mind their own business.” Di tahun-tahun berikutnya, aku mendapati bahwa apa yang disampaikannya ini bukanlah pepesan kosong. Dan aku berterimakasih sekali atas ‘wejangan’ terakhirnya ini. Bukankah itu gunanya teman untuk saling mengingatkan?

Hari-hari tahun pertama selepas Andromeda pergi, aku habiskan dengan menjalani kursus bahasa Inggris di LIA Riau, kelas Conversation. Selebihnya, tak ada yang berarti selain berpaling pada mIRC, aplikasi obrolan internet, dan itulah saat dimana aku mulai menghabiskan waktuku antara internet dan kursus bahasa Inggris. Tak ada yang menarik. Tak ada yang mencerahkan. Dan satu tahun pun berlalu. Tanpa Barma, tanpa Ayunir, tanpa ada satupun orang yang bisa kuajak bicara. Tanpa kusadari, aku tersesat dalam deru waktu.

–//–

Arah perjalanan takdir membawaku beberapa puluh kilometer jauhnya dari Bandung, suatu ‘desa’ kecil sekaligus pusat pendidikan bernama Jatinangor.

Benda aneh yang membawaku kesana adalah DAMRI, suatu angkutan menyerupai bis, tapi bis ini dilengkapi dengan daya magis. Daya magis tergantung amalan dari si penumpang itu sendiri. Jika amalan anda ‘buruk’, kemungkinan besar anda akan terkapar selama perjalanan dengan mata terpejam dan air iler (apakah iler dan liur merujuk pada hal yang sama? Aku selalu berpikir kalau kata iler hanya untuk orang yang sedang tidur, sedangkan air liur adalah untuk orang yang sedang terjaga) kemana-mana. Ya, dan ini bukan omong kosong, DAMRI punya kemampuan menghipnotis seluruh penumpangnya tertidur selama perjalanan. Bila amalan anda ‘bagus’, maka anda bisa beruntung mendapatkan rekan seperjalanan wanita cantik nan ramah (jika anda pria), atau pria ganteng yang tidak playboy dan belum punya pacar (jika anda wanita) duduk di samping anda. Perjalanan menjadi menyenangkan, dan jika anda mendapatkan kesempatan emas semacam ini, cobalah lihat ke sekeliling, banyak mata-mata dengki menatap anda. Ada dua alasan mereka menatap seperti itu, yang pertama jelas karena anda duduk (sementara mereka berdiri menahan pegal 2 jam perjalanan) dan yang kedua karena anda duduk dengan ‘seseorang yang menyenangkan’. Tapi jangan terlalu khawatir. Tak lebih dari 10 menit mereka akan sudah tertidur di bawah hipnotis DAMRI tersebut.

Apa yang kulakukan di Jatinangor? Aku masuk kuliah Sastra Inggris. Jurusan yang sama dengan Ayunir. Aku berharap bisa bertemu dan mengenalnya lebih dekat. Apa mau dikata? Yang kutemukan hanyalah skripsi tulisannya. Ia telah lebih dulu lulus dan aku hanya terbawa hembusan angin ketika kuputuskan untuk tetap menjalani studi disana, tanpa ada Ayunir. Aku pikir, Bandung sudah kehabisan daya tariknya dan sudah saatnya untukku menjadi mahasiswa.

Apa yang menarik dengan tahun-tahunku di Jatinangor? Di awal kedatangan, ada dua tempat yang sangat kusukai, yaitu Jembatan Cincin, yang menurut kabar burung pernah menjadi tempat bunuh diri seorang kekasih yang kisah cintanya tidak berjalan dengan baik. Jembatan tersebut membentangkan pemandangan ke arah sawah dan pegunungan dan konon katanya jembatan tersebut sudah ada sejak zaman Belanda. Dan satu lagi adalah masjid Ibnu Sina yang juga hamparan halaman belakangnya memudahkan kita melihat perbukitan nun jauh disana. Sungguh suatu masjid yang menyejukkan hati. Dan kupikir, suatu siang seusai kutunaikan dzuhurku disana, ‘Jatinangor, aku milikmu saat ini.’ Aku mencoba sebaik mungkin untuk beradaptasi. Meskipun jujur, di dalam hati ini telah mati, dan semuanya sangat terasa membosankan. Aku telah kehilangan kemampuan untuk berbahagia sejak kejadian itu. Ibu, Ayah, Barma, maafkan aku. Yes, I think I’m dead inside.

Oh, we’re sinking like stones,
All that we fought for,
All those places we’ve gone,
All of us are done for.We live in a beautiful world,
Yeah we do, yeah we do,
We live in a beautiful world,Oh, we’re sinking like stones,
All that we fought for,
Homes, places we’ve grown
all of us are done for
(Coldplay, 2001, Don’t Panic)


IN BETWEEN

Aku bisa mengingat. Tapi semuanya kabur. Tidak ada satu pun ingatan yang jelas. Aku bisa melihat. Tapi semuanya samar. Empat tahun yang kuhabiskan dan kujalani seperti robot yang hanya berpindah-pindah dari satu rutinitas ke rutinitas lain. Diantara sekian banyak detik menit jam hari minggu bulan tahun berjalan pointless, dengan kenangan-kenangan dengan satu dua dan beberapa orang yang tidak terlalu istimewa. Mungkin bisa, untuk menyebutkan bahwa aku pernah ada di satu tempat di satu waktu. Mereka hanya sebagai saksi. Saksi betapa aku telah menyia-nyiakan hidupku.

Ah, kepalaku sakit lagi. Aku tak bisa mengingat. Mereka akan memaksaku lagi.

–//–

Anak kecil itu datang lagi hari ini, bersama wanita itu. Ah, siapa wanita ini ya. Mereka berdua selalu datang. Ah, hari apa hari ini. Aku tidak suka ruangan ini. Aku seperti dipenjara saja. Perawat itu selalu menyuruhku menulis. Dan minum kapsul – kapsul hijau itu. Ahh. Hari ini, aku tidak melihat Susan dan Pak Ganda. Kemana orang-orang aneh itu hari ini. Hari ini, aku tidak bertemu siapa-siapa. Apakah ini malam atau pagi aku tidak tahu. Wanita yang selalu datang itu. Rasanya aku mengenalnya.. Ah aku masih tak bisa mengingat. Aku tak bisa menulis.


GRADUATION
Aku menyelesaikan skripsi yang kubuat dengan susah payah. Bukan susah payah dalam pengerjaannya tapi lebih kepada susah payah mencari dan membuat janji bertemu dengan dosen pembimbing. Aku baru tahu, kalau yang namanya dosen pembimbing itu bisa mendadak berubah menjadi selebritis yang mempunyai ilmu bernama ilmu susah ditemui dan susah dihubungi. Well, itu hak mereka. Sebagai mahasiswa yang sudah sangat ingin untuk segera lulus aku hanya bisa mengikuti arus permainan kedua dosen pembimbingku.

Aku ingin segera lulus, karena aku sudah sangat tak sabar untuk bertemu dengan adikku Barma, dan melihat perkembangannya sekarang. Sudah seberapa berkembangkah permainan basketnya? Apakah dia sudah beranjak ke tahap yang serius dengan Ayunir? Entahlah apa yang terjadi dengan mereka berdua.

Hari wisudaku berlangsung sepi. Tak berarti tak bermakna apa-apa. Orang lain punya teman, pacar, saudara, atau orangtua untuk membawakan mereka karangan bunga dan berfoto bersama. Aku punya …. ah tidak, aku tak punya apa-apa.

My graduation was totally meaningless. Semua yang sudah berlalu beberapa tahun ini benar-benar tak bermakna.

COMING HOME
Aku tak sabar untuk segera pulang. Aku ingin bertemu dengan kamu.

–//–

Aku tak tahu apa lagi yang harus kutulis. Perawat ini benar-benar … kejam. Aku sama sekali tidak ingat apa-apa. Dan anak kecil ini … siapa dia? Dan siapa wanita itu … Aku merasa pernah melihatnya. Pil-pil ini sama sekali tidak berguna. Aku tetap penulis yang buruk.

CONFRONTATION
Begitu menginjakkan kaki kembali di kota Palembang, aku merasa sangat marah terhadap Barma. Ia sama sekali tidak pernah mencoba menghubungiku baik itu melalui telpon, surat ataupun e-mail. Sejak saat perpisahan itu, ia menghilang jejak bagaikan ditelan bumi. Memang, aku tidak pernah terlalu peduli hingga merasa harus pulang dan mencarinya. I’m not that desperate to see him. Tapi, jika kuingat lagi, tahun-tahun yang kulalui saat di pulau Jawa, Barma sama sekali tidak ada kabar dan ini membuat darahku mendidih. Aku mencarinya kemana-mana. Om Hendra rupanya sudah tidak lagi tinggal di rumah yang pernah kujual padanya. Rumah itu setelah direnovasi kemudian dijual lagi oleh Om Hendra kepada temannya. Dan, yang paling parah, Om Hendra juga tidak tahu dimana Barma tinggal. Bahkan, menurut cerita dari Om Hendra, uang bagian Barma pun masih tetap utuh. Adikku itu, tidak pernah datang setelah ia mengantarkanku berangkat ke pulau Jawa. Apa-apaan ini si Barma. Angkuh sekali si brengsek itu.

Di Palembang, aku tinggal di sebuah rumah kos di daerah Bukit. Dan aku terpaksa menghabiskan beberapa hari untuk mencari Barma sebelum akhirnya aku mendapatinya suatu sore di lapangan basket kompleks PUSRI. Ia nampaknya sedang latih tanding bersama rekan-rekan satu timnya.

“Barma!” teriakku.

“Abang?” ia nampak terkejut.

Aku sudah sangat gelap mata. Aku berlari menghampirinya. Kulemparkan tas di punggungku ke luar lapangan. Dengan satu gerakan cepat, satu tendangan kaki kananku tepat menghujam perutnya hingga ia terhuyung beberapa langkah ke belakang. Tanpa memberi kesempatan, dengan cepat kujambak rambutnya yang agak gondrong dengan tangan kiriku, kutarik ke arahku dan kuhadiahi satu hook kanan sekuat tenaga, hingga ia tersungkur di lapangan basket.

Ketika aku akan menariknya bangun, satu suara keras membentak, “Woy! Ngapain lo ganggu Barma?! Mau mati lo?!”

Dan kurasakan satu tendangan sangat keras menghantam sebelah kanan perutku. Cukup sesak rasanya terkena tendangan itu sehingga mau tidak mau tanganku memegangi bagian yang baru saja terkena, dan saat itu juga sebuah pukulan mendarat telak di mukaku. Hidungku berdarah.

“Brengsek, cari mati lo ya?” kataku.

“Lo yang mulai setan?! Ngapain lo ganggu dia? Gw bunuh lo!” cecunguk itu berlagak.

Aku siap menempurnya lagi, tetapi saat itu kudengar bisik-bisik dari seseorang di arah kerumunan, “Eh itu kan cowoknya si Barma, berantem sama siapa sih? Rebutan Barma ya?”

Darahku sontak mendidih. “Brengsek, Lo apain Adek gw hah?!”

Si cecunguk itu kaget, dan menoleh kepada Barma, “Ini abang elo?”

Ia lengah dan dengan sangat cepat, aku maju, menjejak tanah, melompat dan menghabisinya dengan Twieo Dwi Chagi, yang menghempas keras di kepalanya, kontan membuatnya terhempas ke lantai yang terbuat dari semen. Tendangan tadi akan sulit membuatnya bangun lagi. Tapi aku masih belum puas, dan ingin mencecarnya dengan beberapa tinju lagi namun Barma sudah keburu menahanku.

“Bang, udah Bang, udah, sadar. Apa-apaan sih?”

“Lo yang udah gila …”

Bugggggg!!

Satu uppercut dari Barma telak menghantam rahangku, dan aku pun tak sadarkan diri.


A KISS FROM MY BROTHER

Saat sadarkan diri, aku berada di … di suatu tempat. Ya, di rumah kos Barma. Aku rupanya dibaringkan di sofa panjang. Badanku masih terasa nyeri, dan kepalaku masih agak pusing. Barma duduk di depanku sambil merokok serta ada asbak dan secangkir kopi hitam di atas meja.

“Apa-apaan sih tadi bang? Kacau gitu kayanya?” kening Barma mengkerut, dan mukanya masih tampak kesal.

“Lo yang apa-apaan. Kemana aja lo 5 tahun ga ada kontak? Gw tanya Om Hendra tadi pas gw sampe, dia bilang uang lo masih utuh. Maksud lo apa kaya gitu?”

“Lah, kan Abang yang pergi? Kenapa Barma yang mesti nyari?”

“Setidaknya kasih nomor kontak apa alamat lo brengsek! Gimana gua mau hubungin coba? Lo tu keluarga gw satu-satunya.”

“Ah udahlah bang, ga usah bawa-bawa keluarga. Ga ngaruh juga keluarga atau apa kalau jauh-jauhan. Kita cuma kebetulan aja lahir dari orang tua yang sama. Selebihnya kita ga ada persamaan.”

“Maksud lo apa?”

“Iyalah, abang pintar, abang tahu apa yang abang mau, abang bisa kerja, kuliah, dan jadi sukses seperti mimpi-mimpi abang. Barma cuma punya basket. Basket dan Rio” nada suaranya gemetar.

”Jadi bener lo Gay? Parah lo ya. Sejak kapan ada orangtua kita ngajarin kaya gitu. Gw tinggal makin sesat lo ya. Lo bukannya punya Ayunir? Lo bilang mau jadi pria terbaik buat dia. Mana omongan lo? Najis.”

“Ay? Heh!” Barma mendengus sinis.

“Apa itu?”aku tak mengerti

“Ay mutusin gw. Benar semua yang abang bilang. Ay cuma have fun saja waktu itu sama Barma. Barma sih ga pa-apa, asal dia bahagia lah. Oh ya, kebeneran abang pulang. Bulan depan Ay nikah. Tanggal 2. Tapi bukan sama gw.”

“Lo jadi gay, lo bilang itu ga pa apa?

“Sekarang abang judgmental ya. Kalo ga ngerti apa-apa ga usah ngomong deh bang, jangan sok ngerasa kenal gw. Jangan sok pinter. Lo ama gw cuma sedarah. Ga lebih.”

Tiba-tiba dia bangun dan menciumku di bibir. Adikku menciumku di bibir. Beberapa detik kemudian ia lepaskan ciuman itu.

“Pergi lah bang, Rio bentar lagi mau datang. Gw ga mau ada ribut lagi.”

Shock atas apa yang baru saja terjadi, aku melangkah tanpa bisa berfikir, tanpa bisa …


AYUNIR’S WEDDING

Seharusnya tidak ada orang yang mabuk datang ke suatu pesta pernikahan. Akan ada resiko kekacauan yang timbul di saat-saat penting semacam itu. Aku memang tidak mabuk saat datang ke resepsi pernikahan Ayunir yang mana sebetulnya aku tidak diundang. Tetapi aku lebih dari siap untuk membuat kekacauan saat itu. Meskipun demikian, aku memutuskan untuk coba lebih keras dalam menahan emosi. Dan aku pun menunggu.

Akhirnya, para tamu undangan pun dipersilakan untuk menikmati sajian yang sudah disiapkan oleh keluarga mempelai. Mempelai pria dan mempelai wanita sedang asyik mengambil foto kenangan bersama tamu-tamu undangan, dan aku pun dengan langkah pelan tapi pasti naik ke atas panggung. Aku dan Ay beradu pandang beberapa saat lamanya. Ia nampak bingung dan takut. Aku berdiri di depan pengantin pria. “Mas, boleh saya bicara sama Ay sebentar ya? 5 menit?”

Pengantin pria bingung dan menatap Ay. Tapi akhirnya ia mengangguk. Kugenggam tangan kiri Ay dengan keras, “Ikut aku sebentar. Ada yang ingin kubicarakan.”

Dan aku pun membawanya ke area belakang gedung yang tidak terlalu banyak orang. Ay menuruti ajakanku. Kami berdua berdiri berhadapan dan saling berpandangan.

“Kamu masih tetap cantik Ay,”

I don’t have time for this Rahan. Just tell me what you want.”

Did you forget, that I said I love you? That I said you should be with me.”

“Dan aku bilang agar kau jauh-jauh dariku. Aku ngga pernah ingin lihat kamu lagi,..”

Yes, I did. I did try to stay away from you. Satu tahun Ay! Satu tahun aku di Bandung dan aku tidak ganggu kamu, tidak telpon, atau apapun, tetapi ketika akhirnya aku masuk kesana 2002, kamu udah ga ada. Apa-apaan itu? Dan apa-apaan pernikahan ini. Aku bilang jangan terlalu serius dengan Barma. But then what did you do, you left him, and then all this marriage shit … What the fuck,Ay?”

“Bagian mana yang rusak di otakmu Rahan? Karena aku tidak ingat aku harus lapor-lapor apa yang ingin kulakukan denganmu?” nada suaranya meninggi.

“Tapi kau menciumku?” ucapku.

Yeah, so what?! It was just a kiss. Aku sama sekali ga berpikir untukmu menanggapinya dengan serius. You should chill really, lighten up. Coz you’re freaking me out here!”

Plakkk! Kutampar pipi kanan Ay dengan keras.

It was just a kiss, katamu. Hanya sebuah ciuman? That was my only kiss ever! Tahun-tahun yang kuhabiskan di Bandung untuk bersama kamu, semuanya berlalu dengan sia-sia, karena kamu tidak pernah ada, tetapi satu kejap pun aku engga pernah bisa ngelupain kamu!” Aku merasa diriku penuh dengan amarah dan mulai kesulitan menahan seluruh tubuhku yang mulai bergetar.

“Aku ga ngerti,” Ay berkata pelan sambil mengusap pipinya yang baru saja kutampar.

Aku menarik nafas pelan. “I love you Ay. Aku selalu suka sama kamu. Bagian mana yang kamu ga ngerti.”

“Apa kau gila? Kau itu kakaknya Barma! Aku sebenarnya tidak punya urusan apapun denganmu.”

“That’s why I went to Bandung. Aku pikir kau pasti akan ada disana. Dan kita bisa jalani semuanya tanpa harus menyakiti perasaan adikku.”

“Gila! Kau tahu apa Rahan, kau ini benar-benar gila! Sekarang sebaiknya kau pergi dari sini. Aku sedang ada pernikahan yang harus kuurus dan kau, aku tak akan memaafkanmu jika kau … jika kau sedikit saja membuat kekacauan disini. Pergi sekarang. Demi kebaikanmu.” Kata-kata terakhirnya diucapkan dengan pelan, dan jelas Ay sangat marah dan mengancam.

Aku berlalu dari pandangannya, dan perlahan berjalan ke arah kerumunan tamu yang masih menikmati hidangan makan malam. Ada seorang anak perempuan kecil berjalan berpapasan denganku. Ia berjalan ke arah Ay.
“Kak Ayu, kak Ayu nangis ya? kenapa nangis? Kak Ayu dicariin sama om Rahmat tuh.”

–//–

Sekitar sepuluh menit kemudian. Ayunir masih sibuk dengan tamu-tamunya di atas panggung bersalam-salaman. Aku telah meminjam microphone dari pembawa rangkaian acara pernikahan. Dan aku mulai menggunakannya. Berdiri dengan jarak 10 meter dari depan panggung.

“Untuk pengantin pria, saya ingin memperingatkan, agar anda lebih berhati-hati dengan istri anda.”

Semua mata menatap padaku. Ayunir sangat terkejut hingga ia tak bisa bersuara. Pengantin pria tampak bingung.

“Sebelum bersama anda, istri anda adalah kekasih adik saya. Adik saya, sangat menyayangi istri anda dengan sepenuh hatinya. Tetapi lalu, jelas bahwa Ayunir lebih memilih anda karena anda punya lebih banyak harta.”

Terdengar bisik-bisik orang banyak seperti dengung ribuan lebah.

“Tapi itu tidak buruk. Tidak buruk sama sekali. Hanya saja, malang bagi saya karena adik saya sekarang memilih untuk menjalani hubungan dengan sesama pria, karena istri anda memilih anda! Istri anda tentu tidak menceritakan itu bukan? Hanya itu yang ingin saya sampaikan. Untuk kedua mempelai. Semoga bahagia. Selamat menempuh hidup baru.” Lalu kuserahkan lagi mic tersebut kepada si pembawa acara.

Ratusan pasang mata mengamatiku, tapi aku merasakan punggungku panas, karena ku tahu pasti Ayunir sedang menatapku penuh amarah. Dan aku pun berlalu.

–//–

 

I’ll sing it one last time for you
Then we really have to go
You’ve been the only thing that’s right
In all I’ve done
And I can barely look at you
But every single time I do
I know we’ll make it anywhere
Away from hereLight up, light up
As if you have a choice
Even if you cannot hear my voice
I’ll be right beside you dearLouder, louder
And we’ll run for our lives
I can hardly speak I understand
Why you can’t raise your voice to say(Snow Patrol – 2004 – Run)


I WANT TO CHANGE – I LOVE HER

Beberapa waktu lamanya sudah berlalu sejak saat terakhir aku bertemu Barma dan Ayunir. Aku menghabiskan waktuku dengan mengajar bahasa inggris di Sekolah Tinggi Bahasa Asing di kotaku. Kehidupanku sangat statis. Tidak ada hal-hal yang terlihat menyenangkan.

Kadang, di kamar kosku, saat mataku menatap nyalang kearah televisi, tak mampu menangkap apapun yang berarti. Dan benakku mengais serpihan-serpihan memori hari-hari yang sudah berlalu. Hidup seperti apa yang sedang kujalani ini.

Orang-orang di dalam hidupku yang tak lagi hadir menemani. Kamar ini gelap. Hanya cahaya dari televisi itu. Meruang. Meraung. Melumurkan gelisah ke setiap tarikan nafasku. Menyesakkan. Menangis? Itu bahkan bukan pilihan. Sudah berapa bungkus rokok kuhabiskan minggu ini? Dan itu pun tak membantu.

Orang-orang di dalam hidupku yang pernah hadir dan menghilang. Mereka menjalani benang takdirnya masing-masing. Sedang aku tenggelam dalam kegelapan ini. Adakah yang mendengar teriakanku? Adakah yang mendengar suaraku? Membaca tulisanku? Menyadari keberadaanku?

Ayunir menikah. Barma Gay. Andromeda jadi dokter sukses. Orang tua mati. Teman .. aku tak punya. Bahkan aku pun tak memiliki diriku sendiri. Tuhan, apakah benar aku memilih dalam hidupku?

Tak ada guna sungguh menerawang ke masa lalu. Sedangkan masa depan. Masa depan apa yang bisa kubentuk dari puing-puing semacam ini. Kadang ingin merajut langkah untuk dapat kembali ke rahim bunda, dan berharap aku tak pernah dilahirkan.

–//–

Kali ini gadis kecil itu yang memberikan pil-pil tersebut. Dan aku merasa dapat menulis dengan lebih baik sesudahnya. Apakah aku akan sembuh? Baiklah aku akan mencoba menulis lagi. Untukmu aku akan berusaha gadis kecil. Perawat itu juga terlihat senang. Ia membisikkan, “Sedikit lagi, sedikit lagi, kamu bisa menyelesaikan cerita ini.”

–//–

Barma datang menemuiku pada suatu malam. Ia dengan senyum sumringahnya mengatakan, “Bang, aku ingin berubah bang. Aku punya pacar baru.”

“Cowok?” tanyaku datar.

“Cewek bang, I’m done living that way. Aku masih punya kesempatan. Aku percaya itu bang.”

“Really? Good for you. Jadi, siapa nama wanita yang beruntung itu?”

“Namanya Okta bang. Audrey Okta. Anaknya baik. Satu tahun lebih tua dari Barma sih, tapi dia sama sekali beda dengan Ayunir.”

Mendengar nama itu, petir menggelegar di kepalaku. Aku tak mampu berpikir.

“Abang kenapa? Koq diam saja?”

“Kepalaku pusing sejak tadi. Aku butuh istirahat. I’ll come and visit you tomorrow. We’ll talk later, okay?”

Senyumnya memudar. “Istirahatlah bang, main-main ke tempatku kalau sudah sembuh.”


THE DAY

Perempuan yang berpakaian seperti perawat itu tersenyum.
Gadis kecil itu bertanya, “Berapa lama lagi kak?”

“Satu atau dua hari lagi, mungkin. Selain pil hijau itu, berikan juga dia yang merah ini. Ini kakak baru dapat dari teman kakak di Amerika.” ucapnya.

“Apa namanya kak yang hijau ini. Aku lupa. Kalau yang merah ini apa?” tanya si gadis kecil.

“Yang hijau itu Ritalin, kalau yang dulu itu Prozac. Nah yang merah ini belum ada namanya. Cuma disebut MEM 1414.”

“Nama-nama yang aneh,” ucap si gadis kecil.

–//–

Hari itu sore yang sangat panas. Hari itu, aku datang ke tempat tinggal Barma atas telpon dari Ayunir. Ia bilang, Barma sudah meninggal. Tak ada lagi yang ia katakan, jadi aku memutuskan untuk melihat langsung. Di luar ada ambulans. Ramai orang-orang disana. Rio mantan kekasihnya, teman-teman main basketnya, Audrey juga ada disana, ada beberapa orang polisi, petugas medis, tetangga dan Ayunir.

Aku masuk ke kamar dan kulihat Barma masih tergeletak. Mati.

Bunuh diri. Nadinya putus. Dan darah dimana-mana.

Aku keluar dari kamar itu. Ingin melangkah pulang. Tangan Ayunir menggenggamku, dan menyerahkan sepucuk surat.

“Dari Barma” katanya. Dan aku pun membaca surat itu.

Bang, maaf.

Barma bingung dengan semua ini.

Aku enggak bisa sama-sama Okta. Aku akhirnya tahu dia cinta pertamanya abang. Dia sendiri yang cerita. Lucu ya, entah kenapa ini terasa seperti hukuman karena aku udah salah langkah.

Tapi, bukan karena itu Barma mau pergi. Sejak abang pergi ke Bandung, semuanya enggak sama. Aku selalu menanti saat-saat abang pulang. Aku ingin kita cerita-cerita lagi. Main basket lagi. Tapi Barma rasa itu semua ga akan terjadi.

Barma yang sekarang sudah bukan Barma yang bisa Abang banggakan lagi.

Jadi sekarang, aku putuskan untuk pergi, menemui Ayah dan Ibu.

Maaf.

Kertas itu kukembalikan pada Ayunir.
Dan aku berjalan pulang.
Di sore hari yang panas.
Di sore hari yang panas.


ERASE MY MEMORIES (AYUNIR’S NOTES)

Halo semuanya, yang sedang membaca tulisan Rahan dan Barma ini adalah tulisan Rahan. Ini adalah tulisan dari seorang tersangka kejahatan berencana yang diduga mengalami gangguan jiwa. Kejahatan yang dimaksud adalah melakukan penjebakan terhadap Barma yang menyebabkan Barma depresi dan bunuh diri. Saya adalah wanita bernama Ayunir, yang pernah dipermalukan oleh Rahan, dan saya berupaya untuk mendapatkan bukti kejahatannya.

Untuk mendapatkan bukti itu saya menyamar menjadi perawat rumah sakit jiwa dan memberinya pil untuk mengembalikan ingatan dan memaksa Rahan untuk menuliskan kejadian-kejadian penting dalam hidupnya. Rahan menuliskan bagian-bagian yang ia ingat dan kertas pun saya ambil dari dirinya.

Rahan tidak dapat berbicara sejak saat adiknya meninggal. Saya menduga Rahan merasa bersalah atas kematian Barma. Tetapi rupanya saya salah, karena ternyata Rahan tidak menuliskan apapun yang mengaitkan dirinya pada kematian Barma.

Tetapi apakah berarti saya salah untuk mencoba mengembalikan ingatannya?

Ia didapati oleh tetangganya terus membenturkan kepalanya ke dinding, sejak adiknya didapati meninggal dan oleh karena itu sekarang ia dirawat di sebuah rumah sakit jiwa yang dirahasiakan, dan saya kerap mengunjunginya bersama adik saya.

Saya tidak akan memaksanya menulis lagi. Dan saya juga tidak akan memberinya obat-obatan untuk membantu menulis.

Kemarin, ia memberikan selembar kertas, dan isinya sangat menarik.


EPILOG

Sekarang, aku ingat hari itu.

Entah bagaimana aku berhasil mengingatnya.

Ketika Ayunir datang ke rumah siang itu, Barma masih di sekolah, dan entah bagaimana berujung aku menciuminya di sofa ruang tamu.

Ketika itu pula, ayah dan ibu pulang, membuka pintu dan melihat aku sedang menciumi pacar adikku.

Ayah mengusir Ayunir keluar. Dan Ayunir pun pergi.

Aku terlibat perdebatan sengit dengan Ayah dan Ibu.

Ayah menghinaku sebagai orang ‘tak tahu diri.’

Ibu hanya menangis.

Ayah bahkan menganggapku tak pantas sebagai anaknya. Dan mengatakan bahwa ia akan memberitahukan hal ini pada Barma, bahkan setelah aku bersujud memohon agar ia tidak menceritakannya.

Aku tak tahu apakah aku takut Barma kecewa dan retak hatinya.

Ataukah aku yang takut kehilangan semua orang secara sekaligus dalam hidupku.

Aku gelap mata.

Aku melangkah ke dapur, dan mengambil sebilah parang.

Aku ingat sekarang, ternyata akulah yang membantai kedua orang tuaku.

Agar mereka tidak menceritakan apa yang terjadi kepada adikku.

Parang tersebut kubuang ke dalam septic tank di belakang rumah kami.

Aku tak tahu obat apa yang mereka berikan padaku.

Aku berhasil menulis ini.

Aku berhasil mengingat semua ini.

Tapi siapa yang bisa hidup dengan ingatan seperti ini?

Aku ragu, apakah akan ada yang ingat dengan cerita ini.


THE END
Jalan pulang yang menghilang, tertulis dan menghilang,
karena kita, sebab kita, telah bercinta di luar angkasa
(Frau – 2010 – Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa)

Iswara
0

Leave a Reply

Basic HTML is allowed. Your email address will not be published.

Skip to toolbar