KEMBARA HATI

Dalam diam kutitipkan semua tanya tentangmu
Menginginkan yang terbaik selalu untuk dirimu
Hanya cinta, hanya rasa yang akan sanggup bertahan
Sampai kapan kauharapkan yang lalu akan kembali?

Reff:
Merindukah engkau untuk ada dan kembali di pelukku?
Menginginkan engkau mengakhiri kembara hati kau jalani

Dan lepaskan segala sesal, dan kuingin bersamamu
Dalam hujan, dalam awan ku merasakan dirimu
Dan benarkah ada cinta masih tersisa untukku?
Dan benarkah ada cinta di dalam hati kecilmu …

Aku terbangun dari tidurku yang tak pulas. Memimpikan sesuatu yang aneh semalam. Dalam mimpi tersebut, aku berdiri di atas sebuah puncak gunung, memandang ke bawah, memandang bunga yang ada di dekat kakiku. Aku ingin memetik bunga itu. Aku ingin menggenggam bunga itu. Aku ingin mencium wangi bunga itu dan membawanya pulang. Tapi jangankan untuk melakukan itu semua. Hanya menekukkan lutut dan berada lebih dekat saja aku tak sanggup. Aku tak bisa. Sekuat-kuat inginku. Sebesar apapun tekadku. Aku tak bisa.

Dan lalu aku terbangun, jendela kamarku sudah terbuka, menghembuskan angin pagi dan udara segar ke dalam kamar. Menyeruakkan dingin yang menggigil ke seluruh tubuhku. Aku melihat jam wekerku, 5.30 pagi. Ah mungkin, dia datang lagi tadi ketika aku tertidur. Tiba-tiba seekor burung gereja hinggap di jendelaku. Dan seekor lagi. Seakan menyapaku, memberikan salam selamat pagi dunia. Satu burung menjejak terbang, yang tertinggal pun terbang mengejar. Rasa sakit tiba-tiba menyesak hatiku. “Apakah bila aku punya sayap, aku akan dapat mengejarmu?” Rindu ini terlalu nyata, Raine.

Mimpi yang tak bisa kuartikan. Pagi yang terlalu indah.
Dan tiba-tiba aku tersadar, aku masih menginginkanmu.

EPISODE 1 – KEMBARA HATI (27 SEPTEMBER 2009)

“Sierra! Bangun! Itu si Kikan udah krang kring krang kring di depan.”

“Iya, iya, tumben cerewet banget lo pagi-pagi Lowry gendut!”

Aku masih menyelesaikan kumur-kumur mouthwash setelah sikat gigi.

Tubuhku terbungkus dengan paduan celana training dan jaket sporty. Ketika aku keluar dari kamar, kulihat Lowry sedang asyik membaca surat kabar paginya.

“Sarapan dulu gak?” tegurnya, sambil mata tak lepas dari koran yang sedang dibaca.

“Entar aja deh sepulangnya.”

Aku mengambil kunci sepeda yang berada di dalam laci di dekat televisi. Dan tiba-tiba aku ingat sesuatu.

“Low, entar bokap lo jadi mampir ke sini? Enggak kan?”

“Ah, paling dia mampir tanpa kabar. Siap-siap ajalah. Gw sih udah ga ngaruh ama bokap. Masa bodo dia mau ngoceh apa lagi.”

“Ok, deh… lo siap-siap earphone aja, ama kupluk, jadi pas bokap lo ngemeng lo puter tu PERFECT-nya Simple Plan.”celotehku riang.

“Haha .. ngaco. Btw, lo lama ga jalan ama si Kikan?”

“Tauk, paling entar mampir bentar ke rumah dia,” sambil menebar senyum penuh makna.

“Huuu .. kesempatan lo. Dasar PLAYBOY! Buaya Darat!” Lowry mencoba menimpuk dengan bantal sofa, tapi aku sudah berlari ke luar.

Di luar, Kikan cantik nan sexy sedang memainkan sepedanya berputar-putar.

“Kak Sierra, lama amaat sih!”

“Bawel, gua tidur lagi nih”

“Lain kali, Kikan banguninnya pake molotov aja lah!”

“Woy, cantik-cantik sadis!”

“Orang yang buat Kikan menunggu pantasnya dibom”

Halah. Dasar bocaah. Lagian ngapain sih gw ama bocah ini. Bagus dia ga di bawah umur. Seusai melepaskan gembok sepeda, aku pun langsung meluncur.

“Kejar, kalo bisa!”

“Eh Kak Sierra curang. Tunggu!”

–//–

Minggu pagi yang sama, menunggu di depan sebuah travel Bandung-Jakarta di daerah Cihampelas, Raine terlihat sedikit uring-uringan.
Masih terlintas dalam ingatannya, percakapannya dengan Max Alfar, pria yang tak kenal lelah mencoba mendekatinya selama tiga bulan terakhir ini, sejak ia menjadi tenaga pengajar di sebuah Bimbel ternama di Jalan Supratman, Bandung.

“Raine, besok malam, aku mau kita dinner di tempatku ya, boleh?”

“Boleh,” jawabnya setengah hati.

“Baiklah kalau begitu. Aku jemput atau kamu datang sendiri?”

“Aku bisa datang sendiri, Max.”

Itu kata-katanya tiga hari yang lalu. Menjanjikan kekasihnya untuk spend some quality time together, a candlelit dinner, tapi kini ia menyesalinya.
Handphone Nokia E63 di tangannya bergetar.

SMS dari Fiona.
: ‘Sampe sini jam berapa, kira-kira say?’

Dengan cepat ia me-reply SMS tersebut
: ‘Masih di tempat travel. Dua tiga jam lagi lah.’

Tiba-tiba sapaan seorang pria paruh baya dengan logat Sunda yang kental mengejutkannya, “Neng, aya deui koperna?”

“Ga ada pak, udah mau berangkat ya?”

“Sok naek neng. Tinggal nunggu supirnya masih di toilet.”

Bye Max, gumam Raine dalam hati.

//

Masih pagi yang sama, Max Alfar tengah merencanakan segala sesuatunya untuk malam romantisnya bersama Raine malam ini. Ia bahkan sudah meng-cancel rencana futsal bareng rekan sekantornya. La la la. Hati Max bersenandung gembira. Ia hidupkan mobil Honda Jazznya untuk memanaskan mesin.

“Mbok,” ia memanggil pembantunya. Seorang wanita tua yang sudah memasuki usia 50an. Max memanggilnya Mbok Asih.

“Ya pak?” Mbok Asih berjalan bergegas dari dalam ke teras depan.

“Mbok, tolong saya bersihin rumah ya. Dipel sampai wangi. Saya mau belanja dulu ke Carrefour. Soalnya nanti sore saya mau masak-masak. Raine mau datang nanti malam.”

“Baik pak. Pewanginya pake yang mana pak?”

“Pake yang wangi apel saja. Oh ya terus itu tolong nanti kalau Pak Rudi datang, uang iuran keamanan sama kebersihan sudah saya amplopin di atas meja dekat televisi.”

“Iya pak. Nanti saya kasihkan, kalau pak Rudinya datang.”

-//-

Masih pagi yang sama, Lowry sedang gelisah, karena sebentar lagi Ayahnya akan datang. Edward Lowry Senior, seorang perfeksionis yang selalu mengganggu hidupnya sejak ia dan ibunya bercerai. Ketika perceraian itu terjadi Lowry baru berusia delapan tahun. Dan ketika Lowry kecil memilih untuk ikut ibunya, ayahnya merasa sangat kecewa. Lowry sendiri tidak tahu mengapa orang tuanya bercerai. Ia menganggap bahwa ibu dan ayahnya adalah dua orang yang terlalu ambisius dalam mengejar karir masing-masing.

Dampak positifnya adalah Lowry tidak pernah kekurangan uang. Setiap bulan setidaknya dua puluh juta masing-masing dari ibu dan ayahnya akan mengalir ke rekeningnya. Ayah dan ibunya seakan-akan berlomba-lomba untuk memberikan materi pada Lowry. Bedanya, ibunya tidak campur tangan dalam hidup pribadinya. Sedangkan ayahnya, meskipun sudah minggat ke Jepang sejak ia bercerai, setidak-tidaknya tiga kali dalam setahun akan menyambangi Lowry secara pribadi, dan tiap kunjungan itu adalah ‘hari neraka’ bagi Lowry Junior.

Hari tersebut secara tipikal akan dipenuhi dengan kritik dan pertanyaan. Mulai dari keadaan rumah, cara berpakaian, berat badan (Lowry Junior agak bertubuh gempal), asmara, hingga pekerjaan atau pun kuliah.
Nanti siang, ‘monster’ kritik pemberi uang itu akan datang. Di e-mailnya, Ayahnya mengatakan bahwa ia membawakan Lowry kejutan besar. Inilah yang membuat Lowry sangat gelisah.

“Monster kritik akan memberi kejutan, well let’s see,” kesahnya.


“Kikan! Awas!”

Sierra berteriak keras. Ia berada sekitar 5 meter di belakang sepeda Kikan ketika dari arah kiri bundaran taman komplek ada mobil Lancer biru yang melaju kencang.

Tak terelakkan benturan antara bumper depan mobil sedan tersebut, meskipun mobil tersebut telah mengurangi kecepatannya. Dicium sedan, sepeda Kikan beserta yang menaikinya terhempas setengah terbang ke arah bundaran rumput di sebelah kanannya. Kikan terbanting ke tanah disusul sepedanya menimpanya, menyebabkan sakit yang sangat di bagian tubuh sebelah kanannya. Dengan cepat Sierra, turun setengah melompat dari sepedanya dan berlari bergegas ke arah Kikan.

“Gembel!” rutuk Sierra dalam hati

Pintu sedan terbuka. Seorang anak kecil yang mungkin masih duduk di SMP keluar dari pintu pengemudi dengan wajah pucat.

“Mbaknya mati ya kak?”

Sierra melihat ke arah bocah tersebut seluruh celana, kaki, dan sepatunya basah oleh air seni.

“Enggak. Enggak mati. Sini lo bantuin gw. Kita bawa ke rumah sakit.”

Si bocah tersebut dengan sigap membantu mengangkat sepeda Kikan.

“Eh bocah, lu panggil satpam yang ada di pos depan. Suruh kesini biar jagain sepeda gw.”

Bocah tersebut pun buru-buru berlari ke arah pos depan yang letaknya hanya beberapa puluh meter saja.

“Kak Sierra, gw kenapa?” ucap Kikan yang mulai siuman.

“Hah? Lo disenggol mobil. Trus terbang kaya superman, nyungsepnya untung pas di rumput.”

“Aduuuh, kaki Kikan sakit banget kak.”

“Iya, bentaran juga gw bawa ke rumah sakit. Yang nabrak lo bocah SMP. Jadi gw ga bisa marah-marah.”

“Gulung aja tu bocah Kak. Permak mukanya,”

Aku menyentil hidung Kikan.

“Udah sengsara juga masih aja bakat sadisnya lu.”

“Hehehe,” Kikan tersenyum kecil.

Dua orang satpam datang dengan langkah tergesa-gesa bersama si Bocah,
“Ada apa nih bang?” kata salah satu satpam.

“Gw mau ke rumah sakit ama anak ini. Tolong jagain sepeda gw, ama sepeda yang penyok ini. Entar besok maleman baru gw ambil.”

“Iya bang.”

“Jangan lo bawa ke tukang loak tuh sepeda.”

“Iya bang, buset takut amat.”

Kedua orang Satpam tersebut pun kembali ke pos. Konyolnya, tadinya mereka rebutan sepeda Sierra.

“Gw naek yang masi bagus. Lo bawa aja yang udah ringsek noh.”

Dan satu orang satpam tersenyum sambil naik sepeda Sierra yang masih bagus, sedangkan satpam satunya lagi dengan malas-malasan kembali ke arah sepeda Kikan yang sudah penyok dan copot rantainya, dan mulai mendorongnya ke pos jaga dengan malas.

Sierra mengangkat tubuh Kikan, menggendongnya dengan kedua tangannya, Kikan sembari tersenyum merangkulkan tangannya di leher Sierra. “Ini kaya, pengantin baru gendong istrinya kalau mau masuk rumah baru, ya kak?” bisik Kikan manja.

“Jiah, otak lo gegar? Ini gw mau bawa lo ke pemotongan daging, buat dimutilasi.” Sierra menjawab sekenanya.

Kikan membalas dengan memanyunkan bibirnya. Bibirnya yang bawah ia majukan dan buat lebih tebal dari bibir atasnya.

“Ih jelek ih.”

Si bocah yang punya mobil membukakan pintu belakang, Sierra pun mendudukkan Kikan secara hati-hati di kursi belakang. Setelah memastikan Kikan dalam posisi yang cukup nyaman, Sierra menutup pintu belakang.

“Kuncinya mana sini gw yang bawa mobil,” ucapnya pada si bocah.

“Ini bang,” si bocah menyerahkan kunci mobil pada Sierra.

Ketika Sierra sudah duduk di belakang kemudi dan bocah itu duduk di bangku depan sebelah Sierra, si bocah kembali mengatakan sesuatu.

“Bang boleh kerumah dulu ga, buat ganti celana? Lembab nih,” ucapnya dengan muka memelas.

“Aduh, lo pake ngompol segala sih, ribet banget. Udah biarin, ntar juga kering sendiri.”

Sierra pun langsung tancap gas ke rumah sakit terdekat.

//

Masih siang di hari Minggu yang sama. Dering nada penanda SMS masuk di telpon genggam milik Lowry.
:Ayah sudah di depan rumahmu. Kamu ada kan?

Lowry yang tertidur di sofa dengan televisi menyala gelagapan langsung berlari ke arah wastafel, dan mencuci mukanya agar tidak terlihat muka bantal. Lalu segera ia lari menuju pintu, membukanya dan mendapati seorang wanita muda cantik berparas sangat Jepang, dan ayahnya berdiri di depan pagar rumahnya. Di belakang mereka ada sebuah Nissan Teana berwarna hitam yang sangat elegan.

Terhenyak sesaat ia memandang ayahnya dalam setelan jas yang biasanya. ABG Jepang tersebut mengenakan celana jeans dan rambut dikuncir dua, bajunya cardigan biru langit dengan kancing terbuka dan shirt putih. Si gadis dan ayahnya sama-sama membawa Samsonite ukuran kecil.

“Konnichiwa -Lowry san,” sapa si gadis.

“Dear Lord, will you stop staring at us and open this gate?” ucap ayahnya. Lowry tanpa sepatah kata membukakan pintu gerbang kecil tersebut.

“Siang ayah.”

Ayahnya dan si gadis melangkah masuk kedalam rumah setelah melepaskan sepatu mereka sebelum teras.

“A bit messy as usual, you hardly change, young man.”

“Silakan duduk, ayah, mbak..”

Ayahnya pun duduk. Si gadis Jepang masih berdiri dan melihat-lihat ke sekeliling interior rumah. Ia memperhatikan beberapa foto Sierra dan Lowry yang terpajang di dinding dan berbagai sudut rumah.

“Ayako, speak English, this man doesn’t understand any Japanese at all.”

“Yes, otousan.”

“Lowry, let me introduce you, this is your step sister. Ayako Lowry.”

What … This girl is my sister?

“Hello .. oniisan, it’s nice to meet you,” ucap gadis itu seraya mengajukan tangannya untuk bersalaman.

“Hello .. welcome to Indonesia,” Lowry menjawab dengan mulut terbuka, ia merasa seperti menjadi pemandu wisata dadakan.


—//—

Masih di siang hari yang sama. Raine tiba di Jakarta. Ia turun dari travelnya dan dengan cepat menelpon Fiona.

“Halo, Fio, aku sudah sampai di pool travelnya nih.”

“Oke, aku lagi di jalan, sepuluh menit lagi mungkin sampai disananya. Tunggu sebentar ya say.”

“OK. See you then.”

Menutup telpon ia melangkahkan kakinya masuk ke sebuah Seven Eleven yang ada beberapa meter di sisi pool travel tersebut. Sebuah SMS masuk. Dari Max. Tanpa membaca isinya ia langsung dengan cepat mendelete message tersebut. Mengambil Slurpee, membayar, dan tanpa banyak bicara ia melangkah keluar dan menikmati minumannya di meja tenda yang ada di luar.

-//-

Masih di siang hari yang sama, Max tengah mengitari area sayuran di Carrefour. Ia nampak seperti memikirkan sesuatu, dan tiba-tiba menghentikan troli belanjanya. Mengeluarkan telpon genggamnya dan membuat sebuah pesan singkat.
:Apakah kau ada alergi makanan tertentu? Aku berpikir untuk membuat menu seafood nanti malam.

Mengirimkannya.
Menunggu balasan.
Dan kita tahu tidak akan ada balasan apapun.

Lelaki itu menatapi telpon genggamnya dengan penuh harapan. Menghela nafas dalam-dalam. Mencoba untuk tersenyum dan lalu mendorong kembali trolinya.

—//—

Malam hari di hari minggu yang sama. Rumah sakit tempat Kikan sedang dirawat setelah kecelakaan yang menimpanya tadi pagi. Sierra masih mendampinginya. Ia duduk tertidur di sebuah kursi di sebelah Kikan yang sedang tertidur di ranjang. Sebuah majalah menutupi wajahnya.

Tiba-tiba lampu menyala. Ruangan kamar itu menjadi terang. Seorang dokter dan dua orang perawat datang. Salah satu perawat menyibakkan tirai yang membatasi pandangan ke pasien di sebelahnya.

‘Selamat malam ya, maaf mengganggu tidurnya nona … Kikan’ ucap dokter tersebut.

Sierra yang terjaga segera meletakkan majalah yang tadi menutup mukanya ke kursi yang tadi ia duduki. Kikan pun segera terjaga manakala salah satu suster menyentuh lengannya. Perawat tersebut nampaknya sedang mengukur tekanan darahnya.

“Malam dokter,” kata Kikan pelan.

“Bagaimana yang dirasa? Masih nyeri-nyeri ya?” ucap si dokter ramah.

“Tadi iya dok, waktu baru masuk, tapi sekarang sakitnya sudah agak berkurang.”

“Iya, tapi hasil pemeriksaan tadi siang, ada sedikit keretakan di jari kaki sebelah kanan. Jadi kaki nona untuk sementara waktu harus digips, dan kalau jalan penopangnya juga harus selalu dipakai ya.”

“Berapa lama itu dok?” tanya Sierra.

“Ya, normalnya sekitar 3 bulan hingga 4 bulan, biasanya pemulihan akan berlangsung lebih cepat jika asupan kalsiumnya juga dijaga ya.”

“120/80, Dok,” ucap salah seorang suster.

“Ok, normal ya, enggak ada demam juga kan ya. Baiklah kami tinggal dulu, selamat beristirahat kembali nona Kikan. Apabila ada sesuatu yang dirasa perlu silakan hubungi perawat, bisa menggunakan tombol pemanggil di sisi bed nya ya.”

“Terima kasih banyak dokter, suster,” ucap Sierra sementara Kikan hanya mengangguk lemah.

Lampu kamar pun kembali dipadamkan saat suster dan dokter meninggalkan ruangan. Dalam keremangan suasana, satu-satunya sumber cahaya adalah lampu yang ada di balkon, Sierra kembali duduk di kursi, sedangkan tangannya menggenggam tangan Kikan yang terulur ke arahnya. Kikan memecah keheningan.

“Ini romantis juga ya.”

“Ya,” jawab Sierra pelan.

“Kak Sierra sayang Kikan?”

Hening sejenak. Lalu Sierra menggenggam tangan Kikan lebih erat.

“Tentu, kakak sayang Kikan.”

-//-

Masih di malam yang sama. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Janji makan malam Raine akan datang pukul 7, itu sudah satu jam yang lalu. Mbok Asih belum bisa tertidur, ia masih mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Ia terus mengamati tingkah majikannya di ruang makan. Max masih duduk dengan tenang, dengan lilin yang menyala. Di hadapannya terhidang berbagai macam menu yang telah ia siapkan untuk makan malam bersama Raine, bahkan lengkap dengan wine dan es segala. Max masih tidak mengerti mengapa Raine tidak datang. Bahkan tidak membalas satu pun dari beberapa sms yang dikirimnya hari ini.

Pria lain mungkin akan sudah menghempaskan meja makan bila berada dalam posisi Max saat itu. Tetapi Max mencoba untuk terus menekan apa yang ia rasakan menusuk di dalam hatinya. Semakin ia mengingat Raine, semakin perasaannya menjadi perih. Belakangan ini Raine kian jauh dari genggamannya.

“Mbok Asih,” ucap Max tiba-tiba pelan.

Sang pembantu terhenyak kaget. Ia tidak menduga si majikan akan memanggilnya. Cepat-cepat ia merapatkan celah pintu yang terbuka sedikit itu.

“Temani saya makan mbok.”

Sebenarnya nada suara Max biasa saja, tetapi ada sesuatu yang bisa ditangkap dan dirasakan oleh Mbok Asih yaitu kekecewaan dan luka yang mendalam. Mbok Asih merasakan hal tersebut, hingga ia pun bangkit dan keluar dari kamarnya yang gelap menuju ruang makan yang pencahayaannya sudah diset dengan remang yang hangat. Perlahan, Mbok Asih berjalan menuju kursi yang seharusnya ditempati oleh Raine. Ia duduk di situ.

“Maaf, mungkin hidangannya sudah agak dingin. Mari kita makan.” Max berkata tanpa ekspresi dan memulai seluruh prosesi makan malam tersebut. Mbok Asih mengikutinya.

Seraya makan, Mbok Asih meneteskan air mata.

—//—

Malam hari yang sama, pukul 10 malam. Raine sedang sibuk mengganti saluran televisi puluhan channel di apartemen Fiona. Suara televisi itu ia setel mute. Ia hanya mengenakan piyama dan berbaring di atas sofa depan televisi. Asap rokok mengepul di ruangan tersebut. Beberapa kaleng coca-cola, wadah es batu serta kotak Ayam Goreng KFC berserakan di meja depan televisi.

Fiona sendiri sudah sejak tadi terkapar di kasur yang ia bentangkan di depan televisi tersebut. Suara headphonenya yang memutar musik dari iPod sedemikian kencangnya, hingga terdengar alunannya oleh Raine.

Raine mematikan rokoknya di asbak dengan sedikit tekanan dan putaran. Menenggak tetes tetes terakhir dari kaleng minuman ringan berwarna merah. Ia mendekat dan memperbaiki selimut yang dikenakan Fiona. Ia mengambil iPod yang tergeletak dan melihat judul lagu yang sedang diputar di layar kecil,

: IF – EMI FUJITA

Ia melepaskan headphone dari telinga Fiona secara hati-hati dan mendengarkan lagu tersebut selama beberapa detik. Lagu yang sangat mengalun tersebut sanggup menyentuh hati Raine. Tiba-tiba ia merasakan kesedihan entah darimana. Ia pun mematikan iPod tersebut dan meletakkan headphone beserta gadgetnya di atas meja.

Melangkah ke arah wastafel. Menyikat gigi. Mouthwash. Membasahi muka. Dan sekarang ia siap untuk tidur, setelah hari yang melelahkan. Lampu meja remang di dekat sofa pun ia padamkan. Tangan kiri yang memegang remote televisi menekan tombol power off. Raine membaringkan dirinya di sebelah Fiona.

—//—


Masih malam yang sama. Pukul sebelas malam. Ayako sudah pergi tidur sejak jam 9 tadi. Hanya Lowry dan ayahnya duduk mematung di depan televisi tanpa ada saling tegur sapa. Sudah satu jam keadaannya seperti itu. Lowry malas untuk memulai percakapan. Ia tahu ayahnya biasanya akan mencerewetinya dalam banyak hal.

“Bagaimana, apa kau ada niat untuk ikut ayah ke Jepang?” ayahnya tiba-tiba saja memecah kesunyian.

Lowry tidak menjawab apapun.

“Kau tahu, kau bisa melihat banyak hal baru seandainya kau memperluas pandanganmu.”

“Aku tidak tahu aku punya adik tiri hingga hari ini. Apa ada rahasia lain yang perlu engkau ceritakan hari ini, Ayah?” Lowry Junior menggeram kesal.

“Kau akan berulang tahun yang ke 26 bulan Oktober yang akan datang, benar?”

“Ya,”Lowry tak tahu alasan ayahnya menanyakan hal tersebut.

“Kau tahu berapa umurku?” tanya ayah Lowry balik.

“Kau … kau berusia 55 tahun bukan?”

Ayahnya hanya tersenyum kecil. “Seperti yang kuduga, kau bahkan tak yakin kau tahu umurku. Nampaknya, aku benar-benar dalam masalah.”

“Apa .. mengapa kau mengatakan .. masalah apa maksudmu?” Lowry Junior tambah bingung dibuat oleh ucapan ayahnya yang tak sedikitpun ia mengerti.

“Malam ini, malam terakhir ayah akan mengganggumu. Ayah hanya meminta agar kita dapat berkomunikasi dengan baik malam ini. Maukah kau memberikanku satu kesempatan ini?”

“Ya … tentu saja .. mengapa tidak .. mari bicara.”

“Aku dan ibumu berpisah saat kau baru berusia delapan tahun. Kau masih sangat kecil waktu itu. Aku pun masih bergelut dengan berbagai macam ketidak pastian dalam menjalani pekerjaanku. Saat itu, … satu-satunya yang ada dalam pikiranku adalah pekerjaanku. Jadi, dengan sangat terpaksa aku membiarkan kau diasuh oleh ibumu.”

“Kau … lebih memilih pekerjaanmu daripada aku?”

“Tidak. Bukan seperti itu. Aku tahu aku tidak pandai dalam bergaul dengan orang. Saat itu adalah masa-masa yang sangat sulit dalam hidupku. Aku sendiri tidak yakin aku bisa melewatinya. Kau hanya akan menjadi anak yang kurang pendidikan bila ikut denganku. Untungnya, ibumu masih memiliki keluarga yang sangat baik. Meskipun ia sibuk berkarir, aku yakin kau tidak akan terlantar begitu saja.”

“Wah, kau sangat perhatian, terimakasih.” Lowry masih tetap sinis.

“Aku ingin tahu, apa pendapatmu tentang diriku selama ini. Ayolah, kau bisa mengatakan yang sejujurnya. Aku ingin mendengarkannya.”

“Pendapatku tentang Ayah. Kau benar-benar ingin tahu? Ayah meninggalkan ibu. Ayah bersikap seenaknya sendiri dan mementingkan masa depannya sendiri. Ayah ingin lepas dari semua beban dan tanggung jawab. Ayah menginginkan wanita yang lebih dari ibu. Ayah adalah seorang yang egois. Seorang yang berfikir bahwa dengan uang maka engkau bisa memiliki seluruh isi dunia. Dan oleh sebab itu semua, aku tak ingin menjadi orang seperti Ayah!” Lowry memuntahkan seluruh perasaannya yang terpendam selama ini. Tangannya bahkan sedikit mengepal kencang.

“Bagus. Sekarang Ayah ingin tahu, bagaimana caranya agar Ayah bisa terlihat baik di matamu?”

“Cara? Tidak akan ada cara. Semua kepahitan yang telah terjadi di masa lalu tidak akan menghilang begitu saja dengan beberapa perbuatan baik di saat ini dan masa depan. Kau seharusnya tahu itu. Kau seharusnya berfikir lebih jauh dan lebih panjang ke depan sebelum meninggalkan aku dan ibu.”

“Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana menurutmu semuanya akan terjadi saat ini seandainya dulu aku membawa engkau bersamaku ketika aku berpisah dengan ibumu? Ibumu akan hancur hatinya karena kehilanganmu,dan dia akan jatuh sakit-sakitan. Aku tidak akan sanggup untuk membiayaimu, dan kau mungkin tidak akan menyelesaikan sekolah dasar. Aku mungkin tidak akan punya kebebasan dan keberanian untuk pergi mengadu nasib di negara orang. Dan saat itu semua terjadi, kau akan menyalahkanku atas apa yang terjadi dengan ibumu dan dirimu.”

“Kau membela diri? Bisanya kau.” Lowry masih kesal.

“Aku tidak membela apapun. Tapi kau tidak melihat semua ini dengan sudut pandang yang benar.”

“Sudut pandang apa yang benar?! Mengapa Ayah dan Ibu harus berpisah? Mengapa kalian tidak bisa menyatukan perbedaan dalam hidup kalian? Mengapa kalian begitu egois?”

“Ada kalanya segala sesuatu memang mesti terjadi. Ada kalanya gelas akan pecah dan yang terbaik yang bisa dilakukan adalah mencari gelas yang baru. Ada kalanya hal-hal tidak bekerja seperti apa yang kita mau, dan yang terbaik yang bisa dilakukan adalah menghadapinya dengan keberanian, meskipun pahit, meskipun sedih, meskipun kelam. Itulah yang namanya hidup! Kau 26 tapi pengalaman hidupmu belum ada apa-apanya! Kalau kau sudah merasakan luka yang mematikan hatimu, dan kau sanggup bangkit lagi, menghadapi dan menjalani hidup dengan luka itu, baru kau bisa bicara. Apa kau pikir kau bisa melakukannya lebih baik dariku?!”

“Aku bisa melakukannya semuanya lebih baik darimu, Ayah! Aku tidak akan meninggalkan seorang wanita yang kucintai, karena itu akan menyiksa hidupnya bila aku tak ada disisinya. Aku tidak akan seperti kau!”

“Bagaimana bila adanya dirimu itulah yang menyiksa wanita yang kaucintai? Kau tetap tak akan meninggalkannya?”

Lowry Junior tertegun sesaat.

“Apakah kau sedang mencoba mengatakan bahwa Ibu tidak setia padamu? Ibu menyayangi kita semua. Seharusnya kau tahu itu!”

“Ibumu menyayangi aku tetapi ia tidak mencintai aku. Dan itu sama sekali tidak salah. Kau benar, ia menyayangi kita berdua.”

“Lalu mengapa kau masih meninggalkan kami?”

“Jika aku masih bersama kalian, kita akan hancur sebagai keluarga. Saat itu aku tidak punya pekerjaan dan penghasilan, Saat kau berusia lima tahun aku dipecat dari pekerjaanku sebagai pelayan, dan selama hampir tiga tahun, aku kesulitan menafkahi keluarga kecilku. Kami, aku dan ibumu, sangat bergantung pada kebaikan hati orang tua ibumu. Di saat yang bersamaan, kau mulai masuk sekolah. Di tempat tinggal kami yang lama, jauh dari rumah orang tua ibumu, sedangkan kantor ibumu ada di dekat rumah kakek nenekmu.Aku bisa merasakan bahwa aku menjadi penghalang bagi banyak hal. Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan kau dan ibumu, sebelum nilaiku sebagai laki-laki benar-benar hilang dimatanya. Aku memutuskan untuk meninggalkannya selagi masih ada sedikit cinta tersisa untuk diriku.”

“Kau tahu, kepergianmu itu membuat ibu menangis, dan membencimu, tapi kau tetap melakukannya?”

“Aku melakukan apa yang harus kulakukan. Aku lebih bisa hidup dengan kebencian dari ibumu daripada harus hidup dengan kenyataan bahwa akulah yang membuat kalian berdua tidak memiliki masa depan. Dan saat ini, aku percaya bahwa keputusanku waktu itu adalah keputusan yang tepat.”

“Entahlah, Ayah. Aku tak tahu harus berkata apa.”

“Setidaknya, terima kasih karena telah memberiku kesempatan. Masalah tawaranku untuk kerja di Jepang, kau boleh pertimbangkan kapan saja.”


EPISODE 2 – FAKE PLASTIC TREE (28 SEPTEMBER 2009)

Pagi. Lima pagi. Sierra beranjak melangkah ke luar dari ruangan tempat dimana Kikan dirawat. Pria itu baru saja terbangun. Kikan jadi terjaga mendengar langkah Sierra menjauh dan membuka pintu.

“Kemana kak?” tanya gadis itu.

“Aku mau cari musholla dulu, shalat subuh. Kutinggal sebentar gak papa ya?” Kikan mengangguk pelan.

“Tolong nyalakan saja lampunya kak.”

Sierra pun menyalakan lampu ruangan tersebut dan lalu menutup pintunya. Kebetulan ruangan tempat Kikan persis di depan loket perawat jaga. Sierra melihat ada seorang suster yang sedang berdiri membelakangi loket.

“Maaf suster, musholla di sini ke sebelah mana ya?”

Perawat itu membalikkan badan dan melihat ke arah pria yang baru saja bertanya. Ia mengamatinya dengan penuh kekaguman. Sierra memang memiliki kemampuan daya tarik seperti itu terhadap lawan jenisnya. Tubuh yang atletis, dada yang bidang, kulit coklat gelap serta rambut yang tipis namun indah serta alis mata yang tegas membuatnya terlihat bagaikan pahatan patung pahlawan. Sungguh mempesona.

“Mbak?” tegur Sierra lagi.

“Oh iya .. iya .. kalau mau ke musholla silakan turun saja nanti dari pintu yang sebelah kiri sekitar beberapa meter di depannya ada musholla,” suster tersebut menjelaskan dengan sedikit terbata-bata,

“Oke. Terima kasih banyak ya.” ucap Sierra seraya mengatupkan kedua tangannya dan merapatkannya ke dada. Suatu gestur terima kasih khas Sierra, membuat siapapun lawan bicaranya merasa dihormati.

“Sama-sama mas.”

Lalu Sierra pun menyusuri selasar rumah sakit, berjalan beberapa meter ke arah tangga turun. Dan akhirnya, ia menemukan juga musholla sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh suster tadi.

Sierra menggulung lengan kemeja panjang kotak-kotaknya yang kancingnya memang selalu dibiarkan terbuka. Ia juga menggulung celana jeansnya hingga beberapa sentimeter di atas kaki, agar tidak basah terkena air saat wudlu. Jam tangan tali kulitnya ia lepaskan dan masukkan ke saku depan celana jeansnya.

Sierra pun berwudlu. Betapa percikan-percikan air itu sangat menyegarkan dan mampu menenangkan jiwanya yang gundah. Prosesi bersuci dilakukan dengan sempurna. Setelah itu ia berbalik dan melangkah dengan menjinjit. Ia menengadahkan kedua tangannya dan membacakan doa seusai berwudlu, lalu dengan kaki kanan melangkah masuk ke masjid itu.

Sierra berdoa. Beribadah. Menunaikan kewajibannya. Berharap agar kesedihan yang selama ini dirasakannya dapat hilang seluruhnya.

Usai gerakan salam, ia membaca doa dengan khusuk dan tak terasa air matanya menetes.

—//—

Pagi hari yang sama. Fiona sedang memasak sarapan untuk Raine. Raine masih berkutat dengan kosmetik di wajahnya. Fiona berteriak dari dapur. “Raine, apa rencanamu hari ini?”

“Maksudmu?” Raine menjawab dari dalam kamar.

“Ya.. maksudku, kamu mau kemana hari ini say?”

“Enggaklah.. enggak kemana-mana kok.”

“Loh .. enggak kemana-mana kok dandan?”

Tidak terdengar suara beberapa saat. Fiona masih sibuk membolak-balik omeletnya di wajan. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan tepukan Raine di bahunya.

“Cantik selalu, selalu cantik… masih inget motto tim cheers kita say? Cheers – Cheers – Cheers Cantiiikkk!”

Seraya mengulangi kalimat tersebut Raine melakukan gerakan yang selayaknya dilakukan oleh cheerleader. Melihat Raine jejingkrakan, Fiona hanya bisa terkekeh, “Aduh, Jeng, mbok ya inget umur. Ini bukan tujuh tahun yang lalu.”

“S-A-R-A-P-A-N … SA RA PAN … YEEEEYY”

Raine terus tersenyum, jejingkrakan, dan berteriak-teriak seolah dirinya seorang anggota cheers.

Fiona diam saja. Sebagai sahabat lamanya, ia kenal persis watak dan pembawaan Raine. Bila Raine tersenyum berlebihan seperti ini, ini adalah caranya membunuh kesedihan dan kemurungan yang ia rasakan. Raine selalu seperti itu, menyembunyikan tangisnya dalam tawa. Fiona sadar betul, kemunculan Raine saat ini sangat tiba-tiba, seolah ia sedang melarikan diri dari sesuatu. Kemarin malam, Raine sahabatnya itu masih terus terlihat murung. Dan ia belum menceritakan alasan kedatangannya ke Jakarta. Fiona tidak ingin memulai mengorek kesedihan sahabatnya. Ia menunggu, menunggu Raine membuka perasaan dan menceritakan semuanya.

“Hey, nona Cheers. Sarapannya sudah siap!”

“YEEEEEEYYY … Itadakimaaasu!” Lalu Raine menyantap makanannya dengan lahap.

Fiona memperhatikan sahabatnya dengan sudut matanya.

-//-

Lowry terbangun pagi itu, masih dalam kantuknya, ia menjangkau telpon genggam yang ia letakkan di balik bantal. Enam pagi. Ia langsung membuat pesan pendek kepada sahabatnya.
:Sierra, gimana keadaan Kikan, udah baek? Ada yang perlu dibawain lagi dari rumah? Nanti aku minta Mang Udan antar ke rumah sakit kaya kemarin. Bantal/selimut mungkin?

Ia sudah nyaris terlelap, ketika beberapa menit kemudian sms balasan dari Sierra masuk.
:Lumayan. Jari kakinya retak. Boleh deh, tolong mang Udan bawain buah sama roti. Thanks you’re the best. Btw, bokap lo bikin masalah ga?

Lowry terhenyak sejenak membaca pesan tersebut. Akhirnya ia membalas.
:Enggak. Bokap fine-fine aja. Gw mau tidur lagi.

Dan mengirim sms lain untuk Mang Udan, sopir sekaligus orang kepercayaan Lowry dan Sierra.
: Mang, nanti tolong beliin buah dan roti. Bawa ke rumah sakit. Sekalian tanya Sierra, baju kotornya cewek itu ada yang mau dilaundry enggak. Ke rumah sakitnya jam 8 an biar nanti siang bisa antar saya ke bandara.

Mang Udan membalas dengan singkat.
: Siap laksanakan den Lowry.


Max masih duduk di depan televisi. Mbok Asih baru saja selesai memasak lauk pauk untuk makan siang. Ia sedang mengeringkan piring-piring yang baru selesai dicuci dengan sebuah serbet. Pukul sepuluh di pagi yang sama.

“Jangan melamun saja pak, enggak bagus.”

“Saya enggak sedang melamun mbok,” Max mencoba mengelak.

“Bapak masih memikirkan nona Raine ya?”

Yang ditanya diam sesaat dan memperhatikan pembantunya yang sedang mencuci piring.

“Bisa tahu gitu gimana caranya mbok?” Max berucap sedikit tersenyum.

“Ya iyalah Pak, namanya orang lagi kasmaran ya yang di pikirkan pasti hanya kekasihnya.”

“Hahaha, si mbok bisa saja. Mana mungkin saya sedang kasmaran. Ini saya sedang patah hati.”

“Hoalaa, patah hati kok ya nonton televisi, orang tuh kalo patah hati kerja Pak.”

Kening Max berkerut bingung, merasakan si Mbok agak enggak nyambung.
“Kok malah kerja mbok?” tanya Max.

“Ya pak, dulu waktu suami saya masih hidup, pernah satu harian penuh itu kerjaannya nyangkul saja di sawah. Saya dikasih tahu sama keluarga saya.”

“Lho memang si mbok kemana?”

“Saya waktu itu ya lagi di Jakarta, mau berangkat jadi TKW di Malaysia. Katanya sih suami saya patah hati karena mau saya tinggal.”

“Ooh, iya ya, pasti suami mbok enggak mau ditinggal.”

Max lalu melihat-lihat tumpukan CD yang ada di rak CD dekat televisi. Melihat koleksi kesayangannya.

“Eh tapi sudah saya enggak jadi ke Malaysia, bulan berikutnya malah suami saya meninggal. Dia itu curang. Gak mau ditinggal, tapi malah ninggalin saya.”

Nada suara Mbok Asih sedikit terisak tertahan. Max melihat ke arah pembantu tua nya itu. Merasa iba. Mbok Asih berhenti sesaat dari mengeringkan wajan dan piring – piring. Mengerjapkan kedua matanya dan berusaha menghapus tetes air matanya dengan serbet yang tadi digunakan untuk melap piring.

“Lho Mbok Asih kok malah nangis?” ucap Max bingung

“Enggak ah, siapa yang nangis, saya cuma keingetan saja Pak. Jengkel saya kalau inget itu jadinya.”

Max yang tak tahu harus berkata apa mengalihkan pandangannya kembali pada tumpukan CD. Mbok Asih pun akhirnya berhasil mengendalikan semburat emosinya dan kembali bekerja dengan tenang.

—//—

““Kamu lahap banget ya makannya biar badan kecil gitu.’ Sierra mengomentari nafsu makan Kikan yang sedang ia suapi nasi dan lauk pauk dari rumah sakit. Kikan sedang sibuk mengunyah nasi yang baru saja masuk mulutnya. Menenggak setengah gelas air putih, sebelum ia mulai merespon ledekan dari pacarnya itu.

“Dimana-mana yang namanya kalau lagi sakit itu makannya harus banyak kak.”

“Apa hubungannya yang sakit kan jari kaki? Kamu makan udah kaya supir truk juga.” Sierra terbahak.

“Supir truk? Gapapa, aku supir truk yang paling cantik di dunia, sampai-sampai kak Sierra naksir sama supir truknya. Iya kan? Iya kan?” Kikan mengucapkannya sembari mengedipkan matanya beberapa kali.

“Idih .. apaan tuh? Mata kamu kenapa? Mau aku panggilin suster ya?” Sierra meletakkan sendok dan piring nasi yang ia pegang ke meja kecil, lalu berpura-pura akan menekan tombol pemanggil suster.

“Iiih nyebelin deh, ini kalo orang cantik itu matanya kaya gini,” ucap Kikan masih mengedipkan matanya sambil menarik dan mengayunkan telapak tangan kiri Sierra yang ada di genggamannya.

Sierra pun duduk kembali. “Tau nggak, itu bahasa gaulnya apa kalo orang matanya kayak gitu?”

“Tau dong, orang cantik tau semua,” ucap Kikan seraya mengangkat dagunya seolah-olah ia sombong.

“Boleh, silakan apa coba kalo memang beneran tau?” Sierra menantang.

“Yang bandnya Mike Shinoda itu kan?” ucap Kikan masih mengerlingkan kedua matanya.

“Loh, kok jadi bandnya Mike Shinoda? Ngaco nih pasti jawabannya.” Sierra mulai tak percaya.

“Itu.. Blinking Park.” Kikan pasang tampang polos.

“Jiaaaaaahh.. Capeeek deeh. Blinking Park.. hahaha, plesetan yaaa? Mau lucu yaa? Lucuu?”

“Lho iya, sekarang kan bahasa pergaulan bahasa Inggris, ngedip itu bahasa Inggrisnya Blinking, bukan begitu?” Kikan tak mau kalah.

“Yang aku maksud tadi itu keliyepan. Itu.”

“Kok keliyepan sih? Darimana munculnya itu kata? Kikan baru denger.”

“Dari kelilipan.”

Kontan Kikan terkikik mendengar kata ‘kelilipan.’

“Bahasa planet mana itu kelilipan,’ ejeknya masih sambil tertawa.

Sierra yang sebal ditertawakan mulai mengelitiki samping perut Kikan, membuat Kikan tertawa makin kencang. Siang yang indah di sebuah rumah sakit. Ketika Cupid menembakkan panah asmaranya, apakah akan ada yang dapat menghindar?


Masih siang yang sama. Lowry sedang dalam perjalanan pulang dari bandara. Ia duduk di belakang sedangkan Mang Udan menjadi supir. Honda Jazz merah milik Lowry melaju dengan tenang. Lagu dan iklan dengan volume suara kecil silih berganti dari radio yang sedang diputar.

“Mang Udan, nanti mampir ke kantor ibu sebentar ya?”

“Loh, kok ke kantor den, bukannya ini hari Minggu? Memangnya ada yang kerja den?”

“Oh iya ya. Ya sudah enggak usah. Biar Lowry telpon saja.”

Lalu Lowry pun mengeluarkan telpon genggam dari saku celananya. Tapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya untuk menelpon ibunya. Ia berpikir bahwa masalah Ayako ini terlalu penting untuk dibicarakan melalui telepon. Setelah percakapan dengan ayahnya kemarin, entah mengapa Lowry sedikit merasa ada yang berubah dari perasaannya terhadap ayahnya.

Selama ini ia selalu merasa bahwa ibunya adalah perempuan muda, yang rapuh dan sangat tersakiti ketika perceraian itu terjadi. Selama ini ia selalu mengira bahwa ayahnya adalah penjahat kelas tengik yang bisanya hanya mencampakkan wanita. Lowry selalu berpikir bahwa dirinya adalah ksatria yang memiliki tugas suci untuk menjaga hati ibunya dari tangan pria-pria lain yang hanya akan menyakiti. Tak pernah ia sedikitpun terbersit bahwa mungkin ibunya memiliki keinginan untuk membangun rumah tangga baru dengan lelaki lain. Tak pernah ia memikirkan kemungkinan bahwa sebenarnya keputusan ibunya untuk tidak menikah lagi adalah keputusan yang diambil karena memikirkan perasaan Lowry. Tak pernah ia berpikir bahwa ia adalah penghalang kebahagiaan ibunya, secara tidak langsung. Hingga kemarin malam.

Sekarang Lowry tersadar, betapa naif dirinya selama ini. Bukankah setiap wanita menginginkan sentuhan belaian kasih sayang dari pria yang tulus mengasihinya. Bukankah selama ini tak terhitung jumlahnya pria-pria yang mencoba untuk mendekati ibunya? Dan pria-pria tersebut bukanlah pria sembarangan. ia tahu betul hal itu karena ibunya adalah seorang eksekutif yang sangat tinggi kelas pergaulannya. Ah, tiba-tiba saja sejuta rasa penyesalan membendung tak terbuncah di dalam hati dan pikiran Lowry. Jiwanya menjadi gelisah.

Apakah selama ini, aku telah membuat kesalahan yang fatal?
Apakah selama ini, akulah yang bersikap egois?
Apakah selama ini, akulah yang sebenarnya butuh untuk dilindungi?

Dan pertanyaan-pertanyaan itu terus menyudutkannya selama perjalanan pulang.

-//-

Masih di siang hari yang sama. Raine tengah asyik menjilati mangkok es krimnya. Ia sedang menghabiskan es krim tiga rasa berukuran 1 liter yang baru saja dibelinya tadi pagi. Duduk sambil mengangkat kaki di sofa menghadap ke televisi seolah itu adalah rumahnya sendiri. Ya, hubungan antara Raine dan Fiona memang benar-benar dekat. Mereka sudah serupa saudara kandung karena sejak kecil keduanya selalu dibesarkan bersama-sama. Mereka bersahabat sejak SD kelas satu hingga akhirnya keduanya sama-sama lulus dari fakultas komunikasi sebuah universitas negeri di kota Bandung.

Jauh di lubuk hatinya Raine tengah bingung dan gelisah karena ia merasa hidupnya bagai terombang-ambing tak tentu arah. Memasuki usianya yang ke 25, pertanyaan-pertanyaan serius tentang masa depan yang selama ini selalu diabaikannya, sekarang pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu mengusik tidurnya. Hatinya sering berucap, bertanya, “Dimana belahan jiwaku, Raine?” Dan Raine tak tahu harus menjawab apa. Kadang, ditengah kepanikannya atas serangan pertanyaan tersebut, ia menggumam dalam tidurnya, “Aku bahkan tak tahu harus mencari siapa. Ia yang pernah memilikimu telah lama menghilang…Dan aku tak tahu harus mencari kemana.”

Ya, Raine yang selama ini selalu terlihat sebagai wanita yang cerdas dan selalu mendapatkan apa yang ia mau, ternyata memiliki satu lubang besar di dalam hatinya. Lubang yang telah lama menganga. Ada cerita tentang seorang pria disana. Dan Fiona tahu semua tentang pria tersebut. Mungkin, itulah sebabnya saat ini ia melarikan diri dan bersarang di kediaman sahabatnya itu. Selain sahabat terdekatnya, Fiona jugalah satu-satunya orang yang tahu akan kisah yang ada di dalam hatinya. Namun saat ini, Fiona tidak sekalipun pernah menanyakan apa yang membuatnya gundah. Ya, Fiona diam seolah-olah ia tahu apa yang sebenarnya memenuhi benak Raine dan enggan membicarakannya. Raine pun sedikit memendam curiga terhadap sahabatnya itu.

Ada apa Fio?

Saat angan-angannya melayang jauh seperti itu, sendok es krim ditangannya sudah menyentuh dasar kotak, dan tidak ada lagi yang bisa disentuh. Raine melirik ke dalam kotak itu. Memastikan dengan sebal. Lalu melemparkan kotak itu ke kotak sampah. Masuk sempurna. Raine berbaring di sofa, dan menjilati sendok yang masih ada di genggaman tangan kanannya.

—//—


Max Alfar tengah duduk di kursi di teras depan. Di sebelahnya ada meja, dan kursi pasangannya diisi oleh Mbok Asih. Pemandangan yang tak lazim dimana seorang pembantu dan seorang majikan duduk berdua berdekatan bersamaan. Mbok Asih duduk menyandar dengan punggung menempel di badan kursi, sedangkan Max duduk dengan agak membungkuk, kedua kakinya agak terbuka, dan tangan kanannya memegang sebatang rokok yang tengah dihisapnya. Cuaca saat itu siang hari yang mendung, sepertinya beberapa saat lagi akan turun hujan deras. Mata keduanya lancang menatap ke kejauhan yang entah apa yang sedang mereka lihat dan fikirkan. Seperti orang yang tengah kena hipnotis saja laku mereka berdua siang itu.

Max yang sedang benar-benar dalam kebingungan. Seperti orang gila ia dibuat oleh besar rasa cintanya kepada Raine. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak, rokok pun tak lagi membawa kenikmatan, hanya asap yang menghembus tanpa makna.

Di sebelahnya, Mbok Asih diam merenungkan kisah masa lalunya yang penuh dengan kisah bahagia bersama suaminya yang telah meninggal dunia. Pernikahannya tidak pernah dikaruniai buah hati oleh sang pencipta. Mbok Asih orang yang sabar, sekalipun ia tak pernah mengeluhkan akan hal tersebut, hanya saja hari-hari ini, melihat Max majikannya yang tengah gundah dimabuk cinta, Mbok Asih kembali teringat akan masa mudanya.

Perempuan paruh baya itu membayangkan apakah hidupnya akan berbeda seandainya suaminya tercinta masih berlanjut usia. Apakah hidupnya akan berbeda apabila ia dikaruniai seorang putri atau putra. Mungkin putrinya sudah tumbuh dewasa dan akan menjadi putri yang pintar dan membanggakan. Mungkin putranya sudah menjadi seorang atlet bulutangkis yang bermain keliling dunia. Tetapi, Mbok Asih sekarang hanya sendiri, tanpa anak dan tanpa suami. Apakah ini yang namanya sepi? Saat itu Mbok Asih terpikir, dan merasa, sepi yang tiba-tiba saja tanpa ampun mengetuk lubuk hatinya. Rasa itu, rasa yang kejam itu, membuat Mbok Asih hanya menggigil dan mematung dengan mata menyalang jauh tak tentu kelananya. Sebersit terpintas pikirannya untuk pulang ke desa. Bersimpuh lusuh di bawah pohon kemboja, menyapa kembali pasangan jiwa yang berkalang tanah, di senja yang tertutup rindangnya bambu. Di kubur itu biasanya, ia bisa jadi lega, saat malam menyaput seluruh tangisan hati tanpa jeda berpuluh tahun lamanya.

“Mbok, apa saya ini harus pergi mbok?” Max Alfar bersuara namun baik badan maupun mukanya sama sekali tak menoleh.

“Pergilah Tuan. Sudahkan semuanya biar sudah.” Perempuan tua itu menyahuti. Juga tidak menatap lawan bicaranya.

Mengambil jaket dan kunci mobil di dalam rumah, Max lalu membuka gerbang. Menghidupkan mobilnya. Dan menderu pergi. Mengikuti kata hati yang tak mau luluh. Hati yang tak ingin hanya duduk bermenung. Hati para pemberani.


Malam hari. Pukul 7.20 Di sebuah area makan dan lapangan parkir yang luas di depan gedung Bank Mega/Trans TV. Max Alfar menunggu Raine dengan penuh cemas. Max duduk di salah satu tempat makan yang sepi di pusat jajanan tersebut. Hanya ditemani teh botol di atas meja dan sebatang rokok ditangan. Sesekali ia melihat ke telpon genggamnya. Membuka kembali sent message, memastikan bahwa pesannya tadi sudah terkirim.
:Aku ke Jakarta. Akan tiba di depan bank Mega jam 7. Tempat waktu itu. Kita harus bicara, Raine.

Dan balasan dari Raine sama sekali tidak membuatnya tenang.
: Akan datang. Tunggu saja.

Sekarang sudah lebih dari dua puluh menit dari waktu yang ditentukan tapi orang yang ditunggu tidak juga kunjung terlihat keberadaannya. Ya. Perasaan semacam ini yang benar-benar mencekam secara perlahan. Waktu seakan berputar sangat lambat. Dan setiap detiknya sangatlah menyebalkan.

–//–

7.05. Malam hari. Di lapangan parkir dekat area makan tempat janji bertemu dengan Max. Raine dan Fiona sedang duduk memperhatikan Max dari kejauhan dari dalam mobil Avanza milik Fiona. Mereka baru saja tiba di situ.

‘Kau yakin, yang itu orangnya?’ ucap Fiona

‘Iya. Tak mungkin salah. Itu pacarku.’ Raine menjawab datar.

‘Lalu, apa yang kau tunggu? Temuilah dia dan bicara baik-baik. Dia sepertinya seorang yang menyenangkan.’

‘Entahlah.’

‘Apa yang salah dengannya?’ kejar Fio.

Nothing. Aku hanya tak suka. Dia terlalu sempurna untukku,’ masih dengan nada acuh tak acuhnya Raine menjawab.

‘Ok. Seorang pria. Baik. Punya pekerjaan. Mapan. Menyayangi kamu apa adanya. What more can you really ask from a man?’ Fio mulai terdengar kesal.

Damn it, Fio. Stop judging me! Kamu membuat aku terdengar egois! Dan yang lebih buruk lagi, kamu pikir kamu tahu segalanya. Ini hubungan tanpa rasa, tidak ada apapun untukku di dalamnya. Nil. Nothing. Jadi sebelum kau memaksa sahabatmu untuk membunuh mati perasaannya dalam hubungan tanpa arti, pikir lagi. Semua tidak seperti yang terlihat. You can’t just be with someone who likes you!

‘Kalau memang tidak ada rasa. Katakan dari awal! Kenapa sudah beberapa saat jalan baru berubah pikiran? Kalau kamu tidak bisa menimbang perasaan orang lain, itu bisa dikategorikan sebagai egois. Dan karena aku sahabatmu, aku selalu punya hak untuk menilai kamu kapanpun aku mau. Kapanpun aku pikir kamu mulai melakukan sesuatu yang tidak fair terhadap orang lain.’

‘Apanya yang tidak adil? Aku memberinya kesempatan untuk memberiku ‘kesan’, justru yang tidak adil itu kalau aku tolak dia mentah-mentah sejak awal, tanpa memberinya kesempatan sama sekali.’

‘Baiklah. Kalau pola pikirmu memang seperti itu! Sekarang, yang tersisa tinggallah satu hal saja. Lakukan apa yang harus kau lakukan. Buka pintu, pergi keluar, temui dia, katakan tidak sampai disini, dan hentikan semuanya, dan tidak juga berteman. Kau tahu, itu hanya akan membunuhnya.’

‘Tidakkah ia terlihat sedikit uring-uringan? Aku khawatir ia tidak menerimanya dengan baik.’

‘Ya, mungkin kau harus tunggu beberapa menit lagi,’ Fio menyetujui.

Dan Raine pun akhirnya memutuskan untuk menunggu beberapa menit lagi. Dari dalam mobil itu mereka mengamati Max.
Mereka semua sedang menunggu.
–//–

7.22. Raine keluar dari dalam mobil dan melangkah menuju meja dimana Max sedang menantinya. Setiap langkah ia mendekat dirasakan oleh Max seperti palu godam yang menghantam di dalam dadanya. Bagaimana mungkin seorang wanita yang begitu diagungkannya tetapi sekaligus pada saat bersamaan membakar dan mengiris rasa di dalam hatinya. Menatap Raine malam itu, bagaikan salju dan api yang berkecamuk dalam diri Max. Ia ingin mengamuk, melampiaskan amarah sebagaimana haknya karena menjadi pasangan yang tak dianggap. Namun di satu sisi lain dalam hatinya, Max selalu sadar dan mengerti bahwa ia menghamba dan bertekuk lutut di hadapan Raine, ratu penguasa hatinya. Kepadanyalah ia akan menuruti segala perintah dan keinginan. Meski harus memetik bintang atau menghunus pedang. Wanita ini, telah membuat ia tak berdaya dari tatapan pertama. Dan malam ini, setelah berjumpa seperti ini, sedekat ini, dengan kehadiran bidadari itu hanya beberapa meter dari sisinya, melangkah ke arahnya, debar jantung Max kian cepat, lidahnya menjadi kelu, seakan tak ada kata yang ingin ia ucapkan, selain maaf. Dan itulah kata pertama yang keluar dari bibirnya saat Raine duduk persis di hadapannya.

‘Maafkan aku, Raine.’

–//–


“Katakan apa yang menjadi niatmu,”

Raine mencoba untuk tetap tenang dan menatap tajam ke dalam mata pria yang duduk di hadapannya. Max diam sejenak, menatap tak percaya ke arah gadis yang telah ia berikan seluruh hatinya itu. Lalu dia menunduk menatap meja, tersenyum, dan mengetukkan kotak rokoknya secara perlahan.

“Nampaknya, .. apapun yang akan kukatakan tidak akan membuat banyak perbedaan ya.” Max membuka percakapan.

“Kau bahkan tak perlu susah payah datang kemari,” ucap Raine lagi.

“Boleh aku tau mengapa?”

“Untuk apa?”

“Aku hanya ingin tahu, apa yang membuat kau tiba-tiba menarik kesempatan yang awalnya kau berikan padaku.”

“Kau sungguh ingin tahu jawabannya, Max?”

“Itu akan menyenangkan.”

“Baiklah. No offense. Aku ingin mencintai. Aku tak ingin belajar mencintai. Denganmu, rasanya seperti memungut anak kucing di jalan. Awalnya kau mengasihinya, lama kelamaan membosankan.”

Sesuatu mengencang di dalam dada Max. Retak. Berkeping-keping.

“Sungguhkah? Kau tidak hanya sedang bingung? Karena aku bisa memberimu jarak jika itu yang sebenarnya kau butuhkan.”

“Ayolah. Yang benar saja. Who are you? My dad? You don’t have to care about what I need. You can’t even give me what I want.”

Hati pria itu kian remuk. Serpihannya berhamburan. Dan matanya mulai berkaca.

“Itu benar. Aku bahkan tak tahu apa yang kau mau. Ini terlalu singkat. Seharusnya kau memberi waktu lebih, bukan begitu?” Max masih berusaha dalam kegetirannya, mencoba tersenyum.

“Aku tak lagi berpikir ada yang perlu dibicarakan. Lebih baik kita usaikan percakapan ini. Bye Max.”

Raine berdiri dan membalikkan badannya hendak melangkah menuju mobil, tetapi Max cepat menahan dengan memegang pergelangan tangannya.
Raine menoleh kepada pria yang tengah menggenggam tangannya itu. Dan ketika itu Max melihat dengan jelas betapa wajah Raine, yang selalu membayang di dalam setiap angannya itu, basah berlinang air mata. Harapannya sedikit membubung lagi melihat itu.
Hening beberapa detik tanpa kata.

“Setidaknya beri aku satu kesempatan lagi Raine, please.”

Max sungguh berharap ada sedikit keajaiban di sisinya malam ini. Ia butuh sedikit saja keajaiban. Dalam hati ia berharap. Namun reaksi Raine sungguh di luar dugaan. Raine menyentakkan tangannya.

“Lepaskan! …. Dan kau berdiri sekarang, aku tak ada lagi keinginan untuk berada disini membicarakan semua omong kosong mu atau apapun itu. Aku tak tertarik!”

Max berdiri. Ia bisa merasakan tubuhnya memanas dan seluruh tubuhnya seperti mengeras. Ia mencoba menahan emosinya yang tiba-tiba membubung.

‘What?!’ hanya itu kata tertahan yang bisa keluar dari bibir pria malang itu.

“Kamu pria bagus. Kamu pria sempurna Max. Cari wanita lain. Karena aku, aku adalah barang rusak! Aku mencintai seseorang dari masa laluku. Aku tidak ada di saat ini. Aku tidak bernafas dan merasakan atau melihat dunia seperti yang orang lain rasakan. Aku stuck di masa lalu! Dan itu juga sebabnya mengapa, di mataku kau sangat biasa. Meskipun kau bisa memindahkan letak bulan dan matahari pun aku takkan kagum. Aku takkan pernah punya alasan atau keinginan untuk bersamamu. Jadi berhenti bersikap naif. You’re pathetic! Bicara kesempatan. Kesempatan apa?! Aku tak pernah punya niat untuk menjadi dewi penyelamat bagi kehidupanmu yang so common. Di mata kamu aku hanyalah pelengkap puzzle. Agar sesuai dengan segala sesuatu yang biasa lainnya di dalam hidupmu. Mengapa kau berpikir aku ingin menjadi bagian dari sesuatu yang biasa?! Picik!” Raine menarik nafas sejenak… mengusap air mata di wajahnya.

‘What?!” Max masih tak percaya. Dunianya terjungkir balik.

“Jadi. Kalau kau ingin mencintai dengan sepenuh hati, menikah, berkeluarga dan segenap angan-angan muluk lainnya, demi Tuhan!, berikan semua itu pada gadis lain, yang menginginkan apa yang kau inginkan. Atau jauh lebih baik lagi. Bangun dari semua mimpimu. Hiduplah! Dan berhenti menjadi seseorang yang sangat biasa! Kau hidup hanya satu sekali. Mengapa mengambil jalan yang ditempuh semua orang? Bila kau terus menjadi ‘pengecut’, aku khawatir kau bahkan tidak akan pernah tahu bahagia itu apa. Kau pernah dan selalu bilang aku ‘spesial’ untukmu. Tapi kau juga selalu bicara tentang cinta, kesempatan, keluarga dan hal-hal biasa lainnya. Sungguh tidak konsisten. Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Kau selalu ingin kebenaran. Inilah kebenaran yang kau inginkan. Bye Max. Have a nice life.”

Raine membalik badan dan benar-benar berjalan meninggalkannya. Max hanya bisa mengamati wanita itu kian menjauh. Mobil yang dikemudikan Fiona dan yang juga dinaiki Raine meninggalkan area tersebut.

Max masih berdiri.
Masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.


8 malam. Masih di hari yang sama. Lowry sedang berjalan menapaki anak tangga rumah sakit dengan membawa sebuah tas kosong. Mang Udan menunggunya di mobil. Ia terus berjalan melewati beberapa ruangan bangsal, hingga akhirnya tiba di depan pintu kamar tempat Kikan dirawat. Dan mengetuk pelan pintu tersebut.

Di dalam Sierra sedang membaca majalah dengan asyiknya. Ia tidak mendengar bunyi ketukan tersebut.

‘Kak, ada yang ketuk pintu tuh, pasti Kak Lowry sudah datang.’ Kikan memberitahu Sierra.

‘Oh ya? Biar kulihat sebentar.’

Sierra beranjak dari duduknya menuju pintu. Dan tersenyum lebar ketika melihat bahwa ternyata memang benar Lowry yang datang. Lowry tidak langsung masuk, ia masih berdiri dan tersenyum penuh makna pada sahabatnya itu.

‘Gimana? Apa tuan putrimu sudah bisa pulang?’ tanyanya kemudian.

‘Hm? Ya.. ya, dokter sudah membolehkannya pulang tadi, dan seluruh biaya rumah sakit juga sudah kubayar. Kami memang sedang menunggumu.’

‘Ini tasnya yang kau minta untuk aku bawa,’ sambil menyerahkan tas yang ia bawa.

Dan mereka berdua pun melangkah masuk ke kamar, hingga Kikan bisa melihat mereka berdua.

‘Kak Lowry!’ ucap Kikan senang.

‘Halo Sinderela yang jatuh dari sepeda, apa kabar tuan puteri?’ Lowry menyindir dengan senyum merekah dan tangan terbentang. Mereka pun saling berangkulan sesaat. Sierra sudah sibuk memasukkan beberapa potong pakaian dan piring, gelas, serta roti dan buah ke dalam tas, bersiap-siap untuk pulang dan tidak meninggalkan suatu apapun di rumah sakit. Lalu melangkah ke kamar mandi untuk mengambil sikat gigi.

‘Baik dong! Kata dokter Kikan sudah boleh pulang, berarti sudah oke kan?’

‘Apanya yang oke? Kaki masih kelilit perban kaya gitu dibilang oke. Sierra pulang. Kikan disini aja sendirian, gimana?’

Dan Kikan pun tidak menjawab. Hanya memonyongkan bibirnya dan memasang tampang gusar yang membuat Lowry tertawa pelan.
Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Sierra memberikan tas itu kepada Lowry.

‘Aku mau kasih tahu perawatnya sebentar, sekalian mau pinjam kursi roda.’

Lowry pun menerima tas tersebut, tapi karena dirasa berat, ia letakkan tas tersebut di atas kursi. Sedangkan Kikan yang tadi masih dalam posisi terbaring, sekarang sudah duduk di bibir ranjang, bagian kakinya yang sedikit retak masih dalam balutan perban. Ranjang itu agak tinggi, jadi ia duduk dengan agak menggantung. Di luar, Sierra bercakap-cakap dengan beberapa orang perawat. Menunggu sebentar, seorang perawat membawakannya kursi roda lipat. Sierra pun kembali ke kamar dengan kursi roda tersebut, dan perawat tadi mengikutinya.

‘Nona Kikan sudah mau pulang ya?’ tanya si perawat ramah.

‘Iya suster.’

Sierra menjajarkan kursi roda di pinggir kasur dan menahan beban tubuh Kikan di bawah kedua lengannya saat Kikan berpindah dari kasur ke kursi roda.

‘Selamat jalan, Nona Kikan. Kami doakan segera pulih ya.’

‘Terimakasih.’

Sierra pun menjabat tangan si perawat, ‘Terimakasih banyak atas bantuannya suster.’

‘Sama-sama Pak.’

Dan mereka pun bersiap meninggalkan rumah sakit tersebut. Sierra mendorong Kikan yang duduk di kursi roda, sementara Lowry berjalan seirama dengan membawa tas penuh isi. Bila tadi Lowry naik lewat tangga seorang diri, sekarang, karena menggunakan kursi roda, mereka turun dengan menggunakan lift. Tak berapa lama, mereka pun sampai di pintu mobil. Seorang perawat pria baru saja meninggalkan mereka setelah mengambil kembali kursi roda yang tadi digunakan Kikan. Kikan dan Sierra duduk di belakang, sedangkan Lowry duduk di depan. Mang Udan menutup bagasi setelah memasukkan tas bawaan mereka, dan di bagasi tersebut juga terdapat sebuah crutches untuk membantu Kikan berjalan yang tadi dibeli Lowry di sebuah toko alat kesehatan.
Mobil pun melaju pelan membawa mereka. Mang Udan mengemudi dengan sangat hati-hati, karena ia tidak ingin ada gerak kejut yang tak diinginkan.

‘Yeeyy, akhirnya pulang juga…’ Kikan nampak riang membuka suara.

‘Lowry mengamati Kikan dan Sierra dari kaca tengah, lalu menjawab, ‘Ah, senang bukan karena pulang, tapi karena bakal serumah dengan gw kan?’

Mendengar itu, wajah Kikan tersipu malu.

‘Kok tau sih?’ katanya lugu.

Sekarang gantian Sierra yang mesam-mesem enggak jelas.

‘Udah Kikan, si Lowry mah jangan diladenin. Tambah jadi, nanti dia.’ Sierra enggan dijadikan bahan lelucon, menghentikan percakapan Lowry dan Kikan sebelum terlanjur jauh.

‘Haha, gw pasang lagu aja deh ya, biar nggak sepi-sepi amat gitu.’

Setelah berkata demikian, Lowry pun menyentuh tombol radio di mobilnya. Setelah chit-chat tak jelas, di ruangan kabin mobil itu pun terdengar denting gitar akustik, disusul vokal Thom Yorke yang mengalun dengan sangat jernih, menyanyikan Fake Plastic Tree. Perjalanan mereka menjadi tambah indah, meskipun bagi Sierra, ia merasa Thom sedang mengingatkannya untuk tidak terus tenggelam dalam rasa cinta yang palsu.

She looks like the real thing.
She tastes like the real thing,
My fake plastic love.

–//–

Dan, begitu pun di antara deru jalanan yang kencang terdengar, karena kaca jendela dibuka, Max pun mendengarkan lagu tersebut dari radionya. Ia tengah dalam perjalanan pulang ke Bandung. Meninggalkan Jakarta. Dalam malam terpahit yang pernah ia rasakan sepanjang hidupnya. Thom Yorke menemani dan membius. Ia tak pernah merasa semalang ini sebelumnya.

But I can’t help the feeling.
I could blow through the ceiling.
If I just turn and run.

–//–

Di tempat lain, di kabin mobil Fiona, ia dan Raine pun mendengarkan lagu yang sama. Raine tak menyadari Fiona yang sesekali menatapnya. Hatinya masih dipenuhi emosi. Sedangkan hati Fiona, teriris, mencuri pandang ke arah Raine saat lagu itu berdendang. Tak ada yang tahu tentang apa. Fiona turut bersenandung bersama Thom dalam hatinya.

If I could be who you wanted
If I could be who you wanted … all the time..


Mobil yang sedang dikendarai oleh Mang Udan memasuki area kompleks mereka. Petugas keamanan setempat menghentikan dan memeriksa dengan sedikit melirik kaca jendela yang dibuka Mang Udan.

“Wah, si Eneng.. Udah sembuh Neng?”

Yang dipanggil sama pak Satpam kaget dan bangun dari tidur rebahnya di dada Sierra.

“Wah udah Pak. Makasih udah nanyain.” Lalu nyengir selebar – lebarnya.

Pak Satpam senang idola kompleksnya sudah pulang. Ia pun turut tersenyum.

“Pak, sepeda saya gimana pak, aman?” Sierra giliran buka suara.

“Aman, Bos.” Pak Satpam menunjuk ke arah pos, ada dua sepeda yang diikatkan ke besi persis di sebelah pos tersebut.

Lalu Mang Udan pun mengangkat tangannya tanda permisi dengan Satpam tersebut, dan kembali menginjak gas, rumah Lowry dan Sierra sudah tak berapa jauh lagi.

Dan beberapa menit kemudian, sampailah mereka di rumah tak berpagar itu. Rombongan tersebut mulai turun satu persatu dari mobil. Dan terdengar suara pintu-pintu yang dibanting menutup.

Kikan menggunakan crutchesnya berjalan dengan hati-hati sambil mengangkat sebelah kakinya. Untuk beberapa saat ia akan menetap di rumah Lowry dan Sierra. Kikan memilih seperti itu karena ia dirumah hanya tinggal sendiri, dan orang tuanya entah kapan akan pulang dari luar negeri. Mang Udan masuk paling belakangan dan mengunci pintu.

Beberapa saat lamanya, mereka mengurus diri mereka masing-masing. Mang Udan disuruh oleh Lowry untuk menggoreng nugget, serta sosis dan daging burger. Lowry mengganti baju dengan yang lebih nyaman dan enak dipakai bersantai di rumah. Sierra pun demikian, dan ia bahkan menyempatkan menunaikan shalat isyanya. Kikan bersih-bersih dengan cuci muka agar segar, sikat gigi, dan kumur-kumur mouthwash, tak lupa berganti baju dengan piyama.

Setelah itu mereka semua berkumpul di ruang tengah, di depan televisi. Itu adalah ruang tengah yang biasa. TV ukuran 42 inch tidak dihidupkan, karpet bulu nyaman yang luas membentang persis di depannya untuk menonton tv sambil tidur-tiduran atau bermain Playstation seperti yang biasa dilakukan oleh Lowry dan Sierra. Masih di area ruang tengah tersebut, terdapat sofa empuk bulat-bulat dan meja kaca panjang yang di bawahnya berserakan berbagai majalah dan koran-koran.

Mang Udan juga sudah selesai memasak, dan makanan cemil-cemilan itu sudah dihidangkan di atas meja kaca tadi, dan tak lupa 2 botol coca cola dingin dikeluarkan dari kulkas.

“Ngumpull,” ucap Sierra senang

Mang Udan hanya tersenyum. Kikan duduk di atas sofa dengan memeluk bantal besar. Yang lain duduk di bawah.

“Nah terus kita ngapain nih sekarang? Ohya mang, nanti kalo mau ngerokok, di teras belakang aja ya, ga enak nih kita lagi ada tamu,” ucap Lowry mengingatkan.

Mang Udan mengangguk.

“Nyanyi aja Low, mumpung ada si Kikan, biar dia jadi backing vocal,” usul Sierra.

“Wah bener tuh bener, ide brilian. Kan, loe nyanyi ya ntar? Awas lo kalo nggak mau nyanyi, gw timpuk pake ulekan cabe tuh kaki,” Lowry menyindir kondisi kaki Kikan.

“Mau gw nyanyi, tapi ada micnya engga? Suara gw merdu nih, bisa lah kalo cuma buat nyaingin Siti Nurhaliza mah..”balas Kikan.

Mendengar nama Siti Nurhaliza yang disebut Sierra dan Lowry langsung pasang tampang ekspresi gubrak. Ekspresi gubrak si Sierra kaya orang kena Skeliosis atau penyakit punggung apa lah itu yang punggungnya melentur membentuk C terbalik, lehernya menjungak sehingga rambutnya terurai ke bawah dan kedua tangannya mencekik leher sendiri, sambil akting kelojotan layaknya ikan mas ga dikasih aer.

Lowry lebih santai ekspresi gubraknya, tangan menempel ke dahi seperti orang sedang mengukur panas kening, dan berkata “cabe deh, udang deh, bakwan deh, tahu deh… Siti Nurhaliza.. wah Sierra, gw baru tau, ternyata elo pacaran sama Kak Ros..”

Mang Udan cengar-cengir saja melihatnya, dan beranjak ke belakang, paling juga mau bikin kopi, dan telponan sama istrinya. Kikan yang parah, dia tertawa ngakak sambil pukul-pukul bantal.

“Kalo gw Kak Ros, elo berdua upin ipinnya…” celoteh Kikan di sela derai tawanya.

Begitu cantik Kikan yang sedang tertawa, membuat Sierra dan Lowry sampai melongo berpandangan. Lowry lalu masuk kamar.

Tak berapa lama, Lowry keluar dari kamar dengan membawa dua gitar akustik, sebuah voice recorder yang ia berikan ke Kikan, dan beberapa majalah lagu lama.

“Nyanyi lagu apa nih?” tanya Kikan.

Sierra dan Lowry berpandangan, mereka masing-masing sudah bersiap dengan gitarnya.

“Lagu wajib!” kata Sierra

“Apa tuh?” tanya Kikan

Lowry membalik-balik salah satu majalah dan meletakkannya di hadapan Kikan. Kikan mengeja judul lagunya “Ko-Song, Pure Saturday?”

“Yuk, mulai ya” kata Sierra.

“Curang, aku kan belum tau lagunya?” keluh Kikan.

“Dengerin aja dulu, nanti baru ikutan.” kata Lowry.

Dan gitar pun mulai dimainkan, Sierra dan Lowry menyanyi bersama. Kikan memperhatikan dan lama-lama mulai ikutan … Dan malam pun naik perlahan … Dan itulah indahnya kebersamaan.

–//–

KOSONG – PURE SATURDAY

Coba untuk ulangi apa yang terjadi
Harap “kan datang lagi
Semua yang pernah terlalui
Bersama alam menempuh malam
Walau tak pernah ada kesempatan
Terjebak dalam jerat mengikat
Namun tekad nyatakan bebas

Temukan diri di dalam dunia
Tak terkira…
Semua mati dan menghilang
Terlalu pagi temukan arti

Jalan panjang semakin lapang
Hanya dahan kering yang terpanggang
Tak ada teman telah terpencar
Namun waktu terus berputar
Peduli apa terjadi
Terus berlari tak terhenti
Untuk raih harapan
Di dalam tangis atau tawa

Temukan diri di dalam dunia tak terkira
Tak berarti tak akan pasti
Terlalu gelap…pergilah pulang


EPISODE 3: INSIDE OF LOVE (29 SEPTEMBER 2009)

Beberapa menit lewat tengah malam, Max Alfar menutup pagar rumahnya. Mencari kunci pintu depan, menemukannya dan memasukkannya ke lubang kunci. Menutup kembali pintu dengan perlahan karena tak ingin membangunkan mbok Asih yang ia kira pasti sudah tidur sejak tadi. Lunglai ia berjalan dan membuka pintu kulkas, menenggak air dingin langsung dari botolnya.

Setelah itu ia kembali ke depan, dan membaringkan dirinya di sofa panjang ruang tamu, masih dengan mengenakan sepatunya. Ia mencoba berpikir tentang Raine, saat ia masih tersenyum padanya. Lalu kejadian beberapa jam yang lalu kembali membersit di ingatannya. Kata-kata Raine.

“Aku ingin mencintai. Aku tak ingin belajar mencintai.”
“Aku tak pernah punya niat untuk menjadi dewi penyelamat bagi kehidupanmu yang so common.”
“Bangun dari semua mimpimu. Hiduplah! Dan berhenti menjadi seseorang yang sangat biasa!”

Belum pernah ada orang yang berkata seperti itu padanya. Dan saat memang ada orang yang berkata seperti itu ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia memikirkan kembali, dan ada rasa dimana sepertinya semua yang dikatakan Raine itu benar.

Hidupku terlalu biasa, keluh Max. Kuliah, kerja, menikah, kerapihan, kebersihan, keteraturan. Aku tidak punya dunia yang menarik untuk kutawarkan pada Raine. Wajar bila ia melihatku seperti itu. Ia seorang bidadari. Tapi Raine, aku tidak tahu caranya untuk tidak menjadi biasa.

Perlahan badannya gemetar. Lalu, di tengah deras guncangan emosi yang ia rasakan, tangisnya pun berderai tanpa mampu ditahan-tahan lagi. Tak mampu ia membendung senyuman dan cacian Raine yang terus berkelebat silih berganti di benaknya. Ini adalah pria yang merasa telah membangun sebuah menara yang begitu megah dan indah, dan kata tidak dari seorang gadis, membuat menara yang ia bangun hanyalah menjadi onggokan besi tanpa arti. Dan ia terus menangis hingga akhirnya ia jatuh terlelap.

–//–

Di Bandung, Max tengah bergelut dengan perasaannya hingga ia jatuh tertidur. Di Jakarta, dua sahabat, Raine dan Fiona duduk di balkon apartemen, memandang gemerlap cahaya lalu lintas kota yang menciptakan keindahan tersendiri. Angin malam menghembus dengan perlahan, sesekali kencang namun lalu pelan kembali. Raine menyibukkan dirinya dengan Nintendo DS, dan malas-malasan meladeni obrolan Fiona. Fiona sendiri, setelah beberapa kaleng Heineken, mulai terlihat menyipit pandangannya, tetapi ia masih bisa mengendalikan diri sepenuhnya.

“So, what now?” tanya Fiona pada Raine.

‘Apanya yang what now?’ Raine masih acuh dan sibuk dengan permainannya, GTA Chinatown Wars.

‘Iya, aku mau ngucapin selamat, anda baru saja dengan sukses memusnahkan satu lagi peluang pria yang mendekati anda.’

‘Oh? Max? Ya, itu sih sudah game over ya,’ tanpa ekspresi.

Fiona bangun dari duduknya, mendekat ke pinggiran balkon, dan menenggak habis isi kaleng bir ke empatnya, lalu menyalakan sebatang rokok. Upayanya beberapa kali gagal, karena api zipponya tertiup angin.

Melihat itu, Raine bangkit, dan masuk ke dalam ruangan apartemen mereka.
‘Masuk, ayo kita bicara, disini terlalu berangin.’

Raine meletakkan DSnya diatas meja makan, mengambil sepotong sayap ayam dari chicken bucket yang ada di meja. Tak butuh waktu lama, ia melemparkan kembali serpihan tulang-tulang yang sudah bersih. Dan lalu menghapus minyak-minyak di bibirnya dengan tisu, melegakan tenggorokannya dengan segelas air mineral dingin.

Lalu ia berbalik, dan menatap pada Fiona yang ternyata sudah mematikan rokoknya, dan sekarang tertidur dengan posisi tertelungkup di kasur yang digelar di depan televisi.

‘Aku tahu pasti ada sesuatu yang ga beres dengan kamu, Fio. Iya kan? Aku yang lagi ribet sama cowok, kenapa malah jadi kamu yang mellow?’

‘Iya, aku yang mellow, untuk sekarang aku akui itu benar. Aku begini, karena aku ga tau lagi harus gimana untuk melihat persahabatan kita.’

‘Maksud lo?

‘Ya.. aku ga tau lah. Pikir aja sendiri.’

‘Saat ini, gw lagi ga butuh cowok, Fio. Max, hmm.. jangan – jangan lo naksir sama Max ya?’

Fiona tak menjawab tapi ia bangkit dari tidurnya dan berdiri dan menggulung rambutnya ke atas sehingga lehernya terbuka.

What if I love you, Raine? What will you do?’

Dan suasana diantara mereka pun menjadi hening. Yang ditanya tak menjawab, malah ke kamar dan mengambil sebuah guling besar dari kamar. Ia tersenyum.

‘Ada sesuatu yang salah dengan perkataanku? Apa kau menganggapnya lucu?’ Fiona bingung.

Raine masih tak menjawab. Perlahan ia letakkan guling yang ia pegang tersebut ke sofa. Lalu berjalan mendekati Fiona. Sekarang ia berdiri persis di hadapan sahabatnya itu. Dengan tenang, kedua tangannya menggenggam kedua tangan sahabatnya. Lalu ia mulai mendekatkan bibirnya, sehingga keduanya bertemu dan memberikan sensasi yang menggetarkan. Fiona merinding. Ia sama sekali tak menduga Raine akan merespon dengan seperti ini. Dan keduanya terus terbuai untuk beberapa detik lamanya. Saling memagut, saling mencari, seolah ada sesuatu dahaga yang hendak dituntaskan.

Lalu setelah beberapa saat Fiona melepaskannya. Kedua tangan mereka masih saling berpaut.

You’re really a great kisser, Raine.’

‘Thanks.’

So?’ Fiona menanti penuh harap.

What?’ Raine bingung.

‘Kau masih belum menjawab pertanyaanku,’ ujar Fiona.

‘Kau tanya apa yang akan kulakukan? If you love me, I will kiss you. Dan aku sudah melakukannya. Apa lagi?’

Can we be … a couple?’ Fio masih terus mengejar.

What for? We are already a couple. We are friends, aren’t we?

You don’t love me?

‘Ah, Fio, semua yang kita lakukan selama ini, bukankah itu lebih dari sekedar cinta? Our friendship is beautiful. Don’t you think?

You don’t love me.’ Sekarang itu adalah sebuah statement. Bukan lagi sebuah pertanyaan. Dan ia mulai membuang wajahnya yang kusut.

Come on! Kok malah pasang tampang bete gitu sih? Aku suka pria, Fio. Dan aku yakin kamu juga sama.’

‘Tidak. Kamu tidak suka pria. Tindakanmu malam ini memperlihatkan bahwa kamu tak terlalu suka dengan pria. Apa yang kurang dari Max coba?’

‘Jangan sebut nama pria malang itu. Ia bahkan tak tahu apa yang ia mau. Kalo kamu suka aku, silakan aku tak akan melarang. You can admire me as much as you want. Aku masih menunggu ‘dia’. Dan kau tahu persis, siapa ‘dia’ yang kumaksud.’

‘It’s not fair. Kamu beri dia seluruh hidup kamu. Kamu tunggu dia dengan seluruh hidup kamu. Tetapi untukku, kau bahkan tak memberiku kesempatan.’

Raine menangkap sedikit nada bersalah diantara rangkaian kata yang ia tangkap sebagai suatu kecemburuan. Pikirannya kembali bergerak, dan ia menyadari sesuatu. Raine pun langsung bergerak ke arah Fio, dan memegang bahu Fio dengan kedua tangannya.

‘Berhenti bermain-main denganku Fio, kau pasti tahu sesuatu kan? Kau melihat ‘dia’? Kau tahu dimana ‘dia’? Beri tahu aku sekarang juga.’ Wajah Raine mendadak berubah serius.

‘Aku melihatnya sekali. Di parkiran kantorku, tapi aku tak yakin itu ‘dia’ atau bukan.’

‘Jangan beri aku harapan Fio, itu ‘dia’ atau bukan?’

‘Ya. Sangat mungkin pria yang kulihat waktu itu adalah Sierra-mu.’

‘Dia seharusnya menjadi milikku’ ucap Raine menerawang.

’12 tahun sudah berlalu dan kau masih terobsesi dengan Sierra? Kau ini benar-benar gila! Kau bahkan tak ingat wajahnya seperti apa?’

‘Aku akan ingat bila aku melihatnya. Seperti kau ingat saat kau melihatnya.’

‘Ya, dia memang benar-benar tampan. What if I like him, Raine?’ tanya Fiona

‘Ah sudah, sudah.. cukup dengan semua if if untuk hari ini, you make us kiss again. Dasar genit.’

No. Maybe I really like you,’ keluh Fiona.

Yeah, whatever, yang seperti tadi itu cukup setahun sekali saja. Bisa-bisa kita jadi gila kalau nurutin mabukmu. Ayo tidur besok temani aku mencari ‘dia.’

Raine mematikan lampu meninggalkan Fiona tanpa pilihan selain ikut tidur di sampingnya.


‘‘Lo biarin dia tidur sendirian?’’ ucap Lowry gemas pada Sierra, yang baru saja keluar dari kamarnya.

Sierra menatap Lowry dengan tatapan jengkel.

‘’Oh, yeah right. Lo perlakuin dia seolah dia cowok,’’ ucap Lowry sinis.

‘’Apa sih, bawel banget lo ini.’’

Lowry mematikan televisi dengan remotenya. Menatap tajam pada Sierra yang duduk di sebelahnya.
‘‘Save the best for the last, jadi itu motto nya seorang Sierra?’’

‘‘Kenapa tivinya dimatiin sih? Gue mau nonton ah, males ngobrol sama nenek-nenek gendut.’’

Lowry, sudah terbiasa dengan gaya bahasa Sierra, tetap lanjut dengan komentar-komentarnya.
‘’Udah berapa tahun? 2 tahun lebih kan ya sama si Kikan?’’

‘’Dua bulan lagi dua tahun.’’

‘’Sedaaap,’’ sambil cengengesan Lowry menuang coca colanya dan meminum satu gelas besar, dalam sekali tenggak saja.

‘‘Lo serius kan sama dia?’’ tanya Lowry lagi.

‘‘Keliatannya?’’ Sierra balik bertanya.

‘’Menurut lo gue kenal lo engga? Kita udah sama-sama berapa tahun?’’ Lowry kejar lagi dengan dua pertanyaan.

‘’Cupu lah .. apa hubungannya ama kita udah kenal berapa tahun?’’

‘‘Ya pokonya udah dari jaman Jepang lah ya anggap aja. Kalo menurut gue nih Sierra ya, loe kayak orang bingung. Apa sih yang sebenarnya lo bingungin?’’

‘’Udah ah .. berisik lo … gitaran aja yuk di ruang kedap, lo ngedrum, entar gue jawab pertanyaan lo’’

Sierra pun mengambil gitar bolong dan melangkah ke belakang. Di seberang kolam renang di bagian belakang rumah Lowry, ada studio musik mini. Sierra menyebutnya ruang kedap, karena memang apapun yang mereka lakukan di ruangan itu tidak akan terdengar karena kedap suara. Sierra duduk dengan santai di kursi kafe – kursi yang bisa diatur ketinggiannya berbentuk lingkaran tanpa penghalang punggung. Lowry lebih memilih duduk di bangku drummer yang sudah dipindahkannya tadi.

‘’Maen lagu apa nih?’’

‘‘Ini jawaban gw atas pertanyaan lo tadi, NADA SURF – Inside of Love, lo tau kok lagunya, sering gue puter di mobil, ntar ikutin aja ya.’’

Dan Sierra pun mulai memainkan intro dari lagu tersebut, dan bernyanyi dengan penuh penghayatan.

Setelah usai memainkan satu lagu tersebut, Lowry bertanya, memastikan apa yang ia tangkap dari makna lagu tersebut.

‘Maksud lo, lo ga yakin sama hubungan kalian?’

‘Yup. That’s what I meant‘, ucap Sierra pelan.

‘Memangnya si Kikan kurang apa? Dia cantik, baik, bodi oke, terus orang tuanya oke aja dia sama lo. Mungkin lo kali yang kurang, kurang waras.’ Lowry geram.

‘Gw ga tau  entah kenapa belakangan ini gw sering ngerasa sedih,’ Sierra menggumam.

‘Sedih gimana?’

‘Kaya yang lo bilang, dia ga ada kekurangan. Kikan tuh ga ada kekurangan. Itu benar. Cuma gw ke dia tuh sama sekali ga ada rasa Low, gw tuh fake sama dia.’

‘Hah? Fake? Maksud lo apaan? Lo bukan gay kan?’ Tampang Lowry mendadak kecut.

‘Bukan .. gw bukan gay, lo jangan khawatir gitu gendut,’ Sierra tersenyum tipis.

‘Lo fake? Lo bisa FAKE sama Kikan? Ga punya otak kali lo ya? Lo fake dua tahun?’

‘Sumpah. Gua ga ada rasa.’

Mendengar itu Lowry langsung melemparkan stik drum yang dipegangnya. Benda itu melayang dengan secepat kilat nyaris mengenai kepala Sierra yang dengan cepat menunduk menghindar.

‘Dua tahun lebih lo maenin dia, lo tipu semua orang, lo tipu diri lo sendiri, bahkan gue karib lo, lo tipu juga. Baru sekarang lo bilang. Mau lo apa? Lo mau bilang juga ke dia? Hei bung, dulu gw juga naksir Kikan, dan lo tau itu, tapi gw tau dia lebih suka ama lo, dan waktu itu juga lo respon? Inget nggak?’

‘Gw juga nggak maksud gitu, gendut. Kan dia yang nembak duluan.’

‘Iya, yang udah lewat engga usah dibahas lah. Apa karena yang nembak lo cewek cantik, seksi, lantas lo mikir ah udah terima aja dulu, jalanin aja dulu, entar kalo putus dari gw juga dia gampang dapet yang laen. Apa karna itu, makanya lo ga pernah sentuh dia? Pantes!’

‘Eh hati-hati kalo ngomong, Low. Lo maki-maki gw itu ga mecahin masalah gw.’

‘Masalah lo? Lo pikir ini masalah lo dan bukan masalahnya Kikan gitu? Lo pikir hanya dengan lo nemu cara break up yang ga terlalu kejam, maka dia akan dengan mudah ngelupain lo? Salah. Pikiran lo tu salah. Cewek itu halus Sierra, ga boleh dilukain. Jangan sekali-kali lo ngelukain perasaan cewek. Bahkan untuk mikir ngelukain perasaan cewek pun jangan. Kualat lo ntar!’’

‘Yang dimarahi meringis, Gw tau lo bakalan bereaksi kaya gini, makanya gw seret ke ruang kedap. Lo emang suka overacting.’

‘Sierra, sekarang lo ga ada rasa sama Kikan. Meskipun gw sulit terima omongan lo itu, tapi gini aja deh solusi dari gw, lo dengerin baek-baek omongan gw ini. Lo tetep jalan sama dia, usahain tumbuhin rasa yang lo cari.’

Sierra memotong ucapan Lowry, ‘Sampe kapan? Gw udah usahain dua tahun. Cuma sayang doang, cintanya mah ga ada.’

‘Cinta itu overrated. Sayang juga cukup. Pokoknya apapun yang terjadi, jangan sampe lo putusin dia. Jangan sampe lo buat dia luka. Sampe lo bikin dia nangis, urusan lo sama gw.’’ Lowry berkata dengan tegas.

‘Terus gw gimana?’ Sierra bingung.

Lowry bangkit dan keluar dari ruang kedap meninggalkan Lowry yang masih duduk di tempatnya semula. Sebelum keluar ia berkata, ‘’Kita ini cowok. Jangan selfish lah. Di depan cewek, kita ini ga ada apa-apanya. Kita ini ga penting.’

Dan Sierra pun tinggal seorang diri di ruangan itu, Memikirkan ucapan-ucapan Lowry.

–//–

Malam kian larut, menjelang pagi. Ketiga orang lainnya di rumah itu masih pulas terlelap.Sierra bangkit dari tidurnya di sofa ruang tamu, alarm jam tangannya berbunyi. Ia pun bangkit sejenak menunaikan sholat tahajud di depan tivi. Kembali berdoa, memohonkan yang terbaik terjadi dalam hidupnya, memohon agar gelisah di hatinya dihilangkan. Sudah cukup lama, Sierra menjalin hubungan dengan Kikan, tapi belakangan ini hasrat untuk mengusaikan cerita itu kian kuat, dan Sierra kian merasa tanpa daya. Usai shalat, lelap kembali menjemputnya. Terkulai di sajadah, kedua lutut didekapkannya ke dada menahan dingin malam.

–//–

Detik-detik yang persis sama dengan saat Sierra menunaikan ibadah malamnya, kita lihat sejenak suatu tempat yang terpisah jauh. Raine terjaga, ia tak bisa tidur. Fiona terlelap. Raine pun mengambil iPodnya dari atas meja, mencari sebuah lagu, dan memutarnya. Lagu khusus yang menggambarkan perasaannya terhadap Sierra. Lagu yang selalu ia dengarkan setiap kali rasa itu tak mampu ia tahankan.

Raine pindah dari kasur dan naik ke sofa, lalu meringkuk dengan kedua lutut didekapkan ke dada. Angannya jauh melayang, mengingat saat-saat itu, saat dua belas tahun yang lalu . Akankah terulang? Akankah aku bisa bertemu kembali dengannya? Fiona benar, aku bahkan tak ingat wajahnya.


Kikan tak pernah terlelap malam itu. Dia terjaga. Tak terbayangkan rasa kecewa di hatinya karena Sierra tak menemaninya tidur malam itu. Ia merasa rendah. Seorang wanita yang tidur di rumah pria, tak mungkin mengharapkannya untuk terlelap begitu saja. Ada perasaan mendebarkan yang Kikan rasakan malam itu. Ia mendengar semua percakapan Sierra dan Lowry dengan jelas dari dalam kamar.

Lalu, ketika mereka beralih ke Studio mini, Kikan keluar dari kamarnya. Dan, entah beruntung atau tidak, tak seorang pun antara Lowry dan Sierra yang menyadari bahwa mereka tidak menutup rapat pintu ruang kedap tersebut. Dan, mereka juga tidak melihat Kikan yang menguping pembicaraan mereka di luar.

Saat Lowry akan keluar dari ruangan kedap tersebut, Kikan bersembunyi di antara kursi-kursi teras belakang. Lowry pun tak pernah menoleh ke belakang dan langsung masuk kamar. Adapun Sierra, ia masih tetap diam di ruangan itu beberapa saat lamanya, dan saat inilah Kikan masuk kembali ke kamarnya.

Dengan pemahaman akan perasaan Sierra padanya. Ia duduk tanpa di temani cahaya di kasur di kamar Sierra. Dengan selimut ia tutupkan ke tubuhnya, karena ruangan itu cukup sejuk karena AC telah menyala cukup lama, perlahan air matanya berderai. Semua yang baru saja didengarnya membuatnya yakin apa yang telah ia rasakan janggal selama ini. Sierra terlalu baik untuknya. Kehadiran Sierra dalam hidupnya, yang sangat ia banggakan, sejak orang tuanya memutuskan untuk pergi ke luar negeri, meninggalkan Kikan seorang diri di Jakarta, di kompleks perumahan tersebut.

Tak sulit bagi Kikan untuk terus mengingat perjumpaan pertamanya dengan duo Sierra dan Lowry. Dan malam itu, di sela derai air matanya, ia kembali mengingat hari itu. Hari dimana, Sierra dan Lowry membagikan penganan kecil pertanda baru pindah rumah. Sesuatu hal yang sudah banyak dilupakan orang saat ini. Ya, Sierra dan Lowry saat itu baru menempati rumah mereka di kompleks tersebut. Dan mereka pun membagi-bagikan kue kue kering kepada beberapa orang tetangga, sebagai basa-basi penanda sopan santun bertetangga. Dan ketika Kikan membuka pintu, ia tak pernah lupa betapa kikuknya Lowry hari itu, sedangkan Sierra dengan gaya coolnya bahkan tak berkata sepatah kata pun.

“Anu … maaf, ini .. ehmm .. kami mengganggu. Saya .. Saya Lowry dan ini sahabat saya Sierra ..” seraya memberikan sebuah plastik berisikan dua toples kue kering. “Kami baru pindah ke blok E nomer 9.”

“Oh yang di belakang ya..” ujar Kikan ramah.

“Iya .. di Cendrawasih, di belakang, boleh main kapan-kapan, ehm mbak namanya siapa, kalo boleh tau?”

“Aku Kikan, makasih yaa kuenya, nanti aku main-main deh kapan-kapan.”

Lowry tersenyum dengan senang dan memohon diri. Tapi yang Kikan perhatikan justru pria pendiam yang hanya berdiri membelakangi mereka. Sierra sama sekali berbeda dengan Lowry. Itu kesan pertama yang Kikan rasakan. Sierra terkesan misterius, cooldan sulit untuk ditebak.

Kikan sekarang merasa dirinya di tengah dilema. Ia tahu apa yang semestinya ia tidak tahu. Sungguh tak mudah menanggung beban itu. Dan ia tak punya tempat berbagi beban itu. Selama ini Sierra lah tempatnya berbagi suka dan duka, tapi sekarang ia tak mungkin menceritakan semua ini kepada orang yang memiliki rahasia tersebut.

Sierra tak pernah mencintainya. Sierra cuma sayang padanya. Bila aku tak mendengarnya mungkin aku takkan terluka, pikir Kikan setengah menyesali perbuatannya sendiri, mencuri dengar percakapan orang.

Sumpah. Gua ga ada rasa. Lagi, kalimat yang Sierra ucapkan itu mengiang kembali dan menusuk hati Kikan.

Sumpah. Gua ga ada rasa. Kikan pun menjambak rambutnya sendiri, dengan susah payah menahan agar suara isak tangisnya tidak sampai terdengar keluar. Menggigit bibirnya sekuat tenaga. Tangannya mengepal memukul-mukul bantal tebal, karena geram, kecewa, dan sedih yang berkecamuk di hatinya.

Ia menangis hingga akhirnya jatuh tertidur.


Satu persatu mereka yang terlelap bangun saat itu. Mang Udan sudah terlebih dahulu pulang subuh hari. Sierra dan Lowry seperti biasa, tak banyak bicara dalam pagi mereka. Namun pagi ini tak seperti pagi biasanya. Setelah percakapan mereka malam tadi, ada hening yang memberat di antara kedua pemuda tersebut. Seakan memberikan tanda bahwa pikiran mereka sedang henyak oleh masalah yang tidak begitu jelas. Lowry membolak-balik sosis untuk roti sandwichnya di atas wajan dengan gelisah. Sierra hanya memilih diam berteman surat kabar dan sebuah mug putih berisikan teh panas.

Dan Kikan pun muncul juga akhirnya di ruangan tersebut, masih dengan menggunakan crutches-nya, matanya sembab, dan rambutnya awut-awutan. Sierra dan Lowry berpandangan, menyadari ada sesuatu yang tak beres. Lowry pun mengambil inisiatif.

“Loe kenapa? Kayak habis nangis?”

Kikan meletakkan crutches-nya di atas kursi yang tidak dipakai, sedang ia menarik satu kursi untuk ia duduki perlahan. Kedua tangannya memegang kepala, dengan telapak yang nyaris menutup kedua telinganya, kepalanya tertunduk ke meja dan matanya menatap dengan liar. Tetapi sekejap kemudian, ia agak terlihat bagai menjambak rambutnya dan menghirup nafas dalam-dalam.

“Don’t worry about me. I’m just fine”, ucapnya.

“Obviously, it doesn’t seem so”, kata Sierra pelan.

Ditanggapi seperti itu, pandang Kikan menyorot tajam ke arah Sierra. Tidak ada secercah senyuman yang biasa tersulam di bibirnya. Hanya mata yang tak mampu menutupi hati.

Lowry pun cepat menyambar, “Kamu bisa cerita koq kalo ada yang bikin kamu kesal atau sedih.”

“Ntar kali ya, sekarang Kikan lapar nih, itu kayanya enak tuh. Can I have some of that?

Sure, sure..”Lowry pun dengan cepat menawarkan satu porsi roti sosis yang sudah lebih dulu siap saji.

Dan Kikan pun menyantapnya dengan lahap.

Sierra nampak tak peduli dan kembali berkonsentrasi dengan surat kabarnya. Lowry menyelesaikan pekerjaannya dengan kompor dan wajan, dan mulai menikmati porsi dari sarapannya tersebut. Tak lama, Kikan mulai angkat bicara lagi.

“Kikan punya sebuah pertanyaan yang sudah cukup lama Kikan pendam, tapi Kikan nggak juga bisa dapat jawaban yang memuaskan. Mungkin diantara Kak Sierra dan Lowry, ada yang bisa membantu menjelaskan, itu akan sangat baik.”

Sierra dan Lowry kembali berpandangan. Lalu mereka berdua mengangguk kecil, tanda mereka siap dengan pertanyaan dari gadis belia tersebut.

“Apa yang harus kita lakukan saat kita berada di persimpangan jalan? Arah yang mana yang harus kita ambil? Apakah arah yang sudah kita ambil itu merupakan suatu ketentuan yang sudah tetap bahkan sebelum kita mencapai persimpangan tersebut? Ataukah memang kita benar membuat suatu keputusan baru tatkala kita berada di persimpangan tersebut? Apakah kita memang benar mengubah takdir kita?”

Lowry hanya melongo dan satu kata saja yang terucap dari lisannya. “Fuck.”

Sierra menggulung korannya menjadi sebuah pentungan kertas dan memukulkannya ke kepala Lowry dengan pelan. “That’s your answer?”

Yang dikeplak, si tubuh gempal, hanya mengangkat bahu. “I don’t know what to say.”

“Kalo kak Sierra, gimana? Do you have an answer for that question?”

Yang ditanya bukan anak kemarin sore. Sierra tahu benar, ada sesuatu dari pertanyaan ini, dan ia harus menjawabnya dengan hati-hati. Harus, karena pandang Kikan berubah bagai harimau yang paling liar yang siap memangsa dirinya.


Sierra menghela napas dalam-dalam sebelum mulai menjawab pertanyaan Kikan.

“Ada tiga hal yang berbeda dalam setiap keputusan yang diambil, dan ada dua tipe kepribadian orang yang memberi makna bagi tiap keputusan. Keputusan yang diambil dengan mementingkan diri sendiri. Keputusan yang diambil dengan mementingkan orang lain. Keputusan yang diambil dengan memikirkan kepentingan diri sendiri dan orang lain. Dua tipe kepribadian adalah, orang yang percaya akan adanya kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Dan, orang yang percaya bahwa tidak ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri.”

Lowry hanya termangu dengar semua penjelasan falsafah dari Sierra itu. Kikan di lain pihak, sedang berupaya keras agar tidak terpesona dengan kedewasaan Sierra, yang tak bisa ia pungkiri, itulah yang membuat ia sulit untuk menjauh dari Sierra.

“So?” kata Kikan.

“Persimpangan”, kata Sierra melanjutkan, ““adalah istilah yang orang pakai manakala ada keputusan yang penting yang harus diambil. Tentu, setiap keputusan adalah penting dengan sendirinya, tetapi ada keputusan-keputusan yang hanya dibuat sekali dalam hidup, dan ini lebih penting’ dibandingkan dengan keputusan yang harus diambil setiap hari dalam hidup.”

Sierra berhenti sejenak meneguk tehnya.

“Adapun hidup, hidup adalah suatu perjalanan kolektif dari jutaan keputusan yang bergulir setiap detiknya. Maka, secara skala, keputusan yang diambil tiap orang hanyalah keputusan kecil, tetapi, secara hakikat, setiap keputusan adalah keputusan besar. Dengan cara inilah, semua kita manusia, dan seluruh mahluk hidup, terikat oleh takdir yang tak lain dan tak bukan adalah perwujudan nyata benturan antara keputusan kita dan jutaan keputusan lainnya. Kita menentukan arah hidup kita, hingga sejauh itu saja. Itulah yang dinamakan kenyataan, ada orang yang menerimanya, dan ada pula yang tidak.”

Suasana di ruangan itu menjadi hening untuk beberapa saat. Masing-masing sibuk dengan jalan pikirannya sendiri. Mencoba mencerna arus liar ombak pemikiran yang dihantamkan dari papar Sierra.

“Jadi, apa yang sedang hendak kau putuskan?” ucap Sierra pelan.

Saat itu, samar-samar di benak Kikan, terlintas semua saat-saat indah yang telah dilaluinya dengan Sierra dan Lowry. Kenangan-kenangan yang sukar untuk ia benamkan begitu saja menyeruak kembali dengan cepat silih berganti satu persatu, dan arus pikiran inilah, yang kebermaknaannya diterakan oleh Coldplay dalam syair “A Rush of Blood to The Head”, yang menimbulkan seulas senyum di wajah Kikan. Senyum yang seketika disusul dengan menetesnya air mata di pipinya. Kikan yang belia, tak lagi mampu melepas pandang ke arah kedua wajah ‘kakak-kakaknya’ itu. Ia hanya merunduk menatapi permukaan meja makan, dengan kedua tangannya saling memainkan jari-jemari karena gugup.

“Kita.”

Pelan suara Kikan, nyaris tak terdengar. Namun, itu sudah cukup untuk membuat Lowry hendak beranjak dari tempat duduknya, dengan kegelisahan yang memuncak.

“Tetap di tempatmu,” sergah Sierra kepada Lowry tanpa menatapnya. “Kau pun bagian dari ini.” Lowry dengan wajah kesal, akhirnya duduk kembali.

“Kita. Aku dan ketergantunganku padamu. Kadang Kikan pikir, sejak adanya kak Sierra dan kak Lowry dalam hidup Kikan, Kikan tak lagi memikirkan tentang diri Kikan sendiri. Aku ga lagi merasa perlu menjalani hidup dengan sungguh-sungguh, karena bersama kamu aku bahagia, bersama Lowry aku terlindungi. Aku tak lagi mencari arti, karena hidup jauh lebih mudah bersama kamu, dan kukira itu akan selamanya.”

Gadis itu diam sejenak, dan lalu ia melanjutkan.

“Tapi, sekarang Kikan takut, Kikan gemetar, Kikan enggan, harus kembali mengarungi dunia mencari bahagia yang Kikan engga tau apa Kikan bakal dapat atau nggak. Aku takut, rasa itu ga akan sama. Bagi aku yang sekarang, bagi Kikan yang sekarang, hidup itu kamu.”

“Sayang sekali, bagi kamu aku cuma plastik. Bye Kak Sierra, bye, kak Lowry,” ucapnya seraya menatap Sierra sayu. “l love you no more.”

Dan, Kikan pun beranjak dengan tergopoh-gopoh, menggunakan crutches-nya, meninggalkan ruangan tersebut. Lowry dan Sierra hanya diam di tempatnya masing-masing. Wajah mereka nampak masygul. Pandangan kosong terlempar ke hampa ruang. Perlahan terdengar bunyi pintu depan dibuka dan ditutup kembali.

Hari itu, tiga anak manusia saling berpisah jalan. Satu keputusan telah diambil, dan hidup terus berputar dengan misteri dan harapannya sendiri.


Sierra diam menutup diri di kamarnya. Bingung. Intinya merasa bersalah dan tak tahu harus berbuat apa. Ada rasa lega dalam hati. Setidaknya sekarang ia sudah terbebas dari belenggu yang lumayan. 22 bulan yang membingungkan berakhir sudah hari ini.

Tapi ia tak ingin caranya seperti ini. Ia sama sekali tak menduga bahwa ada hari dimana ia akan kembali ‘sendiri’. Saat pertama kali Kikan bilang sayang padanya, itu ia sama sekali tak menyangka. Kikan waktu itu baru berusia 15 tahun, dan dia 24 tahun. Dengan beda usia delapan tahun lebih di antara mereka, tentu ia yang lebih banyak mengarahkan Kikan pada hal-hal positif. Ia tak terlalu menganggap lebih pada hubungan itu, tak ubahnya kakak yang punya adik yang sangat disayangi. Tapi mungkin Kikan beranggapan lain.

Bunyi ketukan di pintu.

“Ya, Low?” ucapnya.

Pintu terbuka setengah, Lowry berdiri tangan kanannya masih di gagang pintu.

“Lo baek aja kan?” Lowry bilang.

“Yaelah .. pake nanya lagi .. lo mau gw bilang apa?” Sierra malas meladeninya.

“Ya, lo juga sih, kan gw udah bilang, lo bikin dia nangis, lo urusan sama gw.” Lowry terus mencecar.

“Emang gw ngapain Low? Gw belum ambil keputusan apa-apa. Dia nguping, shit happens.” Sierra coba bela diri.

“Tapi lo seneng kan bisa akhirnya lepas dari dia?” Entah apa yang ingin dicapai Lowry dengan semua ini.

“Woy Low, lo ama gw sekarang kita ini dua enam tahun – Ada angka dua di depan, ada angka enam di belakang .. Dia sekarang tujuh belas tahun – ada angka satu di depan, ada angka tujuh di belakang.”

“Trus?” Lowry menunggu lanjutannya.

“Dia itu masih kelas 3 SMA, lo sama gw udah kelar S2. Singkat kata kita ini umur. Dia itu baru mau gede. Gw sayang sama dia Low, sayang banget malah. Tapi sayangnya kakak lah ga bisa jadi sayangnya pacar..”

Lowry diam saja.

Sierra pun melanjutkan, “Ya gw pun ngertilah dia cantik, pinter, pendidikannya bagus, anak orang kaya, anaknya baek. Mungkin lo juga naksir sama dia, suka sama dia. Ya itu wajar. Masalah dia nembak gw, dan bukan nembak lo, itu juga wajar.” Sierra mulai senyum.

“Ah kampret lah lo .. Dasar anak gym .. belagu mampus ..” Lowry ngeloyor menyambangi pintu kulkas, membuka freezer. Cari-cari sisa es krim disana. Trus balik lagi ke depan pintu kamar Sierra.

“Ya terus itu anak mau diapain? Kakinya lagi sakit. Dia udah putus ama lo. Inget ya. Putus sama lo, bukan sama gw. Nah, enggak mungkin dong lo yang kesana kan? Pasti awkward banget kan. Nah, secara cuma gw nih yang bisa diandalkan, berarti boleh dong sekarang gw kesana sendirian, nemenin dia?” Lowry minta izin ke sang mantan sambil cengar-cengir engga jelas.

“Wah, parah lo Low. Lo mau cari cari kesempatan kalo kata gw mending jangan. Kecuali kalo lo mau kesana cuma jadi tempat nangisnya dia ya silakan aja. Siapin tapi psikologis lo. Ntar dicuekin jangan ngambek,” ledek Sierra pada karibnya itu.

Lowry menutup pintu kamar Sierra. “Ok intinya boleh ya. Nyesel lo. Udahan maen kakak-kakakannya. Kakak palsu lo. Makan tuh bola basket,” omelan Lowry perlahan makin mengecil karena yang punya suara sudah masuk ke kamarnya sendiri.

Tinggal Sierra termenung.

“Aku belum pernah punya pacar. Aku pernah punya ‘adik’,” ucapnya lirih sambil memejamkan mata.


“Ting tong! Ting tong!”

Pukul tujuh malam. Bel di rumah Kikan berbunyi dua kali. Dengan malasnya gadis itu beranjak dari depan televisi, menyanggahkan berat badannya pada crutches dan menuju pintu, menyibakkan tirai jendela untuk melihat siapa yang datang. Lalu membuka pintu.

“Masuk kak Low,” ucapnya pelan.

“Lagi ngapain Kan?”

“Nonton tv aja.”

“Udah makan belum?”

“Udah tu, Pop Mie.”

“Yaaaa Kikan? Koq makannya Pop Mie sih? Gimana mau cepet sembuh? Pesen Pizza Hut ya?”

“Kak Low, ini jari cuma retak dikit, masa mau diobatin pake Pizza? Ya kalo cara Kak Low ngobatinnya gitu sih, ga heran kalo tambah bulet.” Kikan tersenyum simpul.

Yang diledek juga malah senyum. Lalu masuk dan duduk di sofa tamu, jauh dari Kikan yang duduk di sofa keluarga depan TV. Lowry mulai pilah pilih majalah lama yang ada di bawah meja tamu.

“Seriusan tuh mau baca disitu? Kan yang disitu itu mah semua udah dari kapan tau Kak Low?”

“Ya … ini mah acting aja. Maunya juga duduk di sebelah situ. Tapi kan belum disuruh .. ya nggak enak.” Lowry mesem-mesem.

“Ya ampun. Kaya sama siapa aja sih. Sini dong temenin Kikan nonton.”

Lowry pun beranjak bangkit menuju sofa dimana Kikan duduk sambil membawa majalah CHIP lama yang ada di meja tadi. Untuk kali pertama, dia dan Kikan bisa duduk sedekat itu, dengan status Kikan yang baru saja ‘single’ lagi. Tak urung, Lowry merasa agak berdebar juga. Berdebar karena memang Kikan cantik seperti biasanya. Dan lebih lagi karena ada sesuatu yang beda kali ini, dari sebelum-sebelumnya dimana ia hanya memainkan peranan pelengkap penderita.

“Film apaan, Kan?”

“Die Hard ini .. Udah berapa kali sih liatnya juga, tapi nggak bosen-bosen.”

“Oooo.”
Berhubung memang pada dasarnya Lowry tukang makan, dan sejak dari tadi sore dia belum makan karena deg-degan mau mengunjungi Kikan malam ini, lapar yang sangat pun rela ia tahankan. Demi.

Tapi tak butuh waktu lama, kesenyapan di antara mereka berdua yang hanya diselang percakapan di televisi, pecah oleh bunyi perut Lowry yang bersenandung kriuk-kriuk.

“Eh?” Lowry menahan malu sendiri karena perutnya mengeluarkan pekikan para cacing.

Kikan menatap tak percaya, lalu tertawa terkekeh geli sambil berupaya menutupi mulutnya.

“Tuh kak Low, sudah ada teriakan tanda minta diisi.”

“Haha .. iya .. ini lapar melulu. Ada bayinya kali ya?” Lowry coba mengelak.

“Tapi enggak ada apa-apa nih. Pop Mie masih ada sih satu lagi. Mau? Itu di plastik di atas meja makan.” Kikan menawarkan.

“Ah enggak deh, ntar aja Kan, tunggu bang Samsul lewat.” Lowry menyebut nama penjaja nasi goreng keliling di komplek itu.

“Eh, bang Samsul malem lo lewatnya.. Yakin sanggup nahan lapernya Kak Low? Ganjel aja dulu pake Pop Mie”

“Ganjel? Udah kaya pintu aja nih perut gw ya?”

Kikan tertawa-tawa lagi.

Lowry senang bukan main. Walaupun ia tahu, peluangnya tipis, tapi ia senang sekali bisa berada dengan Kikan sedekat ini. Masalahnya adalah, dan ia juga tahu ini adalah masalah. Lowry sadar betul. Semua orang selalu ingin lebih dari apa yang sudah dimilikinya saat ini. Lihatlah keadaan ini. Tak lebih jauh dari 3 meter dengan Kikan. Bicara menghabiskan waktu dengan akrab. Tawa dan senyum Kikan yang mengobati semua angan dan mimpinya selama ini begitu indah. Tapi manusia selalu ingin lebih. Ia pun menimbang resikonya. Kalau ia ditolak, maka tamatlah riwayatnya. Kesempatan yang sudah dimilikinya selama ini pun akan menghilang. Kalau ia diterima, sempurnalah bagian terpenting hidupnya, begitu pikirnya. Ia selama ini tidak pernah ditolak, hanya saja yaa .. tidak begitu dianggap. Karena dibandingkan Sierra yang menyerupai sosok hero, mungkin Batman, Lowry lebih menyerupai sidekick-nya Sierra, ia mainkan peran sebagai Robinnya Sierra. Tetapi apakah ketika Batman tiada, Gotham bisa bergantung pada Robin?

“Kak Low,” sapa Kikan pelan menyadarkan Lowry dari lamunannya.

“Eh? Iya?”

“Maaf ya tadi pagi.”

“Kenapa Kan?”

“Iya. Kak Sierra jahat ya.” Kikan bicara pelan sambil matanya nanar menatap televisi yang tak benar-benar ditontonnya.

“Oh.” Hanya itu yang keluar dari Lowry.

“Ya. Maksud Kikan sih dia baik sih, orangnya. Baik banget malah.”

Jleb. Jleb. Jleb. Lowry tewas. Again? Di posisi ini. Hmm.. Sudah familiar dengan ini. Sabar. Lowry berupaya menahan senyum meringisnya.

“Kak Low, makasih ya,” ucap Kikan lagi pelan.

“Kenapa Kan?”

“Kata-kata Kak Low semalem. Belain Kikan. Kikan denger semua. Kikan tau koq Kak Low sayang Kikan. Mungkin lebih malah daripada Kak Sierra sayang ke Kikan.”

Jleb. Jleb. Jleb. Lowry tewas. Lagi. Di posisi ini. Hmm.. Dia tak pernah merasakan sebahagia ini. Sabar. Kali ini Lowry setengah mati menahan jumawanya.

“Tapi ..” Kali ini pelan sekali suara Kikan.

Lowry pun menahan napas.

“Kikan mesti gimana ya Kak sekarang? Kikan bingung.”

Lowry sedikit lega. Tadinya ia khawatir yang keluar adalah, “Tapi .. Kikan gak bisa jadi pacar Kak Lowry. Kikan udah anggap Kak Lowry kakak Kikan yang paling baik.”

Untung bukan itu yang keluar, jadi Lowry agak lega. Tapi posisinya memang belum terlalu banyak berubah. Kini ia harus mengucapkan sesuatu yang benar. Bukan sesuatu yang ia inginkan.

Setelah berpikir sebentar, Lowry akhirnya memilih ..

“Ya enggak gimana-gimana. Kamu bawa enaknya aja. Sekolah kan sudah mau ujian. Nanti sudah itu liburan kan keluarga kamu pulang kesini. Dibawa bagusnya aja gimana.”

daripada alternatif sindiran halusnya yang sebenarnya juga masuk akal,

“Cinta emang kaya gitu. Suka nyakitin. Kalau perasaan kita ga sampe ke orang yang kita suka. Rasanya sakit banget.”

“Duh. Iya sih Kak. Tapi ini nih sekarang semua tuh nggak enak banget rasanya. Kayak pengen jerit. Pengen nangis kenceng-kenceng. Pengen potong rambut pendeeeekk banget. Pengen makan banyaaaak banget,” Kikan meneruskan galaunya.

Lowry tersenyum karena ia dapat kesempatan lagi. Kali ini ia memilih untuk ambil posisi serang.

“Ya. Alternatifnya kita timbang ya. Nggak enak banget rasanya? Pengen jerit? Boleh asal di tempat karaoke. Nanti kalo dirumah ntar tetangga telpon polisi disangka ada apa-apa. Pengen nangis kenceng-kenceng? Boleh aja .. asal ngga capek. Nangis tuh capek banget tau. Kak Lowry sering nangis juga. Capek banget. Potong pendek? Janganlah nanti kalau Demi Moore potong lagi, ngetren lagi, bolehlah. Kalau sekarang nanti dikira mau masuk Polwan lho. Nah dari semua pilihan, yang terakhir boleh banget tuh. Makan banyak banyak, apalagi kalo Kak Lowry diajak dan ditraktir.”

“Ih dia mah gitu .. orang serius juga,” Kikan cemberut.

“Ya gimana dong. Kan cuma pendapat? Bener semua kan?” Lowry membela diri.

“Kak Lowry sering nangis kenapa?” Kikan serius bertanya.

“Ya .. nangis .. kalo tiap liat jarum timbangan ..” Lowry menjawab polos.

Tak pelak tawa Kikan pun berderai lagi. Kali ini tak bisa ia kendalikan sampai batuk ia terpingkal-pingkal.

Yes! Gol lagi. Pikir Lowry dalam hati.

“Ih parah. Serius. Itu seneng banget kayanya ketawanya ya? Dasar anak kecil.” Lowry pura-pura pasang tampang bete.

“Ahah .. Ahaha ..Kak Lowry becanda melulu ih. Sebel.” Kikan kesulitan menahan tawanya.

“Yang bercanda siapa? Emang kenyataan begitu. Wew.”

“Kak Low, Kak Low, Kikan boleh nanya enggak?”

“Ya, silakan. Asal jangan soal atau pe-er sekolah aja ya.”

“Kak Low, koq ga pernah keliatan bawa pacar? Kak Low, punya seseorang yang Kak Low suka?” Kikan bertanya pelan, sambil menunduk, tapi ujung tatapannya mengarah ke Lowry.

Seperti rokade pada permainan catur, buah Raja terlindungi, dan buah Benteng balik mengancam posisi lawan. Lowry harus menebak dengan benar sekarang, apakah ini adalah pertanyaan, ataukah ini adalah sebuah perangkap. Kesempatankah? Kikan memang bukan gadis biasa. Dia punya personanya sendiri, dan nampaknya Lowry akan benar-benar terperangkap selamanya disini. Tapi ia kesini bukan untuk kalah begitu saja. Yang ditanya menatap yang bertanya dalam-dalam. Lalu ia tersenyum.


“Pacar? Kak Lowry kan sibuk kerja di kantor mama, manalah sempat cari pacar,” Lowry coba untuk tetap tenang.

“Kalo .. yang disuka?” Kikan terus mengejar, tapi juga berlagak cuek dengan tidak menatap langsung mata lawan bicaranya.

Lowry terdiam. Skak mat. Satu sisi ia tahu Kikan mendengar semua percakapannya dengan Sierra malam kemarin. Di sisi lain ia sama sekali tidak tahu mengapa Kikan justru menyudutkannya dengan pertanyaan ini. Saat akan datang kemari, Lowry mengira ia harus memainkan upaya terbaiknya untuk bisa memenangkan hati Kikan. Tapi sekarang, sang pemburu malah menjadi yang bergetar saat buruannya balik menyerang.

“Aku suka .. sama mantan pacar sobat karibku,” Lowry menyerah pada akhirnya.

Mendengar jawaban itu, Kikan diam. Perlahan kepalanya yang menunduk terangkat dan kini matanya memandang Lowry dalam-dalam.

“A… sama aku?” Kikan bertanya lagi.

Lowry tak menjawab sepatah kata pun. Hanya mengangguk pelan.

Kikan menghela napas, dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Tertunduk beberapa detik lamanya. Lalu dengan kedua tangan yang tertangkup ia menyeka butir air mata yang tak kuasa ia bendung. Pipinya yang putih kini bersemburat merah muda. Dan suaranya pun sedikit lebih serak.

“Masya Allah kak, dari kapan?”

Melihat reaksi Kikan yang seperti itu, tanpa sadar Lowry pun ikut menitikkan air mata.

“Dari pertama …”

Suasana di ruang keluarga yang hangat dan romantis itu tiba-tiba berubah menjadi haru. Kedua anak manusia tersebut tampak sulit untuk menahan emosi yang membuncah begitu tiba-tiba.

Hening beberapa saat di antara mereka.

“Maafin Kikan ya kak, Kikan jahat banget ya selama ini ga pernah bisa baca perasaan Kakak.”

Di tengah perbincangan serius nan haru tersebut tiba-tiba saja dari luar terdengar pekikan yang khas, “Na- Sik!” “Na-Sik!”

Mereka berdua pun saling pandang … dan tersenyum kembali …

“Gih sana, kan tadi kak Lowry udah setia nungguin bang Samsul,” ucap Kikan seraya bangkit dengan crutchnya. “Pake piring Kikan aja ya.”

“Tapi kita kan lagi ngobrol? Bang Samsul mah bisa nunggu entar kali Kan?” Lowry enggan kehilangan momen.

“Nanti kita ngobrol lagi, kalau Kak Low dah makan. Lagian, Kikan juga laper nih,” ucapnya seraya menyerahkan 2 buah piring pada Lowry.

“Bang Samsul! Nasik 2!” Pekik Lowry seraya menghambur ke teras depan. Semangatnya kembali utuh mendengar ucapan Kikan tadi.

“Kak Low! Punya Kikan jangan pedes yaa!”


Tak lebih dari 20 menit mereka pun akhirnya menuntaskan makan malam mereka, nasi goreng Bang Samsul yang terkenal enak sekomplek itu. Lowry kembali merapatkan pagar depan dan setelah memasukkan piring bekas makan mereka berdua ke tempat cucian piring di dalam rumah, ia pun kembali ke teras depan.

Di rumah sebelah tampaknya tetangga Kikan, Pak Heryanto yang sekaligus Ketua RT komplek itu, baru saja pulang bersama keluarganya dari suatu tempat. Istri si pak RT dan anak-anaknya turun dari mobil. Lalu membukakan pintu gerbang rumah mereka agar mobil bisa masuk. Tapi mobil ternyata tidak dimasukkan ke garasi melainkan hanya ditepikan saja di depan rumah, lalu Pak Heryanto turun dari mobil tersebut.

“Loh pak? Kenapa mobilnya ga dimasukin?” tanya ibu Heryanto.

“Ntar bu. Ini kesebelah bentar ada neng Kikan sama Lowry.”

“Malam pak,” ucap Lowry seraya bergegas hendak membukakan pintu pagar kecil.

“Ah nggak usah Low, gapapa, biar aja,” jawab pak RT.

“Malam pakde,” sapa Kikan.

“Malam juga Kikan,” ucap pak RT ramah. Lalu pandangannya tertuju pada crutch yang disandarkan di sebelah kiri kursi teras tempat Kikan duduk. Dan melihat ke kaki yang digips. “Lho, kamu kenapa? Abis kecelakaan? Dimana? Kapan?” tanya pak RT.

“Ah gapapa kok Pak. Ini kakinya diperban, jarinya retak dikit. Kikan jatuh waktu main sepeda.”

“Astaga. Kamu ngebut-ngebut sih main sepedanya. Pelan-pelan aja dong. Kan orangtua kamu lagi ga disini. Nanti kalau kamu kenapa-kenapa kan pakde yang dimarahin Papa kamu,” si Pak RT yang tidak tahu duduk perkaranya nampak sedikit cemas.

Lowry terlihat sebal melihat Kikan disalahkan seperti itu dan dengan cepat menyambar “Nggak Pak, Kikan ..” tapi belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya Kikan memotong.

“Kak Low!” ucap Kikan seraya menggelengkan kepalanya, pertanda ia tak ingin hal yang sebenarnya diceritakan.

“Ya Low?” kata Pak RT yang tak melihat gestur Kikan barusan. Perhatiannya tertuju pada Lowry.

“Nggak Pak, Kikan kata dokternya bakal cepat sembuh kok…” Lowry mengubah buntut kalimatnya dengan kaku seraya menunduk dan garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Lho. Ini kalian berdua saja? Sierra mana Low?” kata Pak RT.

“Sierra lagi lembur pak. Ada banyak kerjaan di rumah. Saya nemenin Kikan aja soalnya kasian kakinya lagi sakit mungkin butuh bantuan ini itu.”

“Hoo .. sibuk ya dia. Itu kamu berdua kerja di rumah gitu apa sih namanya? ‘Sauna Man’ ya?”

Tak pelak mendengar pak RT berucap ‘Sauna Man’ Kikan menutup mulutnya menahan tawa yang nyaris berderai.

Lowry cuma mengulum senyum seraya tersenyum malu. “Namanya ‘Sound Man’ pak. Anak studio, operator rekaman pak temannya anak-anak band.”

“Oh ya .. ya .. ‘Saun Man’ ya. Gimana masih banyak yang latihan itu anak-anak di tempat kamu?”

“Bukan Latihan pak, rekaman,” Lowry membenarkan.

“Iya ibu kamu itu punya perusahaan rekaman Musique ya Low ya. Makanya kaya banget. Kamu kan baru tahun 2007 kemarin lulus wisuda ya pas sebelum pindah kesini ya? Itu kamu kuliah apa sih? Katanya di luar negeri sama Sierra kuliahnya?”

“S2 di bidang musik pak. Ambil Master of Music di Sydney. Ketemu Sierra juga di Sydney pak tahun 2005.”

“Wiih keren. Tapi kok bapak nggak pernah liat kamu di televisi ya?”

Ternyata si Bapak enggak paham konsep kerja seorang audio engineer dan menganggapnya sama dengan musisi yang wajahnya diekspos di televisi.

“Kita yang bantu aransemen, mixing, dan proses recording musiknya pak.” Lowry masih mencoba sabar.

“Oh kamu yang bikin lagu? Berarti kamu pencipta lagu dong. Bilang dong dari tadi.” Si Bapak malah salah paham lebih jauh lagi.

Yang punya kerjaan cuma mesem-mesem saja dibilang pencipta lagu.

“Ya sudah salam buat Sierra ya. Itu tolong diuruskan yang saya minta tolong kalian tempo hari. Untuk acara tahun baruan.”

“Oh ya pak. Itu siaplah. Nanti bapak terima beres saja konsep dari kami.”

Setelah itu Pak RT pun memasukkan mobil ke carport rumahnya dan menutup pagar. Tinggallah kini Lowry dan Kikan berdua lagi, tanpa gangguan siapapun.

“Pakde minta bantuan apa kak Low?”

“Itu banner hiasan gitu buat tahun baru minta dibikinin yang bagus.”

“Kan masih lama – masih 3 bulan lagi?”

“Katanya sih mau adain acara musik sama makan makan gitu di Lapangan Basket.”

“Idenya siapa?”

“Anaknya pak RT.”

“Oh si Tari? Pinter emang dia kak Low. Kreatif.”

“Aku ga begitu kenal sih sama dia Kan.”

“Maennya kesini mulu sih. Kesebelah dong sekali-kali.”

Kesempatan.

“Ah masih aja ngeledek. Udah tau juga?”

“Udah tau apaan?” Kikan tersenyum.

Lalu mereka diam, dan Lowry yang dari tadi berdiri beralih duduk di kursi teras sebelah kanan sedang Kikan duduk di kursi sebelah kiri. Sebuah meja kecil ada disana memisahkan mereka.

Setelah diam beberapa saat, Kikan memecah kesunyian dengan sebuah helaan nafas.

“Huff.”

“Kenapa Kan?” Lowry menatap ke gadis disebelahnya.

“Enggak pa-pa. Hidup aneh ya. Waktu itu 2007. Kikan baru masuk SMA. Rico milih ikut mama papa kerja ke Prancis. Kikan tinggallah sendiri disini. Sepi banget. Ngapa-ngapain sendiri. Terus kita bertiga ketemu hari itu. Waktu kalian bawa kue itu. Tapi kita semua enggak ada yang bener kejadiannya kan? Lucu ga sih. Aku suka kak Sierra. Kak Low suka aku. Kak Sierra sendiri entah suka sama siapa.” Kikan menuturkan pikirannya.

“Ya. Dan lucu juga. Selama 2 tahun ini, semua baik-baik saja. Maksudku kamu dan Sierra. Sierra bisa jaga kamu. Kamu lucu, centilin dia terus. Aku juga baik-baik saja. Tapi sekarang. Setelah tahu ternyata kaya gini. Entah kenapa, aku ngerasa jengkel. Kenapa dulu aku ga tegas nyatain terus terang aku suka kamu. Ga punya cukup nyali untuk bersaing sama Sierra. Kenapa Sierra ga dari dulu jujur sama perasaannya. Tapi kamu Kikan, kamu ga pernah salah sama sekali, jadi jangan menyalahkan diri sendiri ya.” Lowry pun menuturkan apa yang ia rasa.

“Kak Low.”

“Ya?”

“Kak Low bisa kan tetep sayangin Kikan seperti yang selama ini udah Kak Low lakuin? Kak Low bisa tetap baik-baik saja kan?”

Bugg! Terasa sakit menghantam ulu hati oleh pukulan palu godam yang tak terlihat. Lowry tercekat. Terdiam tak mampu menjawab.

“Aku ga yakin untuk saat ini dengan diriku sendiri. Saat ini Kikan jatuh. Kikan sakit dan luka. Dan ini mungkin bukan luka yang bisa sembuh dengan ditutup paksa. Aku ga mau kasih kak Low luka aku. Aku maunya kasih kak Low aku yang bisa senyum karena benar senyum, bukan aku yang sekarang, yang suka tau-tau air mata meleleh sendiri kaya gini,” ucap Kikan seraya menyeka air matanya.

“Dan kalau lukanya gak sembuh-sembuh?” Lowry bertanya. Tapi ia tak menatap Kikan. Ia menatap kosong kedepan. Nada getir terasa di pertanyaan itu.

“Maaf.” Hanya itu yang keluar dari bibir gadis yang disanjungnya.

Lowry hanya menggelengkan kepalanya.
“Baiklah. Let’s call it a day. Eh iya. Besok sekolah aku antar ya? Atau mau Sierra aja?” ucap Lowry seraya bangkit dari duduknya.

Kikan menatap Lowry tajam. “Why?” cuma itu yang pelan diucapkannya. Lalu ia bangkit dan masuk kedalam dengan tergesa. Masuk ke kamarnya dan mengunci pintu kamarnya.

Tinggallah Lowry sendiri dengan pintu depan rumah yang masih terbuka.

Baru 3 detik kemudian Lowry menyadari kesalahannya. Dan kembali ia menggelengkan kepalanya. Kali ini bukan gelengan rasa tak percaya melainkan gelengan penuh sesal. Sesal karena bawah sadarnya yang pencemburu mengambil alih alam sadarnya. He lost his cool for a moment there.

“Fuck.”

Ia tutup pintu depan rumah Kikan, dan beranjak meninggalkan tempat itu


EPISODE 4: SOMEWHERE ONLY WE KNOW – 30 SEPTEMBER 2009

Oh, simple thing, where have you gone?
I’m getting old, and I need something to rely on
So tell me when you’re gonna let me in
I’m getting tired, and I need somewhere to begin

Mama dan tante Wina terus berciuman. Bukan ciuman biasa. Ciuman bibir.Dan terus seperti itu selama beberapa saat.

Tapi Fiona kecil lebih terkejut lagi saat menyadari ada seseorang mengintip dari kaca jendela luar. Seorang lelaki!

Ia tak begitu jelas siapa lelaki tersebut dan tampaknya Mama dan tante Wina yang kini sudah bergulingan di sofa ruang tamu, juga tidak menyadari bahwa ada bayangan yang mengamati mereka dan bahwa tirai putih itu sama sekali tak menutupi tingkah polah mereka.

Beberapa detik kemudian, kaca ruang tamu tersebut pecah berantakan berkeping-keping.

Fiona kecil merapatkan pintu kamarnya dan hanya ada sedikit celah tersisa untuknya melihat apa yang sebenarnya terjadi. Pria yang menghantam kaca ruang tamu dengan kursi teras tersebut tak lain adalah ayahnya!

Tante Wina berlari menghambur ke arah pintu belakang, masuk ke kamarnya.
“Dasar wanita jalang!” pekik ayahnya penuh amarah.
“Sam! Jangan salah ..” tapi belum selesai Mama berucap tangan ayahnya menjambak rambut Mama dengan kasarnya.
“Plaaak!” Tamparan sangat kuat menghantam wajah mama hingga darah langsung mengucur dari bibir Mama.

Fiona kecil mulai menangis ketakutan di kamarnya. Tapi ia mencoba sebisanya untuk tak bersuara.

Mama terkulai lemas di sofa. Menangis dan menahan nyeri yang sangat.

“Kamu pikir aku tak tahu gila kamu kumat lagi!” pekik sang ayah.

“Wina! Buka pintu. Biar aku beri pelajaran agar kau tak ikut gila seperti kakak iparmu ini!”

Fiona kecil menutup rapat-rapat pintu kamarnya. Ia tak tahu lagi apa yang terjadi di hari itu. Ia hanya ingat setelah hari itu Tante Wina wajahnya babak belur lebam biru dan dirawat oleh Mama. Sedangkan sang ayah sejak hari itu, tak pernah lagi terdengar kabar beritanya. Pria itu meninggalkan Mama dan dirinya untuk selamanya.

Fiona tersadar dari lamunannya. Terbaring di kamar tidurnya, Matanya nanar menatap langit – langit. Setiap pagi selalu sama seperti ini. Menerawang. Ingatan pahit yang tak pernah bisa dihapuskan. Hidup tapi penuh dengan tanda tanya. Raine ada di luar saat ini. Orang yang paling ia sayangi ada di luar kamarnya saat ini. Dan ia tak tahu harus berbuat apa.

Mereka tadinya hanya teman sekolah biasa saat kecil. Dari SD selalu bersama. Lumrah bila mereka akrab. Tapi semua berubah saat ia duduk di bangku SMP. Saat peristiwa itu terjadi. Dulu ia selalu gemetar mengingat semua kegilaan mengerikan itu. Sekarang sudah tidak terlalu. Tapi memori itu terlalu pekat dan nyata untuk bisa dilupakan dan secara tak sadar ia mulai menganggap bahwa hubungan antara pria dan wanita terlalu riskan untuk dijalani.

“Fio.” Suara Raine memanggilnya pelan dari luar kamar. “Udah bangun belum sih? Sini dong.”

Fio pun bangkit dari pembaringan, menuju ke si pemilik suara.

“Lo katanya mau bantuin gw cari Sierra?” Raine bertanya.

Fio diam saja. Berdiri. Tak menjawab. Lalu beranjak ke kulkas, membuka sekaleng bir dingin dan meminumnya hingga tandas.

Raine hanya memperhatikan.

“Raine, kalo gw suka sama lo. Bener-bener suka. Lo gimana?”

“Oh my god! This again? Kenapa sih lo terobsesi banget sekarang ngomongin yang kaya ginian? Maksudnya apa?” Raine menjawab dengan tak sabaran.

“Ya, maksud gw, lo sama gw. Kita hidup bareng terus. Sama-sama terus sampai tua.”

“Jadi… Lesbi?” Raine bertanya dengan tak yakin.

Fiona mengangguk.

Raine cuma tersenyum simpul.

“Ini lo, miss-nya dimananya sih? Bagian mananya sih yang lo nggak ngerti Fio. Bagian pelajaran biologinya? Apa bagian pelajaran agamanya? Apa bagian ilmu sosialnya? Yang lo nggak ngerti tuh di bagian yang mananya sampe bisa berpikiran dan keluarin omongan kaya begitu?”

“Maksud lo?”

“Maksud gw, biologi, masalah seksual dan kenikmatan seksual, serta masalah reproduksi. Agama: Sodom, Gomorrah, Konsep Azab, Konsep Dosa. Sosial, lo pikir hidup model begitu di Indonesia ini bisa tenang? Mungkin lo bisa cuek, tapi bisa dipastikan hidup lo bakal penuh tekanan dari masyarakat.”

“I don’t think anyone need to know. This is our life.”

“Ya sekarang lo ngomongnya begitu. Tapi lo nggak bisa menihilkan masyarakat begitu saja. Lo ga bisa keluar rumah telanjang bulat. Lo ga bisa nyanyi teriak-teriak 24 jam. Manusia selalu pengen dianggap ama orang-orang sekitarnya. Itu fitrah. Makanya kita beli rumah, beli mobil dan pakai baju.”

“Gw ga mikir dari semua segi itu sih.”

“Lah terus lo mikir dari segi apa?”

“Gw pengen ngejaga lo.”

Raine bingung. “Dari? Dari siapa?”

“Dari Sierra,” ucap Fio pelan.

“Loh? Emang Sierra kenapa? Emang lo kenal dia?” cecar Raine.

“Enggak, gw ngga kenal dia. Tapi dia itu laki-laki, dan menurut gw laki-laki bisa jadi sangat berbahaya. Dan gw ga mau liat lo disakitin.”

Raine tidak buru-buru menanggapi kali ini. Ia bisa lihat dengan jelas bahwa Fiona benar-benar tulus dengan semua kata-katanya barusan.

Setelah diam beberapa saat, ia melambaikan tangannya meminta Fio duduk di dekatnya.

“Fio, gw cari Sierra bukan karena gw cinta mati sama dia. Bukan. Bukan karena gw mau buru-buru jadiin dia suami gw. Itu juga bukan. Sekarang ini, selama ini, dan lo tau kan, sejak kejadian hari itu. Hati gw terperangkap Fio. Gw lengah. Jadi hati gw dicuri. Dan kalo gw ga bisa nemuin lagi orang ini, si Sierra ini, gw khawatir gw selamanya bakal hidup dalam bayang-bayang, dalam sesalan. Dan gw engga mau kaya gitu. Dan .. ya gw juga terimakasih banget Fio, yang lo bilang barusan, bahwa lo mau jaga gw. Lo sayang gw. Tapi terlepas dari itu semua, hati gw masih menuntut untuk ketemu satu kali lagi senggaknya sama pria itu. Untuk bisa lihat, apa ada yang bisa diperjuangkan dari semua ini. Lo bisa ngertiin gw kan? Lo mau kasi tau gw apa yang lo tau tentang Sierra?”

Setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar itu Fiona hanya tersenyum.

“Lo nggak kasian sama gw ya?”

“Maksud lo?” tanya Raine.

Selintas tersirat keinginannya untuk menceritakan semua tragedi kelam yang ia alami di masa kecilnya kepada karibnya itu. Tetapi ia menahannya. Ia tidak ingin hanya mengemis empati dari orang yang ia sayangi itu. Ia masih punya harga diri. Jadi ia hanya tersenyum simpul.

Raine, you know what?”

“Apa?”

“Gw akan kasi tau lo yang gw tau tentang Sierra. Tapi gw mau lo comblangin gw sama si Max, mantan lo itu.”

“Hah? Si Max? Koq?” Raine melongo.

“Tadi gw bilang gw mau jadi lesbi sama lo, lo gak mau bla-bla-bla. Sekarang gw mau coba sama cowok, dan kayanya mantan lo itu orang baik-baik. Lo udah nggak ada rasa sama dia kan? Ada keberatan lain?”

“Ya nggak sih, cuma aneh aja Fio. Lo kan ga kenal siapa dia?”

“Ya makanya gw minta lo comblangin gw. Apa gw mesti cari cowok di biro jodoh? Mulai dari yang deket ajalah. Gw udah liat dia, gw udah tau sedikit banyaknya kaya apa. Lo sama dia putus bukan salah gw. Nah. Ngga ada yang salah kan dengan gw mau kenalan sama Max? Ayolah, win-win solution. Lo dapet Sierra. Gw dapet Max.”

“Ih, lo sakit lo ya? Mana ada cewek mau sama mantan temennya.”

“Ah ga masalah. Orangnya ganteng, baek gitu koq. Lo aja yang keblinger sama si Sierra. Udah gih buruan comblangin gw. Biar beres urusannya.”

Pada akhirnya Fio mencoba untuk pertama kalinya membuka diri terhadap pria. Dan ia yakin, antara dirinya dan Raine tidak terlalu jauh berbeda. Tapi ia juga cerdas dan sadar, bahwa ia tak bisa menghalangi pertemuan Raine dan Sierra untuk selamanya, tak adil bila ia lakukan itu pada orang yang disayanginya. Dan dengan besarnya kemungkinan mereka akan bahagia dan saling mencintai, Fiona akan kembali sendirian, terlupakan, dan kehilangan itu akan datang satu kali lagi. Mungkin kali ini ia menyadari bahwa kapalnya sedang tenggelam, dan mencoba mendekati Max, artinya sama dengan meraih pelampung terdekat yang terlihat, untuk menyelamatkan diri agar tidak hanyut tenggelam diluluh lantak arus nestapa, saat orang yang kita sayangi berbahagia dengan orang lain.

Max mengangkat telponnya setengah tak percaya.

“Raine?”

“Max, dengar aku baik-baik.”

“Ya, aku mendengarkan.”

A friend of mine, Fiona, she wants to know you. Is it okay with you?”

“Ha?” Max bingung.

A friend of mine, Fiona, she wants to know you. Is it okay with you?” Raine mengulangi.

“Oh yeah, well, it’s okay I guess.” Max akhirnya mengiyakan.

Well, thank you Max. She’ll see you soon enough. I’ve given her your office address and phone number. Bye Max.” Raine memutuskan panggilan tersebut.

You hear that Fio? It’s a done deal.”

Fio tersenyum dan masuk ke kamarnya. Mengambil dompetnya, mengeluarkan kartu nama studio musik profesional yang dikelola Sierra dan Lowry. Menyerahkan kartu nama tersebut pada Raine. “You can find your Sierra here.”

Raine menerima kartu nama itu dengan debar kencang di dadanya.

— // —

Hari sudah sore dan bel pulang berdentang kencang dari sekolah tersebut.
Lowry menunggu Kikan di pelataran parkiran sekolah. Tak berapa lama, yang ditunggu datang dengan jalan sangat pelan. Sekolah baru saja masuk setelah libur hari raya lebaran beberapa waktu lamanya. Tapi bagi Kikan, semua itu tak ada artinya, karena hubungannya dengan Sierra kandas berkeping-keping. Tak ada raut bahagia sama sekali di wajahnya sore itu.

Lowry pun menyadari hal tersebut, jadi ia memutuskan untuk diam saja selama perjalanan berkendara pulang.

Sesampainya di depan rumah Kikan, Lowry bergegas membukakan pintu mobil untuk Kikan, dan ia membantunya agar bisa menggunakan penopangnya dengan baik.

“Udah ga usah, aku bisa sendiri Kak Low.”

“Kamu masih marah ya?”

“Enggak.”

“Koq diam aja?”

“Aku udah mikir semalaman.”

“Tentang?”

“Tentang Kak Low.” ucap Kikan.

“Aku kenapa?”

“Aku nggak bisa jadian sama Kak Low.”

Lowry tak bersuara mendengar kalimat itu.

“Aku nggak bisa lupain Kak Sierra, kalau aku terus ketemu Kak Low, terus sama Kak Low. Kak Low bisa ngerti kan?”

Yang ditanya memalingkan wajahnya ke arah lain. Melempar pandangan kosong.

“Kita anggap aja Kikan nggak pernah kenal Kak Low ataupun Kak Sierra. Mungkin nanti juga Kikan mau berangkat ke luar. Terlalu menyakitkan disini.”

Kedua tangan Lowry mengepal. Matanya memerah sekuat tenaga menahan tetesan air mata.

“Sigh, kamu benar Kikan. Terlalu menyakitkan disini.” keluhnya.

Lowry pun bergegas masuk ke mobilnya ingin secepatnya meninggalkan tempat itu.

Sepeninggal Lowry, Kikan masih tetap berdiri di situ. berderai air mata. Teringatkan saat pertama ia bertemu dengan Lowry dan Sierra. Betapa Sierra tak pernah betul-betul memperhatikan dirinya, dan betapa Lowry selalu menatapnya dengan mata berbinar. Kikan tahu ia mengambil keputusan yang salah dengan mengidolakan Sierra saat itu. Ia menangis sekarang karena ia tahu ia juga mengambil keputusan yang salah hari ini, mencampakkan perasaan Lowry begitu saja. Tapi itu keputusan yang harus ia ambil untuk tidak terluka lebih jauh lagi.

–//–

Fiona di kamarnya menekan-nekan tombol HP. Mengirim SMS pertamanya kepada Max.

Hi Max, this is Fiona, I know you from Raine. Can we meet sometime soon?”

Dan menunggu balasan pesan tersebut.

And if you have a minute, why don’t we go
Talk about it somewhere only we know?
This could be the end of everything
So why don’t we go
Somewhere only we know?


EPISODE 5: QUEEN OF RAIN – 1 OKTOBER 2009

In that big big house there are fifty doors
and one of them leads to your heart.
In the time of spring I passed your gate
and tried to make a start.
All I knew was the scent of sea and dew
but I’ve been in love before,
how about you?

“LOW!” Sierra memanggil dengan kencang karibnya tersebut.

Terdengar bunyi kunci kamar diputar. Tapi pintu tidak dibuka.

Sierra membuka pintu tersebut dengan segera. Yang punya kamar cuek baca komik di atas kasur. Ratusan komik dan lebih dari sepuluh bungkus Chitato berserakan di atas kasur, saingan menutupi bantal dan selimut.

Di meja komputer tergeletak kotak pizza yang isinya nyaris tuntas, tinggal 2 slice tersisa.

“Ini kenapa lagi orang satu modelnya kaya gini? Dari kemarin ngurung diri di kamar ga kerja – kerja. Itu proyekan orang mau dianggurin semua apa gimana?” Sierra ngomel.

“Alah, gw lagi ga ada mood. Mood gw tidur.” Lowry menjawab seadanya.

“Nah itu namanya enggak profesional. Sudah bagus ada job, ada proyek, ngerjainnya nunggu mood. Ntar deadline mepet keburu-buru minta ekstensi. Ya kalau mood engga ada ya dibikinlah.”

“Nah ini lo ga liat gw lagi nyari mood gw?” Lowry menjawab dengan ujung matanya melirik kesana kemari menunjuk barang-barang berantakan di kamarnya.

Sierra cuma geleng-geleng kepala.

“Masalahnya apa sih Low?”

“Masalahnya? Masalahnya tuh si Kikan ga bisa ngelupain lo. Jadi aja gw ditolak mentah-mentah sama dia.”

“Nah kan gw udah bilang kemarin-kemarin. Lo nggak percaya.”

“Ah bawel.” Lowry masih sebel dengan sobatnya itu.

“Trus dia bilang apa lagi?”

“Dia bilang mo berangkat nyusul nyokap bokapnya ke Prancis. Dia bilang kalo jadian ama gw dia pasti inget sama lo.”

“Nah, kalo gitu Low, lo berenti aja temenan ama gw, terus lo ikut dia ke Prancis.”

“Ah Tupai Arab lo. Kalo ngomong ya nggak mikir.” Lowry makin jengkel.

Sierra tersenyum geli disebut tupai arab.

“Low, dia itu masih abg, baru juga mau tau dunia. Biarlah dia ke Prancis dulu, ntar juga kalo emang lo jodohnya dia .. nyangkut lagi sama lo.”

“Nyangkut? Bahasa lo tuh ya .. Lo pikir dia layangan pake nyangkut segala. Mau gw jodohnya dia dilihat dari mana, kebo aer, gw disini aja ga bisa jadi jodohnya dia, apalagi gw disini dia di Prancis.”

“Pake strategi dong.” Sierra sok serius.

“Strategi apaan?”

“Lo jadi orang kaya raya. Punya banyak duit. Pake jet pribadi, lo ke Prancis, pake asap warna pink, terus tulis nama dia di awan, telpon suruh dia liat ke langit, terus lo terjun payung deh turun pas di deket dia, lo langsung bersimpuh keluarin cincin, sembari asapnya tambahin tulisan, will you marry me. Nah tapi sebelum itu semua lo bangun dulu, masuk studio, kerjain tuh proyekan kantor nyokap lo. Kalo ga, ya ga bakal kebeli jet pribadinya.” Sierra ngoceh panjang lebar menyemangati Lowry dengan ide gilanya.

Lowry mendengar itu semua diam sebentar, lalu melemparkan komik yang dibacanya ke arah Sierra. satu dua, lalu semua komik yang ada di atas kasur.

“Dasar lo ya. Ganteng-ganteng sarap. Strategi apaan kaya begitu! Orang lagi patah hati malah dijadiin bahan lawakan.”

Sierra yang menjadi target sambitan komik, buru-buru kabur keluar kamar, sambil menutup pintu.

“Kerja makanya Low! Kaya dulu, baru cari cewek lagi.”

Kata-kata terakhir Sierra itu ada benarnya juga. Ia memang masih jauh dari mapan. Kalau dipikir-pikir selama ini Lowry terlalu mengandalkan ayah dan ibunya yang sangat baik hati dalam hal finansial. Dan sekarang disini, dia bermalas-malasan hanya karena masalah cinta, mengabaikan proyek-proyek yang dipercayakan kantor ibunya padanya.

Lowry hanya termangu menyadari betapa bodohnya selama ini ia menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan ayah dan ibunya padanya. Dengan pendidikan yang ia dapat selama kuliah di luar negeri, apa yang ia hasilkan selama ini tak begitu jauh berbeda dengan apa yang bisa dibuat oleh mereka yang hanya belajar otodidak. Ayahnya menawarkan untuk pindah ke Jepang, sedangkan ibunya menyarankan ia untuk mulai menggarap proyek-proyek serius dan bekerja magang di studio musik profesional mancanegara. Tak satupun dari kedua hal tersebut yang ia pertimbangkan dengan baik sejauh ini. Kalau dipikir-pikir yang ia lakukan hanyalah menunggu Kikan putus dari Sierra selama ini, dan sekarang saat mereka benar-benar sudah putus sekalipun, Lowry tak memiliki nilai lebih apapun dibanding Sierra untuk bisa meraih hati gadis pujaannya tersebut.

Di kamar itu, Lowry menatap ke seluruh komik, cd games, dan bungkus makanan yang berserakan, lalu menatap ke cermin ke tubuh gemuknya yang tak pernah ia ajak berolahraga dan tiba pada satu kenyataan bahwa selama ini ia telah menyia-nyiakan waktu yang berharga dalam hidupnya, waktu yang seharusnya ia manfaatkan untuk bisa jadi pria yang cukup layak untuk Kikan.

Bahwa seharusnya, bila ia sungguh-sungguh mencinta, ia hendaknya hidup seperti seorang pecinta, berkorban. Dan awal dari semua pengorbanan haruslah dimulai dari membenahi diri sendiri dan berhenti mengurusi keinginan-keinginan. Ia sadar benar, Kikan dan hanya Kikan yang akan selalu ada dalam hatinya dan hidupnya. Ia tak butuh Kikan untuk menerima cintanya, karena hanya dengan mengenal gadis itu Lowry telah merasa mendapatkan arti hidupnya. Ia merasa dapat hidup seratus tahun lagi karena ia mengenal Kikan. Ia merasa dapat melakukan segala hal karena ia mencintai Kikan. Ia tak pernah merasa sebertenaga dan sebersemangat ini sebelumnya. Ia merasa sangat beruntung memiliki Ayah dan Ibu yang sangat menyayanginya, Sierra yang menjadi sahabat sejatinya, dan Kikan yang menjadi gairah hidupnya.

Cukup! Tegasnya dalam hati. Waktunya membuat keputusan.

Awan kelabu perlahan memudar, dan hanya hangat matahari bersinarkan cinta yang kini ia rasa, meski saat ini itu terukir dalam tetes air mata haru yang jatuh perlahan. Cinta semestinya menguatkan, tidak menghancurkan. Ini adalah awal hari baru cinta akan tumbuh. Hari ini akan banyak cinta bersemi di udara.


Tak butuh waktu lama bagi Fiona berkendara menempuh jarak yang membentang antara Jakarta dan Bandung. Hari belum terlalu siang saat ia tiba di seputaran salah satu pusat perbelanjaan ternama, karena ia berangkat pagi. Ia merasa hal-hal besar semacam ini akan membutuhkan fokus dan konsentrasi penuh, sehingga ia memutuskan untuk secepatnya bertemu dengan Max, dan melihat apakah yang ia bayangkan tentang Max adalah benar atau sebaliknya. Ia sudah SMSkan posisinya saat ini pada mantan Raine itu, dan menunggu memang membuat pikiran mudah mengembara.

Hari ini pun, Raine akan melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan saat ini. Menemui seorang pria dan melihat kemungkinan yang terjadi. Ya, sekarang memang bukan masanya lagi untuk menantikan seorang pria idaman muncul di depan pintu rumah seperti Romeo yang muncul di bawah menantikan Juliet muncul dari balkon, menyanyikan syair-syair pujangga. Jumlah wanita yang berbanding terbalik dengan jumlah pria jelas membuat kompetisi kian ketat, dan terlepas dari itu semua, Fiona dan Raine memiliki kesamaan untuk proaktif dalam menyelesaikan segala sesuatu hal. Fiona lalu teringatkan kebiasaan lama untuk menyelesaikan jawaban untuk semua buku teks maupun LKS yang didapat bersama Raine persis di hari buku itu dibeli. Seperti halnya pemburu, mereka tak ingin berada di belakang sasaran mereka. Saat siswa lain baru akan mengerjakan materi pelajaran buku atau LKS tersebut Fiona dan Raine hanya perlu pura-pura sibuk, dan guru-guru yang tahu akan hal ini, mereka semua mengagumi semangat belajar dua gadis penguasa papan atas peringkat kelas ini.

Tapi ini adalah masalah hati. Fiona tak pernah punya pengalaman yang bisa dibilang cukup tentang pria. Sebatas mengagumi tentu sebagai gadis belia, pernah ia rasa itu rasa suka. Tapi mencari pria untuk teman hidup, ini adalah sesuatu yang sama sekali baru. Dan ia tak yakin apakah ia akan dapat menguasai ‘permainan’ pertaruhan hati ini. Cukup gelisah ia menunggu di salah satu restoran cepat saji itu. Ia memilih duduk di kursi yang tersedia di luar, karena cuaca Bandung tak terlalu terik saat itu. Tak butuh waktu lama pria yang ditunggu pun muncul.

“Fiona?” Pria itu menyapa namanya, masih berdiri. Lalu ia mengulurkan tangannya, “Aku Max.”

Fiona menyambut uluran tangan tersebut dan mereka pun berjabat tangan untuk beberapa detik.

Fiona tersenyum. Entah mengapa ia merasa hatinya berdebar kencang. Dan permainan pun dimulai.

Mereka hanya diam untuk beberapa saat. Tak ada suara, saling tatap. Namun mereka berdua mulai tersenyum satu sama lain. Fiona pun memulai.

“Aku datang agak awal tadi, dan memesan kopi untukku sendiri. Dan aku gugup, dan aku tak tahu apa kau akan benar-benar datang menemuiku atau tidak. So, I didn’t order anything for you. Would you want something to drink?”

“Oh iya deh. Tunggu sebentar ya.”

Max lalu beranjak ke counter, dan tak berapa lama ia kembali dengan secangkir kopi yang sama dengan yang dinikmati Fiona saat ini.

“Nah, sama nih minuman kita,” ujar Max.

“Iya kopinya memang lumayan ya di tempat ini, aku juga sering ke gerai ini di Jakarta.”

“Tepat sekali. Enak memang.”

Fiona memainkan sendok kecil, diputar-putarkan di cangkirnya, mengaduk perlahan. Dan sambil matanya menatap Max, ia tersenyum.

“Aneh nggak sih, ini?” ucapnya sambil sedikit tergelak.

“Ahaha .. ya enggak lah,” Max menjawab.

“Kamu teman baiknya Raine?” tanya Max lagi.

“Banget. Dari kecil.”

“Dan kamu tau aku dari kapan?”

“Raine cerita semua tentang kamu ke aku.”

“Oh.”

“Soal kemarin, Raine dan aku putus juga dia cerita?”

“Aku lihat langsung. Aku di mobil waktu itu. Aku lihat cukup jelas dari jauh.”

“Oh.” Max ber-oh lagi. Jelas semburat malu di wajahnya.

Sorry it didn’t work out between you and her, Max.”

“Ah, ga pa apa koq.”

“Tapi kalau kalian enggak putus, aku enggak akan ada disini sekarang kan?”

“Ya sih. Hahaha.”

“Max?” Fiona bertanya.

“Ya?”

“Benar kan ini enggak apa-apa?”

Max berpikir sebentar sebelum merespon.

“Ya. Enggak apa-apa. Santailah.”

“Sering ada cewek minta ketemu, duduk, ngobrol, kencan buta kaya gini Max?”

“Ngga ada sih. Ini yang pertama kali.” Max tersenyum.

“Ini yang pertama kali? Terus kesannya gimana? Suka? Nggak suka?”

“Gimana ya? Susah sih jelasinnya, aneh tapi asyik gitu. Haha.”

“To the point ya. Aku suka kamu, Max. Kamu suka aku, nggak?”

“Masa sih? Beneran?”

“Beneran.”

“Aku juga suka sih.” Max membalas.

“Suka apanya?” tanya Fio.

“Suka ini, percakapan ini. Ngobrol sama kamu kaya gini. Aku suka. Tadinya aku kira ini bakal rada awkward canggung tapi ternyata enggak.”

“Nice. Plan aku jalan berarti.” ucap Fio

Lalu mereka berdua tertawa kembali. Masing-masing menikmati kopi mereka, lalu sesaat kemudian melanjutkan kembali.

“Aku tau banyak tentang kamu. Lumayan sih dari cerita-cerita Raine. Nah kamu kan blank tentang aku. Tanya-tanya lah. Tiga deh.”

“Ya ya benar juga. OK yang pertama dulu deh. Sekarang kerja dimana?”

“Sekarang aku Marketing Director di Musique. Urusin penjualan dan pantau pasar untuk musik-musik pop di negeri ini lah.”

“Wah keren tuh.”

“Biasa aja. Pesuruh doang. Yang keren ya artis-artisnya. Kita di label sih cuma orang pemasaran biasa. Aku masuk dari komunikasi tapi. Aku kuliah di sini juga lho.”

“Oh ya? Oh ya berarti sama Raine juga ya.”

“Umm.. fokus ke aku dong, please. Haha.. Nanti Rainenya bersin disebut-sebut terus sama kamu Max.”

“Haha. Mitos banget ih.”

“Haha. Bener lagi itu bukan mitos. Second question please please please.”

“Ahaha.. ya ya .. sabar dikit napa. Apa ya? Oh ya, udah sering pacaran ya? Kayanya udah ahli nih.”

“Nope. Ini pertama kali aku bicara sedekat ini dengan cowok.”

“Oh ya? Hmm.. sulit dipercaya Fio.”

“Kenapa gitu?”

“Soalnya aku nyaman bicara sama kamu. Dan itu jarang terjadi dengan siapapun.” Max menjawab dan kini giliran Fiona yang memerah pipinya.

“Karna aku anak komunikasi dan marketing kali ya?” Fiona mencoba menghindari menutupi sukacita yang menyeruak di wajahnya.

“Nggaklah.” Jawab Max pasti.

“Terus?”

“Karena aku percaya kamu kesini hari ini, ingin bertemu dan apapun, ini ada artinya untuk kita berdua.”

Thanks Max. You’re right.” Fiona berucap pelan seraya menunduk.

Saat ini Fiona benar-benar merasa campur aduk. Di satu sisi ia merasa semua berjalan dengan sempurna, ia melambung tinggi. Tapi itu kini, tanpa ia duga sebelumnya, membuatnya takut. Takut jatuh dan terbangun dari semua mimpi ini. Dan lebih lagi, ia merasa senang karena dugaannya tentang Max benar. Pria ini sangat santun. Tak bisa ia pahami mengapa Raine memutuskan untuk mencampakkannya demi Sierra yang tak lebih dari berkas kisah masa lalu.

“Pertanyaan ketiga sekarang, boleh?” tanya Max.

“Eh ya, ya ..”

What’s your deepest secret?”

Bum! Pertanyaan ini sama sekali tak ia duga sebelumnya. Fiona mulai bisa merasakan akan kembali terhempas ke kenyataan yang menyakitkan setelah sebelumnya terlempar ke angkasa.

“Koq gitu sih pertanyaannya?” Fio jadi salah tingkah.

“Ga boleh ya? Ada keberatan?”

“Umm .. kamu dulu deh, coba kalo kamu ditanya seperti itu, kamu jawabnya gimana?” Fiona kehabisan ide, mencoba melarikan diri dari situasi yang tak menguntungkan itu.

“Aku .. rahasia terbesar aku .. Aku suka masak. Aku bisa nangis kalau aku sedih. Aku suka dengerin musik hingga tertidur. Aku punya pembantu yang aku anggap ibuku sekaligus sahabatku sendiri. Aku tak ingin berlama-lama pacaran, dan ingin punya anak 3 dari pernikahanku. Atau mungkin dari mengadopsi. Nah, sekarang giliran kamu, Fio,” jawab Max tenang.

Fiona mengagumi kejujuran Max yang bisa dibilang luar biasa mengingat ini sama beresikonya dengan posisinya. Wanita manapun bisa saja hilang hasrat mendengar seorang pria yang menangis, pembantu bak ibu, atau pun inginkan jumlah anak tertentu. Tapi pria ini sedia ambil semua resiko itu.

“Tapi aku takut.” Fio berterus terang.

“Takut kenapa?”

“Takut kamu jadi berubah pandangan kalau kamu tahu rahasia aku.”

Max tersenyum, lalu berkata, “Rahasia kita simpan, karena kita pikir itu buruk. Dengan demikian kita merampas hak orang lain untuk melakukan penilaian terhadap hal tersebut dan secara tidak lain kita menuduh orang lain punya pandangan buruk yang sama dengan kita. Dengan kata sederhana, menyimpan rahasia itu egois. Kamu tidak egois, bukan?”

Fiona merasa rapuh, tapi pada akhirnya ia memutuskan untuk meresikokannya. Andai Max tak menangkapnya saat ia terjatuh kali ini, ia pasti hancur berkeping-keping. Suatu pertaruhan besar. Mungkin ini lebih besar dari saat ia bilang suka pertama tadi. Ini sudah jenis komitmen yang jauh lebih serius dan ia sama sekali tak mengira semua akan berjalan secepat ini.

“Aku sempat berpikir untuk menjadi lesbian. Aku berpikir untuk menutup diri dari semua laki-laki. Aku merasa hilang harapan akhir-akhir ini. Tapi saat melihatmu malam itu, aku merasa ada sedikit harapan. Aku merasa tak semua laki-laki itu buruk, karena melihatmu, melihat besar perasaanmu pada Raine, aku ingin ada disana, untuk menjadi seberuntung itu, merasakan dicintaimu.”

Max terdiam, terharu, lalu bertanya.

“Kenapa kau sempat berpikiran seperti itu kalau boleh aku tahu Fio?”

“Aku tak bisa bilang, Max. When something bad happened in your family, you just have to accept it and move on. Yang aku bisa bilang hanyalah, aku tak dibesarkan seperti orang kebanyakan. Kuharap kau bisa menerimanya seperti itu.”

Max bisa memakluminya. Lagipula ia tahu benar dari cerita-cerita mbok Asih padanya, betapa hidup tak selalu berjalan dengan mulus seperti yang kita inginkan. Satu saat akan datang awan hitam, dan harus tunggu hingga hujan deras berlalu baru kita bisa melangkah lagi dan menikmati indah pelangi. Ia ingin menawarkan pelangi itu pada gadis di hadapannya ini.

“Satu pertanyaan terakhir boleh Fio?”

“Tiga sudah cukup kan, batasnya tiga?” Ia terdengar seperti anak kecil yang ketakutan.

“Tapi ini penting.” Max menegaskan.

“Apa?”

“Maukah kau temani aku, kini, nanti, dan seterusnya?” Max berkata seraya kedua tangannya menggenggam kedua tangan Fiona.

Fiona tak kuasa menjawab, ia hanya bisa mengangguk pelan.

Max dengan jempolnya menyeka air mata yang menetes di wajah Fiona.

Bagi Max, perkembangan ini memang mengejutkan, sekaligus menyenangkan. Tak berapa lama, ia ada di posisi ini, berlinang air mata karena dicampakkan Raine. Dan ia tak keberatan bila ia harus melupakan Raine. Max selalu menganggap dirinya sendiri pria yang realistis, romantis, dan ksatria. Ia sangat menikmati peran yang bisa ia tawarkan pada Fiona, dan juga ia merasa bahwa Fiona sendiri merupakan pribadi yang sangat menarik.

No need to cry, everything is okay now, sweetheart.”

Ia menangis karena merasa lega. Beban berat yang menghimpit terasa lepas sudah. Ini adalah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Fiona yakin sekali akan hal itu. Ia kini tengah berjalan di titian pelangi yang dibentangkan Max di depannya, dan ia hanya berharap kisah ini bisa selamanya.

There’s a time for the good in life,
a time to kill the pain in life,
dream about the sun you queen of rain


Kikan berdiam diri melamun di pojokan kelas. Tak ada gunanya memperhatikan pelajaran pikirnya. Ia tak pernah merasakan kesulitan apapun dalam pelajaran. Di pertengahan siang begini, perutnya menolak untuk berdamai dan sudah mulai mengusik ketenangan belajar. Roy, si ketua kelas macho duduk di sebelahnya. Beda dengan dirinya, Roy tipe anak yang serius belajar dan cenderung disukai oleh guru. Ganteng, tubuh atletis, kacamataan pula membuat dia kaya anak jenius, tapi yang paling keren adalah stylenya yang selalu rapih dan klimis. Entahlah ini anak cetakannya dari apa, bikinnya bisa jadi bener gini, pikir Kikan dalam hati sambil matanya menatapi naik turun mahluk yang duduk di sebelahnya itu.

“Kikan, kamu suka sama si Roy ya?” Suara berat Pak Umar si guru killer Bahasa Inggris memecah keheningan seisi kelas dan sontak semua anak sekarang berpaling menengok ke arah meja paling belakang kiri tempat Kikan dan Roy duduk.

“Eh .. Enggak pak? Kok Bapak bilang gitu?”

“Kamu Bapak perhatikan dari tadi matanya melototin Roy melulu naik turun naik turun. Kamu cari apa di bajunya si Roy?”

Tak ayal semua anak-anak tertawa riuh rendah. Kelas yang tadinya hening jadi hingar bingar.

Kikan sudah memerah pipinya menahan malu sementara si Roy tetap dengan stay cool tersenyum tipis ke arah Kikan.

“Cieeeee…” anak-anak makin menjadi dalam ledekan spontannya melihat senyum Roy tersebut.

“If you like him, tell him. Jangan malah dipendam. Nanti kentut kamu disitu.” Pak Umar malah meracau.

Anak-anak tambah jadi lagi, bahkan sampai ada yang bersuit kencang segala.

Suara Pak Umar menggelegar, “Siapa itu yang bersuit?!”

Kelas kembali sunyi dalam sekejap.
“Ke depan yang tadi bersuit!”

Awalnya tidak ada yang bergerak, semua cuma saling pandang.

“Saya hitung sampai 3! Semua saya hukum hadap bendera!” Pak Umar menggertak.

Dengan langkah gontai, malas, muka pasrah, Bayu Ceking beranjak dari duduknya dan berdiri di depan kelas seraya tertunduk mata menatap lantai.

Pak Umar melangkah mendekati pelan tapi pasti, “Jadi kamu yang tadi bersuit kencang?!”

Suaranya dan kumisnya membuat Bayu makin gemetar. Nyalinya hilang dibawa angin. Ia tak berani menatap si guru killer, “ya pak. Saya.”

Anak-anak sekelas menahan napas. Terbayang hukuman apa yang bakal diterima Bayu Ceking. Beberapa anak wanita malah menutup mata seperti saat sedang menonton film horror scene hantunya pas mau muncul.

Tapi di luar dugaan, si Pak Umar berkata pelan nan lembut, “Ajari Bapak bersuit nak. Bapak suka kesulitan memanggil abang nasi goreng yang sudah lewat kejauhan.”

Eaaaaa. Cape deh. Begitulah ekspresi anak-anak sekelas lega sekaligus tak ayal menepuk jidat lihat kelakuan konyol si guru killer. Dan pas pula bel panjang tanda istirahat kedua berbunyi.

“Ya. Silakan istirahat anak-anak,” ucap Pak Umar.

Anak-anak berlarian keluar kelas. Sebagian menuju kantin, dan sebagian menuju toilet. Ada juga yang langsung berlari ke ruang olahraga, tak lain untuk ambil bola futsal atau bola basket. Segera saja kelas itu tinggal dihuni dua orang penunggunya. Kikan dan Roy.

Kikan memang ogah kemana-mana, karena dia malas mondar-mandir dengan crutchnya. Sementara Roy terlihat masih asyik menulis sesuatu di buku pelajarannya.

“Roy,” Kikan menyapa.

“Mmm.” yang dipanggil tak menoleh, masih tetap mencatat.

“Sorry ya tadi.”

“Ah gapapa.”

Kikan tersenyum.
“Kamu kok gak istirahat Roy? Rajin amat nyatetnya.”

“Ini bukan nyatet kok Kikan.”

“Terus kamu dari tadi ngapain? Bukannya nyatet?”

Roy berbalik dan menghadap ke arah Kikan, memperlihatkan apa yang ada di buku yang ia genggam.

Gambar sketsa komik yang luar biasa bagus!

“Jadi kamu dari tadi, ngegambar?”

“Iya. Bagus nggak?”

“Bagus. Bagus banget malah!” Kikan antusias.

“Aku masih belajar. Mau jadi pelukis, tapi mungkin di kelas begini, aku sempatkan saja curi-curi buat gambar sketsa.”

“Ooh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Kikan.

“Itu cita-cita kamu mau jadi pelukis?”

“Ya. Aku lulus SMA ini mungkin mau langsung berangkat ke Eropa, kemungkinan cari sekolah Seni di negara yang ada di Eropa sana, Jerman atau Prancis mungkin, entahlah. Tapi yang pasti aku ingin karirku dan pendidikanku satu jalur.”

Makjleb banget anak ini, pikir Kikan. Sudahlah ganteng iya, pintar iya, keren iya, tapi yang ada di pikirannya cuma pendidikan sama karir. Sementara dirinya hanya memikirkan cinta-cintaan melulu.
Kikan mendadak merasa tubuhnya menyusut di hadapan rekan sebangkunya itu.

“Aku mau ke kantin, titip apa Kan?” Roy yang sudah berdiri menawarkan.

“Nu Green tea aja Roy satu yang madu ya.”

“OK. Siap.”

Roy berlalu. Tinggallah Kikan sendiri di kelas itu. Kak Lowry. Kak Sierra semua pendidikan luar negeri. Roy mau ke luar negeri. Riko di luar negeri. Mama Papa di luar negeri. Kenapa sih semua orang pada nggak ‘stay’ di Indonesia saja. Kikan yang paling susah urusan adaptasi selalu jadi bagian yang paling kesepian karena selalu ditinggal di keluarganya.

Baginya, semua yang ada di Indonesia sudah cukup. Tapi kenyataan berkata lain, kualitas pendidikan luar negeri memang jadi idaman banyak orang terlebih lagi unsur prestisiusnya. Namun baginya, pergi ke luar negeri, bagaikan suatu kompetisi lari maraton yang sangat jauh dan melelahkan. Ia takut tenaganya tak cukup untuk bisa selamat hingga akhir garis finish. Kalaupun ia keluar negeri, ia akan sangat membutuhkan seseorang untuk ada disampingnya.

Tiba-tiba saja bayangan Lowry dan Roy bersanding di imajinasi anehnya. Saat ia sedang tersenyum-senyum memilih satu diantara dua, tiba-tiba saja wajah Roy berganti menjadi wajah Sierra.

Oh no! Roy dan Sierra satu tipe! Tipe yang tidak pernah peduli dengan Kikan!

Tersadar akan kenyataan buruk seperti itu, Kikan menggulung buku teks bahasa Inggris dan memukul meja dengan kuat.

“Damn!”

Tanpa sepengetahuan Kikan, Roy sudah berdiri di samping meja dengan titipan Nu Green Tea di tangannya.

“Kenapa mejanya Kan? Kok dipukulin?”

Kikan malah jadi salting sekarang.

“Enggak papa kok Roy. Thanks teh nya ya.”

Seraya menenggak tehnya, Kikan berpikir bahwa meskipun sekarang memang belum ia benar-benar akan sangat butuh Lowry dalam hidupnya.


Fiona sedang mencari posisi parkir yang pas untuk meminggirkan mobilnya di depan rumah Max agar tidak menghalangi jalan mobil lain yang lalu lalang di komplek itu. Max sendiri sudah memasukkan mobilnya ke dalam carport.

“Siapa itu pak?” Mbok Asih yang tadi membukakan pagar, bertanya pelan kepada majikannya.

“Ah .. ini pacarku yang baru mbok. Namanya Fiona.”

“Eh? Yang benar pak?”

“Iya Mbok. Masa bohong. Ini saya bawa kesini sengaja mau saya kenalin sama si Mbok.” Max tersenyum pada perempuan yang sangat dihormatinya itu.

Fiona yang selesai dengan letak mobilnya akhirnya keluar dan bergegas menuju ke arah Max dan Mbok Asih. “Selamat sore Ibu,” ucapnya.

“Sore mbak, siapa tadi namanya pak?” Mbok Asih bersalaman sambil melihat Max.

“Nama saya Fiona, ibu.”

“Ah panggil saya mbok aja mbak.”

“Ini Mbok Asih, yang ngurusin aku sehari-hari ya si Mbok ini. Nah, ayo kita masuk.” ucap Max.

“Iya Mbak, masuk mbak, saya ambilkan minumnya dulu ya,” Mbok Asih pun bergegas masuk ke dalam rumah.

Tak lama mereka telah duduk di sofa ruang tamu dengan nyaman dan kembali melanjutkan percakapan mereka.

“Kamu udah berapa lama memangnya sama si Mbok Asih, Max?”

“Dari aku pertama di sini, udah sekitar 5 tahunan. Waktu itu sih aku masih tahun terakhir kuliah, nah terus aku kerja ngajar aja beberapa tahun belakangan ini. Eh Raine ada bilang ke kamu enggak tentang rencana aku?”

“Ha rencana apa ya, dinner?”

“Bukan, bukan rencana dinner. Umm .. Berarti dia enggak cerita ke kamu ya?”

“Aku nggak dengar apa – apa yang judulnya rencana tuh?” Fiona bingung.

Tiba-tiba mbok Asih datang dengan membawa cangkir dan teko dan toples beralaskan nampan.

“Nah ini minumannya sama kuenya silakan mbak.”

“Terima kasih ya Mbok.” ucap Fiona.

Max menuangkan teh panas tersebut ke dalam cangkir-cangkir mereka.

“Terus gimana Max? Rencana apa emangnya?” tanya Fiona setelah Mbok Asih kembali ke dapur.

“Tahun depan aku mau lanjut studi ke luar negeri sih?”

“Ah yang bener? Seriusan? Ke mana tuh?” Fiona terdengar kaget.

“Rencananya kalau bukan ke Amerika ya mau ke Inggris. Tapi kemungkinan sih ke Amerika.”

Fiona menarik napas panjang, menatap langit-langit lalu tersenyum.

“Kenapa?” Tanya Max.

“Aku diajak nggak?” Tanyanya pelan.

“Emangnya mau ikut?” Max balik bertanya sambil tersenyum.

“Ih … nyebelin banget. Kalau nggak diajak ya udah.” rajuk Fiona.

“Ya udah apa?” ledek Max lagi.

“Ya udah santai aja. LDRan. Telpon-telponan,” terlihat jelas ia kecewa.

Melihat Fiona seperti itu Max pun memberi sedikit peluang.

“Boleh ikut kok. Tapi kerjaan kamu gimana nantinya?”

Mendengar itu, Fiona langsung senyum sumringah. Dan nyengir.

“Berhenti saja. Aku mau belajar masak. Aku jago masak lho.”

“Wah jadi nanti aku punya chef pribadi ya? Asyik nih, bisa makan enak tiap hari.”

Sedang mereka berbicara panjang lebar, Mbok Asih datang mengingatkan,

“Pak maaf, mau mengingatkan, zuhurnya sudah hampir habis. Bapak sama si Mbak sudah zuhuran tadi?”

“Oh ya. Aku belum mbok, makasih ya.” ucap Max.

Lalu ia berkata pada Fio, “Ayo kita sholat.”

Fio tersenyum aneh, “Aku lagi enggak nih. Kamu duluan aja.”

“Oh oke deh.” Lalu Max pun berlalu dari ruangan itu dan masuk ke kamarnya yang letaknya sedikit agak di dalam.

Setelah Max masuk, Fio terlihat pucat pasi dan gelisah. Ia tak pernah menyangka akan ada situasi yang seperti ini. Sebentar ia membolak balik surat kabar yang ada di dekat sofa. Lalu diletakkannya lagi. Lalu majalah. Sama juga begitu, lalu diletakkan lagi.

Saat Mbok Asih melintas, Fio memanggil Mbok Asih dengan lambaian tangannya, lalu setelah Mbok Asih dekat dirangkulnya pelan-pelan dan diajaknya ke teras depan.

Fio berbicara sambil berbisik, “Mbok, saya ini bukannya lagi enggak bisa sholat.”

Mbok Asih pun terlihat kaget.

“Hah? Terus kenapa mbak?”

“Saya ini enggak tau caranya sholat.”

Mbok Asih tambah bengong.

“Tapi mbak orang Islam kan?”

“Iya saya orang Islam tapi saya enggak tau cara sholat. Aduh saya malu banget ini. Mbok bisa ajarin saya enggak?”

“Ehem.” Terdengar suara Max yang ternyata berdiri beberapa meter di belakang Fiona yang sedang merangkul Mbok Asih.

Fiona tercekat. Lalu memutar kepalanya pelan-pelan ke belakang, menengok ke arah Max Alfar.

Dilihatnya Max sedang tersenyum padanya.

“Kenapa nggak minta ajarinnya sama aku aja?” tanyanya pelan.

Mengetahui kebohongannya sudah terbongkar, Fiona pun tak bisa mengelak lagi.

“Tapi kan kamu cowok? Memang kamu tau cara sholat cewek?” ia balik bertanya dengan lugunya.

Melihat ini Max jadi tambah riang hatinya. Siang itu pun, acara kencan mereka lantas beralih fokus jadi ke pelajaran cara-cara shalat dan bacaan ayat-ayat pendek, serta tata tertib lainnya.

Saat Ashar, Fiona masih belum selesai menghapalkan dengan dibantu berganti-gantian oleh Max dan Mbok Asih. Mbok Asih pun dengan penuh sukacita membantu majikannya dan pacarnya yang ia lihat sangat serasi.

Tapi mungkin yang paling bergembira hari itu adalah Fiona. Sudah lama sekali ia tidak hidup dalam kehangatan bak suatu keluarga seperti ini. Ia mempelajari semuanya dengan sungguh-sungguh, bukan hanya karena ia tidak ingin malu ataupun sekedar ingin menjadi pasangan yang pantas bagi Max. Melainkan ia lakukan itu semua untuk berterima kasih atas takdir indah yang telah ditentukan terjadi hari itu dalam hidupnya.

Saat Maghrib tiba, mereka bertiga pun melaksanakan sembahyang berjamaah, dengan Max menjadi imam sholat bagi Fiona untuk kali pertama. Selesai ucapkan salam akhir sholat, tak urung air mata Fiona berderai tanpa bisa ditahan lagi. Sungguh suatu pengalaman yang terlalu emosional baginya. Ia pun tersedu-sedu, namun Mbok Asih yang juga menitikkan air matanya, merangkulnya dengan hangat bak seorang ibu kepada putrinya.

“Ampun ya Allah, hamba banyak dosa.”

Itulah kata-kata yang terucap lirih keluar dari bibir Fiona, menyesalkan betapa lamanya waktu yang ia butuhkan untuk dapat bersimpuh dengan tulus hati kepada sang Pencipta seperti ini.

Setelah itu mereka pun makan malam bersama.

Saat itu Max berucap padanya, “Kamu jangan pulang malam ini ya. Tidur di kamar Mbok Asih saja.”

Fiona bimbang harus menjawab apa.

Ia ingin segera pulang ke Jakarta, tapi seakan-akan ada kekuatan lain selain dirinya yang mengambil alih dan berkata, “Baiklah.”


EPISODE 0 : BUKU INI AKU PINJAM – OKTOBER 1997

Hari saat itu telah beberapa waktu lewat Maghrib, Raine dan Fiona tengah mengikuti acara perkemahan asimilasi siswa sekolah negeri dan swasta. Tujuan dari acara ini adalah untuk mempererat hubungan antara sekolah – sekolah swasta yang notabene sebagian besar siswanya merupakan siswa keturunan Tionghoa dan siswa negeri yang pribumi. Dengan tujuan ini diundanglah 5 sekolah perwakilan swasta dan 5 sekolah perwakilan negeri dengan masing – masing sekolah mengirimkan sekitar 15 orang dari berbagai kelas 1, 2, dan 3. Di Bumi Perkemahan itu sendiri pada malam itu, langit terlihat cerah, dan pihak penyelenggara dari panitia telah menyiapkan perlengkapan berupa panggung kecil dan mikrofon serta penerangan seadanya.

Ada sekitar 40 tenda yang telah dipasang dan anak – anak sekolah sendiri kemungkinan berjumlah 120 orang disertai dengan beberapa guru dan pengawas pramuka. Tenda yang digunakan hanyalah tenda – tenda kecil dan tidak perlu berdesakan karena hanya diisi 4 orang per tendanya.

Setelah kata sambutan dari bapak Kepala Sekolah dari salah satu sekolah swasta, yang disambut meriah oleh para anak dan guru peserta acara perkemahan keakraban itu, acara pun resmi dibuka. Masing-masing sekolah diperkenankan tampil di atas panggung untuk berlaku apapun, puisi, drama, main gitar bolong, apapun yang bisa dilakukan di muka publik.

Penampil pertama maju ke atas panggung membacakan puisi berbahasa Mandarin. Lalu disertai dengan artinya dalam bahasa Indonesia, yang ternyata menceritakan tentang indahnya dunia bila kita saling bersahabat.
Tampaknya tidak begitu banyak peserta yang hadir malam itu yang bisa berbahasa Mandarin, sehingga tepuk tangan untuk si peserta ini pun terkesan seadanya.

Lalu penampil kedua pun naik ke atas panggung bermodalkan gitar bolong. Anak sekolah negeri yang terkesan slenge’an dan rambut agak gondrong ini mulai dengan kata – kata, “Yang teman-teman dari sekolah swasta, karna gw sayang lo, gw mau ajarin lo lagu ini. Yang bisa nyanyi – nyanyi bareng gw ya. Yang gak bisa, itu sambil liat liriknya aja. Tapi semua ikut nyanyi ya. Oke my man?”

Salah satu teman si gondrong membagi-bagikan kertas yang ternyata kertas lirik lagu kepada siswa maupun guru. Dan si pria pribumi gondrong ini pun mulai memainkan gitarnya. Para siswa melihat ke kertas yang dibagikan. “BUKU INI AKU PINJAM”

Seluruh siswa dan guru terbawa suasana yang mulai cair, dengan lagu yang mudah diikuti karna banyak yang sangat hapal lagu Iwan Fals itu ternyata, mereka mengikuti bernyanyi bersama-sama.

Dan usai si Gondrong bersiap turun, dengan tepuk tangan riuh rendah, salah satu panitia, seorang bapak bertanya “Maaf adik namanya siapa?”
“Nama saya Sierra pak. Dan saya bukan adik Bapak. Buset, tua amat gw jadi adeknya,”ceplosnya begitu saja.

Dan semua yang hadir pun sekali lagi tersenyum dengan respon si gondrong yang tampaknya berhasil memulai awal yang baik untuk acara pentas malam itu.

Kemudian salah satu ibu guru perwakilan sekolah swasta, nampak mendekati bapak – bapak yang kebagian jadi mc tadi, dan membisikkan sesuatu. Sang Bapak mendengarkan dengan penuh seksama.

“Ya terima kasih untuk lagu dari siswa kita tadi, Sierra ya… berikutnya yang akan tampil di tengah – tengah kita adalah siswi salah satu sekolah swasta yang baru saja bergabung, masih kelas 1 adik kita ini, Raine. Kepada saudari Raine waktu dan tempat kami persilakan”

Fiona dan Raine saling tatap lalu mereka berpelukan.
“Waktunya kamu Raine,” ucap Fiona.
“Ya. Waktunya membuka mata.”

dan ia pun berjalan menaiki panggung tersebut dan mengambil mikrofon yang terpasang di stand dan melepaskannya agar bisa dibawa berjalan kesana-kemari.

Raine berdiri di tengah panggung, agak sedikit ke depan. Ia berdiri tepat di bawah sorotan cahaya satu-satunya lampu bohlam yang menggantung di situ. Wajahnya tak terlihat jelas, namun karena ia berdiri agak mendekati bibir panggung, semua melihat sosoknya dengan baik. Dan ia hanya diam menunggu hingga riuh rendah terhenti total dan semua mata terarah padanya.

“Sebelum saya mulai, saya minta anda semua yang ada disini, untuk tidak berbicara saat saya sedang berbicara. Untuk tidak bertepuk tangan atau tertawa atau tersenyum atau menangis, selama dan sesudah saya turun dari panggung ini. Untuk tidak berkomentar apapun baik saat ini ataupun nanti, hingga acara ini berakhir. Kalau semua menerima, silakan anggukkan kepala anda dan saya akan mulai. Bila anda menggeleng, saya akan turun dan acara kita lanjutkan dengan tenang.”

Hening, dan banyak yang saling pandang bingung, tapi perlahan semua orang satu demi satu mengangguk.

“Rasisme.”

“Kau tidak tahu rasanya.”

“Dipandangi dan disangka.”

“Kau bilang aku bukan bagian darimu.”

“Kau bilang aku tidak ada hak di tanah airmu.”

“Kau tidak tahu rasanya.”

“Dipandangi dan disangka.”

“Aku ingin bertanya padamu.”

“Dimana kau saat aku diciptakan.”

“Dimana kau saat aku dilahirkan.”

“Apakah terlihat olehmu, aku memilih, warna kulit yang ini dan jenis mata yang ini.”

“Apakah terlihat olehmu, aku memilih, agar aku dilahirkan di tumpah darah yang ini.”

“Apakah isi bumi ini telah berubah menjadi milik manusia.”

“Dan Tuhan tak boleh lagi berkreasi sesuka hatinya.”

“Rasisme.”

“Kau tak bisa mencintai tanpa mengenaliku.”

“Sungguh aku harap kau bisa mencintaiku tanpa harus mengenaliku.”

“Karna kau bisa melakukan yang sebaliknya.”

“Saat kau membenciku tanpa mengenaliku.”

“Sungguh aku harap kau bisa mencintaiku tanpa harus mengenaliku.”

“Tuhan tidak perlu membujuk agar kita hidup baik.”

“Tapi kenyataan, saat ini kita tidak sedang hidup dengan baik.”

“Aku tidak sedang mengemis padamu.”

“Dan aku tidak sedang bertukar wacana dengan Tuhan.”

“Aku berdoa.”

“Semoga kalian juga berdoa.”

“Agar suatu ketika akan ada masa, kita bisa berpelukan dan berbagi kasih sayang.”

“Tanpa harus”

“Dipandangi dan disangka.”

“Doa adalah awal dari keajaiban.”

“Bukan Tuhan yang membuat keajaiban.”

“Tapi kau dan aku.”

“Kita.”

Usai kata terakhirnya itu, Raine turun dari panggung. Dan tak terasa banyak sekali siswa dan guru yang sudah berlinangan air mata. Raine berjalan pelan ke arah Fiona yang membuka lengan dan memeluknya erat.

“You did it, Raine.” bisik Fiona yang juga menangis.

Perlahan tepuk tangan riuh rendah mulai terdengar bergemuruh kencang. Semua yang hadir berdiri dan memberikan tepuk tangan bagi orasi Raine barusan.

Raine dan Fiona memutuskan untuk meninggalkan keramaian itu, dan masuk ke tenda mereka.

Dari kejauhan, si gondrong Sierra mengamati mereka berdua, dan bertepuk tangan pelan sekali.

Acara terus berlanjut dengan penampil-penampil berikutnya…

–//–

Hari sudah lewat tengah malam, namun Raine belum juga bisa tidur. Fiona dan dua teman lainnya penghuni tenda itu tampak kebal dengan nyamuk dan terlelap dengan nyenyaknya.

Raine memutuskan untuk sejenak keluar tenda menghirup udara segar.

Ternyata masih ada beberapa orang yang justru berbaring di luar tenda menahan dingin yang sangat menusuk raga. Bintang bersinar sangat terang malam itu.

Raine melihat ada sisa bara sedikit di lingkar bekas api unggun tersisa. Ia mencoba duduk disana berharap akan sedikit lebih hangat. Lalu terdengar seseorang menyapa, “Raine.”

“Ya.”

“Kenalkan, aku Sierra.”

“Oh ya, lagu bagus tadi.”

“Ya. Kau juga.”

“Raine, aku ingin ucapkan ini padamu.”

“Apa?”

“Aku sayang kau.” ucap Sierra.

“Apa?” Raine bingung dan tersipu malu.

“Aku sayang kau.” Sierra mengulang perkataannya.

“Kau gila? Kau tak kenal aku.”

“Aku dengar kata-katamu tadi Raine. Tapi aku hanya ingin bilang kau salah. Aku bisa mencintaimu tanpa harus mengenalimu.”

“Sampai kapan?” tanya Raine.

“Sampai kapanpun.” jawab Sierra.

“Bodohnya kau ini.”

Itu kata-kata terakhir Raine pada Sierra malam itu. Dan ia pun dengan sedikit tergesa berjalan menuju tendanya. Hatinya sangat berdebar-debar. Mungkin cinta. Mungkin shock.

Dan setelah malam itu langit belum mempertemukan mereka kembali.
Ada satu cinta yang terjalin malam itu. Cinta yang ingin terjadi apa adanya. Tanpa harus mengenali. Cinta yang ingin mewujud apa adanya. Tanpa pretensi. Cinta yang ingin percaya atas kekuatan cinta itu sendiri. Mereka berdua tahu sama tahu dan memutuskan untuk tak saling mencari.

Hingga nanti bertemu kembali. Sejak saat itulah hati keduanya mulai mengembara, gelisah berada di raga, yang tak kunjung menyatu.

Hingga 12 tahun kemudian.


Waktu Maghrib belum lama berlalu ketika Raine tiba di depan pintu rumah Sierra. Ditekannya bel rumah itu.

Lowry beranjak dari duduk santainya di sofa tamu. Ia cukup kaget juga karena tidak biasanya ada yang bertamu di waktu seperti ini.

“Low, bel Low. Liatin siapa tuh.” Sierra menukas dari dalam kamarnya.

“Iya, ini jg lagi mau gw buka.”

Lowry pun membuka pintu dan mendapati Raine sedang berdiri di muka pintu.

“Cari siapa ya?” tanya Lowry.

“Anda Lowry ya? Mmm.. saya cari Sierra, apa benar tinggal disini?”

“Eh, iya saya Lowry, dan benar Sierra tinggal disini, tapi maaf kalau boleh tahu, si mbak namanya siapa? Temennya Sierra?”

“Saya Raine.”

Mulut Lowry terbuka lebar beberapa saat. Refleks ia menutupnya dengan tangan kanannya. Dan jantung Lowry pun berdegup kencang mendengar nama itu. Nama yang terlalu sering disebut oleh Sierra bahkan dalam igauannya saat tidur. Nama itu, Lowry telah mengira nama itu adalah suatu mitos, suatu legenda. Tapi ternyata, sosok legenda itu benar-benar ada dan hadir di depan pintu rumah mereka.

“Oh ya – ya, silakan masuk mbak, sebentar saya panggilkan.”

“Biar saya disini saja,” ucap Raine.

Lowry pun menghambur kedalam berlari membuka pintu kamar Sierra hanya mendapati Sierra yang masih duduk bersila di sajadahnya mengaji Qur’an. Setelan sholat berupa koko, peci, dan sarung masih menempel belum satu pun yang dilepas.

Lowry masuk dan mengguncang-guncangkan badan temannya itu.

“Eh, udahan dulu baca Qur’annya. Doa lo udah dikabulin. Sono ke depan, ada tamu nyariin elo,” titah Lowry pada Sierra.

“Apaan sih? Siapa sih?”

“Ada udah sono lo liat aja sendiri. Gw sebut entar lo jantungan lagi disini.”

“Ih jadi cowok lebay banget sih lo, Low.”

Sierra pun bangkit perlahan, dan berjalan menuju teras depan. Lowry sedikit mengintil dari belakang, dan mengintip mereka berdua dari kejauhan.

Yang Sierra temukan dan lihat di teras adalah seorang gadis yang berdiri membelakanginya. Gadis itu menghadap ke arah taman.

“Mmm… Assalammuallaikum, siapa ya?”

Sang gadis perlahan berbalik, dan tatapan kedua mata mereka pun bertemu. Setelah 12 tahun lamanya.

“Sierra.”

“Raine.”

Keduanya diam cukup lama. Keduanya saling pandang dan sama – sama meneteskan air mata. Lalu Raine mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman. Sierra pun menyambut salaman tersebut, tapi ia lantas menarik lengan Raine, dan Raine pun jatuh dalam dekapannya, Sierra mendekapnya erat-erat, ia berbisik lirih, “Aku kira aku telah kehilanganmu selamanya.”

Lowry yang mengintip dari dalam rumah pun tak kuasa menahan haru. Ia masuk ke kamar Sierra dan menyeka air matanya.
Sebuah getar SMS masuk ke handphone di saku celananya. Dari Kikan.

: Kak Low, Lagi apa kak? Ke rumah dong. Kl g sibuk ja.

Lowry berpikir bahwa kedua orang ini akan butuh privasi dan ia hanya akan bingung saja kalau tetap di rumah ini, jadi akhirnya ia putuskan untuk mengunjungi Kikan saja yang kebetulan memintanya datang. Disambarnya jaket merah milik Sierra, dan ia pun bergegas keluar rumah.

“Halo” ucapnya saat melintasi Sierra dan Raine yang tengah berpelukan.

Raine yang merasa malu pada Lowry, melepaskan diri dari dekapan Sierra.

“Mau kemana Low? Ada tamu juga,” tegur Sierra.

“Ke Kikan bentar. Dia nyariin gw.” ucap Lowry.

“Oh ya deh.”

“Bro, tolong tutupin yak.”

Lowry pun membuka pintu pagar, dan dalam sekejap mobil yang tadi diparkir disitu, beserta sosok gempal berjaket merah itu pun menghilang.
Tinggallah Raine dan Sierra berdua.

Sierra menutup pintu pagar.

Lalu ia mempersilakan Raine, “Silakan masuk.”

Di depan televisi terhampar karpet bulu lembut yang baru saja beberapa hari dipasang dengan beberapa bantal besar sebagai pengisi ruangan. Sofa pendek tanpa lengan dan meja kecil ada tidak terlalu jauh dari spot itu. Perhatian Raine tertuju pada meja kecil itu, dekat hiasan miniatur sydney opera house dimana ada foto Kikan, Lowry dan Sierra, dalam frame kecil. Di foto itu Kikan menggelendot manja pada Sierra dengan kedua tangan mengacungkan dua jari tanda victory, sedang Sierranya sendiri tanpa ekspresi dan Lowry hanya nyengir lebar. Sierra tengah membuat teh hangat dan di luar gerimis masih turun perlahan.


Kikan sudah menunggu di teras saat Lowry datang. “Kak Low,” ucapnya pelan begitu melihat Lowry mendekat.

Tapi tampang Lowry memang agak kusut, tidak cemerlang bahagia seperti biasanya mengingat kata – kata menyakitkan yang diucapkan Kikan baru-baru ini masih terlalu segar di ingatan.

“Kenapa?”

“Kak Low. Masih marah ya?”

“Nggak. Kenapa emangnya?”

“Kayaknya masih marah.”

Lowry pun diam, garuk-garuk kepala yang tak gatal.
“Kesel sih ada Kan. Tapi yaa .. no big deal lah.” ucapnya.

“Ya udah. Ngomongnya di dalem aja yuk. Kikan dingin disini.”

Lowry pun membatin, “Ya wajar aja dingin, situ malem-malem gini malah pake hot pants ama singlet.”

Setelah mereka duduk bersebelahan di sofa, Kikan mulai lagi menebar pertanyaan absurdnya.

“Kak Low, masih sayang Kikan nggak?”

Lowry malas dengan pertanyaan itu. Cepat dan tegas dia menjawab.
“Ya masihlah Kan, memangnya kamu pikir perasaanku ini lampu kulkas apa, sebentar nyala terang sebentar gelap menghilang?”

“Jangan marah-marah gitu dong Kak Low, kok kayak yang bete gitu sih?”

Lowry berpikir sebentar sebelum menjawab.

Menghela napas dalam-dalam dan ia pun berkata, “Gw bingung sih sebenarnya.”

“Bingung apa kak?”

“Stress gw, bokap gw udah punya anak lagi di Jepang sana. Nyokap gw ngasih gw duit mulu juga tapi kayanya ga ada peduli-pedulinya sama gw. Dan hidup sama karir gw juga standar-standar aja untuk ukuran orang yang makan sekolahan di luar… dan asmara gw .. ya lo tau sendiri .. gitu deh.”

“Terus kak Low maunya gimana? Yang bisa bikin kak Low seneng apa?”

“Gak tau juga sih ya? Gw kebawa suasana sih selama ini. Hidup kurang tantangan emang kalo apa apa ada apa apa ada. Nah ini kemarin gw udah mikir kan ya, gw rasa gw perlu tantangan lebih nih. Ya ibaratnya sirkus yang jalan di tali gitu lo tau gak? Kan biasanya di bawahnya pas latihan ada jaringnya tuh? Nah pas lagi maen beneran kan gak ada jaringnya tuh. Menantang kan?”

“Hah? Maksudnya? Kikan gak ngerti kak.”

“Ya maksudnya, kalo jatuh ya mati sekalian udah. Rumah sakit minimal.”

“Hah? Kak Low mau bunuh diri dengan jalan sebagai pemain sirkus?”

Kesel ga dingertiin juga Lowry tomplokin bantal sofa ke muka Kikan.
“Lo kok, makin masuk sekolah malah makin bolot sih?”

Dan keduanya pun tertawa …

“Sialan. Kak Low sih bahasanya ribet banget. Sampe sekarang juga Kikan gak ngerti maksud Kak Low ngomong tadi apaan?”

“Gw mau bilang ke bokap nyokap gw. Jangan kirimin gw duit lagi. Gw mau lepas dari mereka. Mau mandiri. Gak mau pake fasilitas dari mereka lagi.”

“Mau Mandiri? Emang bisa?” Kikan ngeledek.

“Sialan ni bocah.”

Tangan kiri Lowry baru mau mengambil bantal yang agak jauh di bawah dekat kaki meja tapi Kikan sudah lebih dulu mengambil inisiatif serangan dan satu hook bantal pun mengenai pipi kiri Lowry.

“Haha, curang. Gw belum punya bantal. Bentar-bentar dih curang banget.”

Tapi Kikan terus melanjutkan dan perang bantal pun tak terhindarkan lagi di antara mereka berdua. Beberapa menit kemudian mereka terduduk lagi di spot yang sama dengan napas tersengal-sengal.

Kacamata Lowry sudah agak melorot. Rambut Kikan yang tadinya diikat buntut kuda, lepas kuncirannya dan jadi acak-acakan.

“Kayak ngegebukin Godzilla. Kak Lowry lebar banget. Dulu maminya ngidam hippo kali ya.” komentar Kikan polos.

Lowry tersenyum mendengarnya dan memperbaiki kacamatanya yang sebelah tak menempel di telinga.

“Salah. Nyokap gw dulu ngidam wajan penggorengan martabak. Makanya lebar.”

Dan Kikan pun nambah tergelak-gelak.

“Kak Low,” Kikan mulai pasang tampang serius lagi.

“Apaan,” Lowry sok pasang tampang serius juga.

Diam sesaat.

Lalu terdengar bunyi pelan, “Preet.”

Lowry sontak bangkit dan tertawa ngakak, berlari menjauh sambil menutupi hidungnya.

“Bangke, gw dikentutin. Bau sigung lagi. Parah lo ya ama orang tua.”

KIkan ketawa ngakak sekarang. Puas dia nge’bom’ Lowry dan melihat Lowry yang kabur sekarang berdiri jauh sekitar 5 meter darinya. Tapi tawanya segera sirna, ia memegang perutnya dan menghambur ke kamarnya dan membanting pintu.

Setelah menyaksikan Kikan ngibrit ke dalam kamar .. yah you knowlah ..
Lowry memutuskan untuk ke teras, duduk di kursi teras untuk menghirup udara segar sejenak.

Tak lama Kikan pun sudah ikut duduk juga di kursi teras. Mereka berdua berpandangan dan tertawa lagi.

“Kak Low,”

“Ya?”

“Kikan juga bingung ini. Gimana ya ngomongnya?”

“Ngomong ya ngomong aja lah. Kaya gw tadi. Susah amat sih lo.” ucap Lowry pelan.

“Iya. Kikan juga mikirin sama kaya Kak Low gitu kemarin di kelas. Kak Low tau kan pentingnya pendidikan di luar sekarang ini gimana, nah Kikan juga pengen. Tapi Kikan tuh orangnya gak gaul. Terus terang Kikan takut gak survive di luar kalo sendirian gak sama orang yang Kikan kenal baik.”

“Mmmm .. maksudnya?” tanya Lowry.

“Kak Low kan tau ya Kikan suka … sempet suka … masih suka .. sama Kak Sierra. Tapi kan Kak Sierra gak butuh Kikan sebenarnya. Kikan ..”

Lowry diam saja menunggu nasibnya.

“Kikan rasa Kikan butuh Kak Low dalam hidup Kikan. Tapi mungkin sekarang sih bukan suka yang gimanaa gitu. Ngerti ga sih?”

Lowry berdiri dari duduknya, dan Kikan juga berdiri. Mereka saling berhadapan dan Lowry menggamit kedua tangan Kikan dan menggenggamnya erat.

“Makasih ya. Udah kasih gw kesempatan. Gw seneng banget. Gapapa koq kalo sekarang bukan suka yang gimanaa gitu. Gapapa. Pake aja gw Kan. Pake aja gw. Mulai dari hari ini, butuh apa juga, gw di sebelah Kikan 100 persen. Dan kalo nanti ternyata ada orang yang bisa bikin lo ada rasa suka yang gimanaa gitu, gw siap kalo lo taro gw di bangku cadangan lagi. Tapi gw pastiin, kalo lo kasih gw kesempatan, gak akan gw sia-siain.”

“Maennya yang bagus ya, biar gak ke bangku cadangan lagi.” Kikan tersenyum tapi di sudut mata tetes haru sudah menggenang.

“Jangan jual gw ke klub laen ya coach.” ucap Lowry.

“Gak bakal, selama kamu nggak teken kontrak sama klub laen duluan.” balas Kikan.

“Lah ini sekarang nama klubnya apaan?” tanya Lowry.

Kikan pun menjatuhkan tubuhnya di pelukan Lowry yang gempal itu, Tangannya mendekap erat Lowry.

Kikan berbisik, “Namanya FC Lowry-Kikan.”

Dengan kesepakatan itu kedua sejoli itupun membuka lembaran baru. Gerimis kecil dan angin malam tak kuasa menepis kehangatan yang terpancar dari dekapan mereka.


“Max.”

“Ya, Fio.”

Mereka baru saja menyelesaikan makan malam.

“Aku ada yang perlu dicari. Aku ga bawa apa-apa. Di mobil juga ga ada, soalnya tadinya aku pikir bakal langsung balik Jakarta lagi.”

“Oh ya udah kalo gitu. Ayo kita jalan sekarang.”

Max masuk ke kamarnya untuk mengambil jaket.

Lalu saat keluar kamar, ia mencari Mbok Asih di dapur.

“Mbok, aku sama Fiona mau keluar dulu ya. Ada yang mau dicari.”

“Oh iya, Pak.”

“Mbok ada mau titip apa?”

“Ah nggak ada pak. Keperluan saya masih cukup semua. Lagian nanti saya bisa beli sendiri kalo ke pasar, bapak ga usah repot-repot.”

“Ya udah. Saya pergi ya. Saya bawa motor. Ga bawa mobil mbok.”

“Ya Pak.”

Keluarlah Max dan Fiona dari rumah itu.

“Naik motor kita Max?”

“Mio. Biar romantis. Nih, pake helm kamu. Lagian pake mobil, macet ntar.” Max menyodorkan sebuah helm pada Fiona.

Motor pun segera meluncur dan mereka berdua melesat menembus jalanan Bandung yang malam itu begitu ramai.

Kendaraan lalu lalang dengan kecepatan pelan, tak berkutik melawan arus mobil yang terlampau padat.

Di satu perempatan yang tidak begitu ramai, lampu merah menyala.
Otomatis kendaraan pun terhenti dan motor yang mereka kendarai berada di posisi hentian terdepan.

“Max, aku boleh peluk nggak?”

“Namanya naik motor bukan pelukan, tapi pegangan.” jawab Max seraya tertawa.

“Bedanya apa?”

“Kalau pelukan itu hadap-hadapan.”

“Oh gitu ya, ya udah aku pegangan ya.”

Fiona pun mengeratkan dekapannya ke sang kekasih.

Lampu hijau.

Max menahan rasa senangnya, motor berjalan perlahan.

Dari arah yang dikira sudah aman, satu mobil Feroza hijau gelap melaju dengan kecepatan cukup tinggi melanggar lampu merah.

Max yang kaget, berupaya meloloskan dari tabrakan dengan mengencangkan tarikan gasnya, tapi apa daya, bagian belakang Mio masih terambil oleh hantaman laju mobil tersebut.

Tak ayal, motor, Fiona, dan Max, terhempas beberapa kali terbanting dan setelah beberapa kali putaran baru terhenti.

Semua tampak gelap bagi Max.

Cahaya-cahaya motor dan mobil lain membias blur dan seperti bergoyang tanah ia rasakan.

Pengendara di belakang yang berhenti, mulai keluar dari mobil atau turun dari motornya dan berkerumun mendekat.

Sementara Fiona tampak tergeletak beberapa meter darinya, dan gadis itu tak bergerak.

Max mengacuhkan luka dan nyeri di sekujur tubuhnya, hendak berdiri tapi ia terjatuh lagi karena pandangannya terlampau berkunang-kunang.

“Fiona!” Teriaknya.


Sierra duduk dengan santai di atas karpet bulu. Di hadapannya Raine tengah menghirup teh hangat yang baru saja dibuat.

“Terus sekarang apa?” ucap Sierra.

Raine cuma menggelengkan kepalanya seraya sedikit tersenyum.
“Nggak tau deh.” lalu selang berapa saat ia pun balik bertanya, “Ini gila nggak sih?”

“Kenapa mesti gila? Darimananya?”

“Ya. Aku merasa ini tidak wajar. Hubungan .. mmm .. nope, apapun yang terjadi sejak di perkemahan … sampai kita ketemu lagi hari ini … itu tuh nggak mungkin banget.”

“Nggak mungkin gimana sih. Here we are now. You and me. Both of us. Kita berdua duduk disini sekarang. Bicara lagi. Kenalan. Sesuatu yang belum selesai kita lakukan 12 tahun yang lalu. Bukannya ini waktu yang paling kita tunggu-tunggu dari selama ini? ”

“Ya itu dia. Memang dipikirkan dan dinantikan untuk terjadi. Tetapi pas udah kejadian, kok kayanya ngga masuk akal. Mestinya nggak terjadi. Rasanya terlalu ajaib aja. Kok bisa? Mestinya kita ini nggak ketemu.”

“Mm … maksudmu apa Raine? Mestinya kita nggak ketemu? Dulu? atau sekarang?”

“Sekarang.”

“Alasannya?”

“Ya karena ini ajaib aja .. kaya’ terlalu engga mungkin aja kita bisa ketemu.”

Sierra bisa cepat melihat dan tanggap bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ada sesuatu yang benar-benar mengganggu bagi gadis di hadapannya ini.

“Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Raine? Kau terlihat agak … depresi.” Sierra berucap dengan pelan. Ia tak yakin dengan pilihan katanya.

“Aku belum gila sih, cuma hampir. Ini tuh kaya apa ya. Susah nggambarinnya.”

“Dicoba aja dulu.”

Raine menghirup tehnya lagi sebelum melanjutkan.
“Ok. Aku coba. Ini tuh kaya’ aku ngerasa aku tuh udah menghabiskan waktu selama ini – lebih dari 10 tahun ini – buat nyari kamu – buat ketemu lagi sama kamu. Mmm .. bukan nyari juga sih, enggak pernah justru dengan sengaja mencari. Aku tuh pengennya ketemu gitu aja. Ketemu karna takdir gitu.”

“Nah terus?” Sierra masih menyimak walaupun sebenarnya ia ingin berkomentar tapi ia tahan.

“Ya kaya cerita pencarian harta karun bajak laut gitu .. kan banyak orang yang menghabiskan waktu mereka cari harta karun gitu .. dan gak ketemu-ketemu kan?”

“Terus? Jadi mestinya – no – bagusnya ketemu apa enggak tuh harta karun menurutmu?” Sierra tersenyum.

“Ya aku sih, jujur nggak terlalu peduli sama harta karunnya.”

dan Sierra pun langsung jlebb…

lalu Raine melanjutkan
“Aku sempat berpikir – penantianku untuk bisa ketemu lagi sama Sierra itu, itulah semangat hidup aku – dan aku gak tau kalau ternyata memang bisa ketemu lagi. Terus sekarang apa. I have nothing to keep me going on.”

“Bentar-bentar .. ini masalah perspektif aja sih, menurutku Raine. Menurutmu kalau para pemburu harta karun itu menemukan apa yang mereka cari apa yang terjadi slanjutnya?”

“Mereka akan cari harta karun lain lagi.”

“Jadi mereka gak akan bahagia meskipun mereka sudah menemukan satu harta karun?”

“Ya. That’s what they are. Mereka pemburu harta karun.”

“Dan kamu pikir kamu juga sama seperti itu?”

“Aku nggak bilang aku seperti itu. Aku bilang aku takut aku seperti itu.”

Sierra tau ini akan jadi percakapan yang panjang. Gadis ini 12 tahun terombang-ambing. Entah apa yang ia alami selama itu.

Di hadapannya, Raine sedang sangat cemas. Ia merasa perjumpaan ini tidak seperti yang ia bayangkan. Tapi apapun itu, banyak hal yang harus dikatakannya. Ia memerlukan pertemuan ini, setidaknya untuk bisa melanjutkan hidupnya.


EPISODE 6: ODE TO MY FAMILY – 2 OKTOBER 2009

Understand the things I say, don’t turn away from me,
‘Cause I’ve spent half my life out there, you wouldn’t disagree.
Do you see me? Do you see? Do you like me?
Do you like me standing there? Do you notice?
Do you know? Do you see me? Do you see me?
Does anyone care?

Tak terasa waktu sudah berjalan lebih dari beberapa jam. Denting jam tanda tengah malam berlalu berbunyi beberapa saat yang lalu. Mereka tak lagi duduk berjauhan. Kaki keduanya berselonjor dan punggung mereka bersandar di sofa. Sierra memeluk Raine dengan lengan kanannya, dan Raine juga tak canggung lagi merapatkan tubuhnya pada Sierra. Banyak hal yang telah diceritakan. Mata keduanya menatap langit-langit.

“Sierra?”

“Ya?”

“Teman serumahmu kok gak pulang udah malem gini?”

“Siapa? Lowry?”

“Ya.”

“Dia ke rumah Kikan, ya mungkin hujan malas pulang kesini.”

“Tapi kan dia bawa mobil?”

“Terus? Hubungannya?”

“Dia tidur disana?”

“Ah? Nggak tau juga ya. Biasanya mah nggak.”

“Kamu nggak cemburu? Pacarnya kan mantan kamu?”

“Nggaklah.”

Raine bisa melihat itu benar adanya. Ditatapnya wajah Sierra dalam-dalam. Sierra terlihat sangat tenang di sisinya. Dan ia juga senang berada di dekat Sierra seperti ini.

“Kamu sering kangen aku enggak?” Tiba-tiba Raine bertanya manja.

“Ah? Hmm.. Banget .. Sering banget ..”

“Beneran?”

“Iya.”

“Sayang sama aku?”

“Ya iyalah.”

“Hmm.”

“Apa yang hmm, Raine?”

“Hidup aneh ya? Kalo dipikir-pikir.”

“Ya jangan dipikir makanya.”

“Ih dia mah gitu.”

“Memangnya kamu mikir apa sekarang?”

“Apa kita akan menikah?”

“Ha?”

“Tuh kan. Ish nyebelin.”

“Ya iyalah, kita nikah.”

“Trus tadi, kenapa responnya ‘Ha?’ gitu?” Raine sewot.

“Ya kamu engga ada angin engga ada hujan. Tau tau ngomong nikah.”

“Angin sama hujan jelas lagi kenceng tuh di luar.”

“Ya tadi kamu mikir apa sebelumnya?”

“Ya aku lagi mikir nikah. Emang kenapa kamu takut nikah?”

“Ya aku sih gampang aja nikah.”

“Ha? Gampang? Maksudnya?” Raine bingung mendengar jawaban Sierra.

“Aku kan udah nggak punya orang tua.” Sierra pun menjawab.

Dan Raine pun diam seribu bahasa. Lalu langsung memeluk Sierra.

“Maaf. Aku nggak tau.” pinta Raine pelan.

“Nggak papa,”

“Kamu mau cerita? Kapan orangtuamu meninggal?”

“Aku sama sekali gak tau orang tua kandungku. Aku anak angkat dari kecil. Tahun 2001 orangtua angkatku memutus hubungan keluarga denganku entah sebab apa dan aku diberi semacam uang kompensasi atau bekal seperti itu. Aku tak mau berburuk sangka. Mereka telah sangat berbaik hati membesarkanku selama ini.”

Tapi Sierra berkata seperti itu dengan wajah yang sangat terluka dan ada air mata yang ia hentikan untuk tidak menetes.

“Kamu sendiri gimana?” tanya Sierra pada Raine.

“Keluargaku bernasib jauh lebih buruk darimu.”

Kini giliran Sierra yang terkejut.

“Kau tahu apa yang terjadi Mei 1998? That shit happened to my family.” Raine mengucapkannya dengan wajah datar.

“Saat naas itu keluarga kami sedang di Jakarta. Toko papi dibakar dan dijarah. Ruko kami dirusak dan kami bersembunyi di dalamnya. Salah satu keluarga jauh bahkan ada yang bernasib lebih buruk. Dan sejak saat itu keluarga ku memilih tinggal di Singapura.”

“Dan kau?” tanya Sierra.

“Aku memilih untuk bertahan disini. Aku takkan lari. Aku cinta bangsa ini dan aku bukan pengecut.”

“Kau benar-benar luar biasa Raine.”

“Dan aku benar-benar tak ingin jauh dari tempat dimana kau mungkin berada.” Raine melanjutkan.

Sierra pun memeluk Raine. “Kau kini sudah bersamaku. Sudah sangat dekat denganku. Apa kau senang?”

Raine pun mengangguk perlahan.

“Jadi? Kita berdua tak begitu banyak keluarga sepertinya. Siapa yang akan kita undang ke pernikahan kita?” Tanya Sierra.

“Tentu saja Fiona! Dia sudah seperti saudaraku sendiri! Dan kau bisa undang Lowry dan pacarnya.”

“Kau selalu terlihat berbinar-binar saat menyebut nama Fiona? Ceritakan padaku tentangnya.”

“Ah tidak, aku tak mau bercerita terlalu banyak tentangnya. Dia orang yang begitu baik. Nanti Sierra naksir lagi sama dia. Fiona itu teman sekaligus saudara terbaik yang aku punya dari kecil. Dan dia sekarang lagi di Bandung.”

“Eh, dia di Bandung?”

“Ya, dia menemui seorang kenalanku disana.”

Dan tiba-tiba saja, telpon Raine berbunyi. Nama pemanggil: Max Alfar.

Segera telpon itu pun diangkat: “Ya Max.”

Air muka Raine langsung berubah. “Haah?! Apa?!” Ia menutup mulutnya.

Air mata Raine langsung mengalir deras, “Ya. Aku segera ke sana.”

Lalu setelah menutup telpon, ia mengusap air matanya.

Sierra hanya diam termangu melihat semua hal ini.

“Sierra, antarkan aku ke Bandung sekarang juga.”

“Ada apa sih Raine?” Sierra bertanya sambil bangkit menuju kamarnya untuk bersiap.

“Fiona dan mantanku Max, kecelakaan motor. Fiona meninggal dan Max di rumah sakit.” Raine berucap sambil tangannya terus mengusap matanya yang tak bisa berhenti menitikkan airmata.

“Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un. Fio …” Sierra pun terkejut dan tampak sangat shock.

Ia bergegas dengan cepat masuk ke kamar dan berganti pakaian. Cepat pula ia kirim pesan singkat ke Lowry, “Low, balik buruan, kita ke Bandung, ada urusan darurat. Gw tunggu secepatnya.”

Sierra sudah berganti pakaian dengan baju lengan panjang hitam dan jeans hitamnya. Dilihatnya Raine hanya terduduk dengan setengah melongo. Tampak sekali gadis itu sedang shock berat mendengar berita meninggalnya kawan terbaik sekaligus saudaranya itu.

“Fio, kok duluan.” Raine mulai mengoceh sendiri. Sierra langsung mendekat dan menarik gadis itu ke dekapannya.

“Sabar, Raine. Sabar.”

Dan tak lama terdengar klakson mobil di depan.

“Itu mobilnya datang. Ayo kita berangkat.”

Lowry jadi supir dan Kikan duduk di kursi sebelah pengemudi. Sierra dan Raine bergegas masuk, dan mobil pun melaju dengan tujuan Bandung.

Semua dalam keadaan duka, dan udara seakan memberat di dalam kendaraan itu. Tak ada yang ingin bersuara tatkala kematian telah menyapa. Sedang hidup harus terus berjalan bagi mereka yang ditinggalkan.

Unhappiness where’s when I was young,
And we didn’t give a damn,
‘Cause we were raised,
To see life as fun and take it if we can.


“Chapter ini dipersembahkan khususnya untuk semua yang keluarganya ‘bermasalah’ dan mungkin ada anggota keluarganya yang telah meninggal untuk tetap kuat dalam jalani hidup. Untuk yang baik-baik saja dan masih sehat semua, ketahuilah anda luar biasa beruntung. Sayangi keluarga anda”


EPISODE 7: I GRIEVE – 3 OKTOBER 2009

It was only one hour ago
It was all so different then
There’s nothing yet has really sunk in
Looks like it always did
This flesh and bone
It’s just the way that you would tied in
Now there’s no-one home

I grieve for you
you leave me
‘so hard to move on
still loving what’s gone
they say life carries on
carries on and on and on and on

“Raine…. Kejar aku dong!”

“Raine, lihat, aku punya boneka baru ini.”

“Raine, … kamu suka ya sama cowok yang kemarin itu?”

Tak ada guna semua air mata yang terteteskan di pemakaman Fiona kemarin siang. Tak ada manfaat ia menutupi telinganya. Suara Fiona masih terngiang jelas di kepalanya. Bersahabat sejak kecil, sulit untuk mempercayai kalau kini ia harus menjalani sisa hidupnya sendirian tanpa Fio.

Raine kehabisan tenaga untuk menangis.

Kini Raine hanya duduk termangu di Apartemen Fiona. Seluruh barang-barang masih dibiarkan seperti saat pagi dimana mereka berpisah 2 hari yang lalu, belum ada satu pun yang dibereskan. Semalam Raine terlelap dengan memeluk bingkai yang menjaga salah satu foto dirinya dan Fiona.

Foto itu kini didirikan di atas meja kecil.

Masih dengan mata sembabnya Raine beranjak ke wastafel yang ada di sebelah pintu kamar mandi. Dihidupkannya keran wastafel tersebut, dan ia membasuh mukanya beberapa kali. Sikat gigi dilakukan dengan cepat saja. Dan tak lupa mengikat kembali rambutnya yang berantakan dan agak mengembang.

Usai itu semua, ia masih tak tahu harus berbuat apa, lalu berjalan pelan mengelilingi ruangan tengah apartemen tersebut. Nafasnya masih terasa sangat sesak, maka ia menarik nafas dalam – dalam, menghelanya. Semua adegan yang terjadi kemarin masih terekam jelas dalam ingatannya.

Ruang ICU itu; Max yang wajahnya babak belur tapi tidak menderita luka yang begitu parah, dan Fiona yang masih tetap sangat cantik bahkan dalam kematiannya.

Ia hanya sanggup menggenggam tangan karibnya itu. Berlutut di sisinya dan tersedu.

Tak banyak yang ia ingat dari prosesi pemakaman yang dilakukan di rumah Max. Semua begitu cepat dan ia hanya ingat ia bolak balik pingsan setiap kali tersadar akan kenyataan bahwa Fiona telah meninggal. Ia ingat ramai orang-orang melantunkan semacam nyanyian dalam bahasa asing yang sering ia dengar dari pengeras suara masjid. Ia dan Fiona adalah orang – orang yang kehilangan keluarga, dan oleh sebab itu ia dan Fiona merasa sangat dekat satu sama lain.

–//–

Sebelum pulang dari rumah Max usai acara pemakaman itu, ia ingat Max mendekatinya dan berkata, “Raine kau mungkin ingin tahu ini; kata-kata terakhir yang diucapkan Fiona padaku, ‘Apakah Raine sudah bertemu Sierra?’ dan ia mengulanginya tiga kali.”

Lalu setelah itu Lowry dan Kikan berpisah jalan. Sierra dan Raine kembali ke Jakarta ke apartemen Fiona dengan membawa mobil Fiona yang tertinggal di rumah Max.

Dan ia ingat dengan jelas pertengkaran yang terjadi, yang ia mulai, tepat setibanya mereka berada di dalam ruangan apartemen Fiona.

“Apa kau kenal Fiona?” Raine melemparkan kunci mobil ke sofa begitu saja.

“Maksudmu?” Sierra kebingungan dengan pertanyaan mendadak itu dan nada suara yang tak bersahabat.

“Apa kau kenal Fiona?!” Nada suara Raine melengking tinggi.

“Raine! Ada apa denganmu? Tentu saja aku kenal dia, kami satu kantor.”

“Jangan bohong padaku! Kau pasti kenal dia lebih baik dari itu, ya kan?!” Mata Raine mendelik dengan penuh amarah pada Sierra.

Sierra tahu ia tak bisa memberi jawaban yang berbelit-belit saat ini. Itu hanya akan memperburuk situasi.

“Ya,” Sierra menjawab pelan dan matanya menghindar beradu pandang dengan Raine.

When exactly are you gonna tell me that, kau bajingan pembohong?!”

“Raine. Tenanglah!” Sierra pun meninggikan nada suaranya.

Tapi Raine tak bisa mengendalikan emosinya yang meluap.
“Sejak kapan?!”

“Beberapa hari setelah kita bertemu, 12 tahun yang lalu.” Sierra menjawab dengan pelan.

Oh no, you f***** shit!

Semua mulai menjadi jelas bagi Raine sekarang. Ia menjambak rambut di kepala dengan kedua tangannya, dan menjerit tertahan. “F***, f***, f***!

“Raine, apa yang salah denganmu?”

“Denganku?! Denganku katamu?!” Raine berteriak-teriak histeris.

“Apa kau mengira aku dan Fiona berpacaran? Tidak, ia datang padaku saat itu pertama kali. Ia bilang temannya sangat menyukaiku. Ia meminta kepadaku agar aku jangan berpacaran dengan siapapun. Ia meminta aku untuk tetap mengingatmu. Beberapa kali dalam setahun ia menemuiku. Memeriksaku. Memastikan keadaanku. Menanyakan kabarku. Memastikan apakah aku masih tetap pantas untukmu. Temanmu itu malaikat! Hatinya luar biasa baik!”

Oh, f*** you. Aku tau persis sifat Fiona dan tepat yang seperti itulah yang ada di pikiranku. Dan itu artinya adalah, selama 12 tahun ini aku berilusi memiliki suatu kisah cinta terbaik yang pernah ada dalam cerita. Aku memimpikan suatu perjumpaan kembali denganmu di suatu saat. Aku memimpikan saat perjumpaan itu terjadi kau dan aku masih sama-sama tetap menjaga rasa kita, menjaga hati kita. Aku berkhayal bahwa ada langit – ada tuhan – ada bintang – ada dewa – atau apalah yang menjaga aku punya keinginan. Tapi apa sekarang? Apa? Aku cuma pemimpi kosong, pembual besar yang gak punya cerita apa – apa buat dibanggakan? 12 tahun aku lewat begitu aja – hilang sia – sia.”

“Loh, kok kamu gitu sih? Aku juga tanpa dikasih tau Fiona, dan tanpa disuruh-suruh, juga akan tetap jaga perasaan yang aku punya buat kamu malam itu hingga saat ini. Kok kamu anggap enteng banget sih? Emangnya kamu tau perasaan aku ke kamu gimana? Dan kamu gak bisa bilang bahwa Tuhan gak ada buat menjaga keinginan kamu! Mungkin Tuhan sudah kirim Fiona ke dunia ini, di usianya yang ternyata sesingkat ini hanya untuk jadi Malaikat yang jaga kamu dan jaga keinginan kamu! Jangan egois, Raine sayang.”

Satu cangkir beling melayang dari tangan Raine yang melemparkannya ke arah Sierra. Sierra menghindar dengan refleks dan cangkir beling yang nyaris mengenai kepalanya itu pecah berkeping-keping menghantam dinding di belakang.

Don’t you call me that! Sekarang keluar dari sini. Aku gak mau lihat muka kamu lagi!” teriak Raine.

“Raine! Aku tau kamu shock Fiona meninggalkan kita semua begitu cepatnya. Tapi kamu gak bisa ambil keputusan apapun dalam keadaan kaya gini. Coba kamu bayangin usaha Fiona selama ini buat jaga aku agar tetap setia sama kamu.”

“Ya! Dan aku gak butuh itu. Aku gak butuh kamu dijagain siapapun. Aku mau kamu untuk aku dan tetap untuk aku selama dua belas tahun ini. Tapi yang jelas nggak bisa kaya gini. Ini nggak fair. Ini nggak fair untukku. Keluar Sierra keluar! Aku gak mau lihat kamu lagi. Semua ini sudah usai. Sudah! Usai!” Raine menangis sejadinya.

Sierra menggelengkan kepalanya dan berjalan keluar dari ruangan apartemen Fiona.

–//–

Raine berhenti mengenang kejadian kemarin, mengemaskan barang-barangnya dan menarik kopernya. Dan berlalu dari ruangan itu. Ia mencari arah yang baru untuk dituju. Dengan cinta besar Fiona terasa dalam hatinya, Raine tersenyum saat air matanya kembali menetes. “Terima kasih, Fio, Thanks for everything.” ucapnya lirih.


KEMBARA HATI: EPILOG

Kenyataan sebenarnya adalah Raine sama sekali tak berkeberatan dengan apa yang telah dilakukan Fiona untuknya. Namun, yang tak Sierra sadari adalah bahwa Raine tak lagi merasa berhak untuk berbahagia dalam hidup dengan meninggalnya Fiona. Kenyataannya adalah kepergian mendadak Fiona telah meninggalkan luka yang sangat mendalam di hati Raine, dan ia tak sanggup untuk menahan sakitnya yang teramat sangat. Dan yang Raine ucapkan ‘tidak adil untukku’ sebenarnya, ia merasa ini semua tidak adil untuk Fiona. Ia dengar dari Max, bahwa Fiona kembali menemukan agamanya dan berhasil menemukan cintanya untuk kali pertama, dan di saat itu juga ia harus pergi meninggalkan semua itu.

Yang sebenarnya terjadi adalah Raine merasa sangat hilang arah tanpa Fiona. Dan cerita dongeng kebahagiaan cinta yang dirajutnya di wajah Sierra menjadi hilang tak bermakna dalam sekejap.

Dan begitulah satu kisah cinta sepanjang dua belas tahun menemui akhirnya.

Namun kepergian Fiona tidak sia-sia begitu saja. Ia mengubah hidup semua orang yang ada di sekitarnya waktu itu. Max Alfar tidak pernah mencari cinta yang lain lagi karena ia merasa Fiona selalu ada menemaninya.

Sierra meskipun kehilangan Raine, tak pernah sekalipun ia melupakan kedua sahabat itu. Raine yang sangat dicintai oleh Fiona. Sierra selalu dan masih percaya, suatu saat kelak Raine akan mengakhiri kembara hatinya.

“Kak Sierra, lagi apa?” Kikan masuk ke ruang rekaman itu dan menyapa tersenyum.

“Eh Kikan, gak ini lagi nungguin Lowry aja.”

Membuyarkan lamunan Sierra, Lowry menepuk bahu sobatnya itu.

“Bro, dengerin ini, klien baru dari Kaskus, nanti rekaman disini akhir minggu depan. Coba deh dengerin dulu, asyiknya diapain. Ini CD Lagunya, dan ini print-out liriknya.”

“Lagu Barat?”

“Indonesia.”

“Indonesia ngapain pake print-out lirik segala?”

“Tauk. Dari sananya dikirim gitu.”

“Lo udah denger?”

“Udah. Eh, gw mau jalan dulu sama Kikan yak. Lo ada mau nitip nggak?”

“Nggak. Ati-ati lo.”

“Oke. Bye bro.”

“Bye Kak Sierra.”

“Bye Low, Kikan.”

Sepeninggal mereka berdua, tinggallah Sierra sendiri lagi di ruangan studio itu. Ia sudah beranjak bangkit dari kursinya, dan akan meninggalkan ruangan itu untuk bersiap ibadah dzuhur. Tapi matanya tertumbuk pada tulisan judul lagu di print-out lirik yang ia terima dari Lowry.

Ia jadi sangat tertarik. Dan cd lagu itu pun ia masukkan ke tray audio player yang ada. Dan lagu itu pun mengalun, memenuhi ruangan tersebut dari sepasang speaker besar.

Sierra kembali duduk dan tersenyum, namun air matanya menitik. Ia bisa melihat Raine dan Fiona bersama di suatu tempat.

“CINTA SEJATI”
song & lyric by Iswara (rahan)
performed & produced by Tongam Pardomuan S

Kadang … hal terbaik dalam hidup
Harus dilepas ..
Harus direlakan ..

Tak mudah .. untuk tersenyum disaat ..
Tangis tertahan ..
Saat mengucap .. selamat tinggal

Bersemilah …
Bersinarlah …

Mewangilah …
Sempurnalah …

Kasih … menyimpan satu perih
Yang tak akan hilang
Untuk selamanya …

Kadang … aku sesali
saat bunga tidur melukis
indahmu lagi …

Bersemilah …
Bersinarlah …
(cinta sejati yang pernah mengukir hidupku)

Mewangilah …
Sempurnalah …
(cinta sejati yang tak akan aku miliki)

Bila ..
Oktober datang .. maafkan aku ..
Masih selalu …
Merindukanmu ..

Iswara
0

Leave a Reply

Basic HTML is allowed. Your email address will not be published.

Skip to toolbar