GOSIP

Aku terbangun dengan setengah gelagapan. Mimpi itu aneh sekali. Ini sudah yang ketiga kalinya dalam minggu ini aku memimpikan Widya. Aku duduk sejenak lalu mengambil gelas di sisi tempat tidurku. Aku buka tutupnya lalu meminumnya dan kembali mencoba tidur. Aku masih bertanya-tanya, adakah ini suatu pertanda.

sembilan tahun yang lalu
Widya namanya. Di usia 25 dia sudah menjabat sebagai sekretaris pribadi direktur sebuah bank ternama milik pemerintah. Sebagai wanita karir dia boleh dibilang cukup sukses meskipun banyak pula orang lain yang mungkin sirik dan lalu mencemoohnya. Nada-nada sumbang bilang bahwa dia diangkat sebagai sekretaris pribadi murni hanya karena melihat kecantikannya.

Dengan senyuman yang begitu manis, hidung mancung, tubuh yang langsing dan tinggi semampai, Widya memiliki semua yang bisa didambakan seorang wanita. Prestasi akademiknya memang tidak terlalu cemerlang seperti jenius kebanyakan. Tetapi ia memiliki skill komunikasi yang sangat diatas rata-rata. Kebanyakan pria akan sangat terpesona saat berkenalan dengannya. Widya tidak mendominasi pembicaraan melainkan berusaha untuk ikut bergabung dan terlibat dalam percakapan itu. Hal inilah yang menjadi alasan utama dia diangkat sebagai sekretaris pribadi. Nampaknya Bapak Direktur memang benar-benar kepincut dengan gerak-gerik Widya. Tetapi tetap saja anjing-anjing menggonggong dan Widya sebagai kafilah benar-benar tetap berlalu.

delapan tahun yang lalu
Banyak yang mengatakan pula bahwa Widya sudah menjalin hubungan dengan Bapak Direktur. Hubungan mereka sudah beranjak lepas dari tadinya bersifat hubungan kerja kini sudah mulai mengarah ke hal-hal yang lebih pribadi. Bisa dibilang pula mereka sudah bak sepasang kekasih yang kemanapun pergi akan selalu beriringan. Tiap rapat usai Widya akan tetap menemani Bapak Direktur. Tak jarang didapati oleh karyawan lain Widya menggelendot manja di bahu Bapak Direktur. Ini tentunya jelas membuat orang lain curiga dan berpikiran bahwa hubungan mereka mulai ada apa-apanya. Kalau tadinya Widya dan Bapak Direktur sering berada di tempat yang terpisah kini bahkan datang ke kantor pun mereka bersama-sama. Padahal semua karyawan tahu Bapak Direktur sudah memiliki seorang istri yang sah. Bagaimana mungkin seorang Widya dapat berada dalam mobil yang sama dengan Bapak Direktur setiap paginya? Orang- orang hanya bisa melihat dan memilih untuk diam.

tujuh tahun yang lalu
Kini semua orang sudah benar-benar tahu. Tidak ada lagi rahasia yang tersimpan di kantor itu. Bahkan kurasa seluruh dunia juga tahu. Sejak Bapak Direktur menceraikan istri sahnya, orang-orang mulai menatap Widya dengan sinis. Ia dianggap sebagai biang keladi dari pecahnya bahtera rumah tangga Bapak Direktur. Semua mahluk hidup di kantor itu beranggapan demikian. Termasuk cicak yang ada di dekat lampu di langit-langit ruangan kerja Bapak Direktur, dan juga tak terkecuali kucing malas yang sering bersender dekat keset ‘welcome’. Widya dijadikan terdakwa oleh banyak pihak di ruangan itu. Jika tadinya ia memerankan tokoh protagonis sebagai karyawan baru. Kini dengan cap yang terstigma di dirinya ia sudah jatuh pada peran antagonis. Dunia ini memang hanya panggung sandiwara. Dan semuanya kini nampak kian terbukti, dengan kian memendeknya rok yang biasa ia pakai masuk kerja. Orang menyebutnya rok mini. Benda yang sangat berguna untuk mengundang perhatian laki-laki, dan rasa jijik dari kaum wanita lain, yang melihatnya.

enam tahun yang lalu
Widya sudah tidak kerja lagi di kantor itu. Ia sudah menerima jabatan baru sebagai istri Bapak Direktur. Ia menjadi ibu tiri yang baik bagi anak-anak yang telah ditinggalkan oleh Ibu Direktur sebelumnya. Widya mencoba sepenuhnya berperan sebagai ibu rumah tangga. Alih profesi tentunya bukan suatu hal yang dapat dilakukan dengan mudah. Dengan hati-hati di setiap pagi ia mengoleskan selai nanas atau selai kacang ke atas roti dan membuat roti-roti itu melipat dan menutup sempurna. Sesekali ia belajar untuk memanggang roti dengan toaster. Itu semua dilakukan Widya demi prestasi yang baik dalam jenjang karirnya yang baru Istri Bapak Direktur. Di sela-sela waktu ia ikut arisan di kompleks perumahan itu. Tentunya bersama dengan ibu-ibu bergelang emas dan berpakaian ekstra glamor. Jumlah hadiah kocokan mereka pun tak tanggung-tanggung. 50 juta rupiah akan dibawa pulang jika mendapat giliran tarik arisan. Dan itu memang benar-benar suatu jumlah yang sangat besar di saat kurs satu dollar masih setara 2200 rupiah. Widya toh dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Sebagai konsekuensi dari memperistri Widya, Bapak Direktur terpaksa mencari sekretaris baru.

Lima tahun yang lalu
Widya melahirkan seorang bayi. Aha, andai saja Widya tahu apa yang dilakukan Bapak Direktur di saat persalinannya. Tentu semangat hidupnya tidak akan sebegitu besar dalam konteks untuk melahirkan bayi itu. Bapak Direktur telah melakukan suatu pengkhianatan. Hal yang tak aneh lagi sebenarnya. Sudah sangat dapat diperkirakan mengingat sebelumnya sudah pernah terjadi. Bapak Direktur yang semestinya menunggu dengan gelisah di sekitar ruang bersalin malah melakukan hal yang sangat bertentangan. Ia melampiaskan hasrat birahinya kepada sekretaris barunya di kamar mandi rumah sakit bersalin tersebut. Barulah setelah ia selesai bercinta, mereka berdua (Bapak Direktur dan sekretaris barunya) dengan tampang tak bersalah masuk dan menjenguk Widya dan bayinya. Sungguh malang bayi itu. Kelahirannya di dunia disambut dengan pengkhianatan yang begitu nista. Akan halnya Widya tentu tak terlalu menderita. Ada ajaran yang menyebut itu sebagai karma.

Empat tahun yang lalu
Kelahiran bayi itu membuat Widya tidak terlalu memperhatikan suaminya. Mungkin memang bukan maksudnya mengabaikan kebutuhan suaminya. Widya sering terlalu lelah mengurusi bayi malang nan mungil itu. Widya tidak curiga jika suaminya pulang agak malam dengan alasan sekretarisnya yang baru tidak handal mengerjakan tugasnya, sehingga itu membuat ia terpaksa lembur di kantor. Jika Widya sebelumnya sering menunggui suaminya pulang, maka kini ia sering tidur agak cepat. Sebagai wanita yang tergolong cerdas, Widya bisa dikatakan kurang tanggap. Apa boleh buat, ada pendapat yang mengatakan di atas segala-galanya, anak harus tetap di nomor satukan. Seandainya saja waktu itu Widya tahu. Ada bahaya dalam rumah tangganya. Api yang siap membakar hingga semua luluh jadi debu. Sudah ada asap, tapi Widya tak menciumnya, dan tak melihatnya.

tiga tahun yang lalu
Anda yang pernah melihat sebuah lift yang tidak rusak pasti tahu, bahwa lift itu bergerak naik lalu turun, dan begitulah berulang-ulang. Begitu pula halnya kehidupan. Selalu naik dan turun berulang-ulang. Widya sudah sering naik lift, tetapi dia tidak tahu analogi barusan. Mungkin ia berasumsi bahwa ia adalah Yudhistira dari keluarga Pandawa yang sedang berusaha menaiki gunung yang sangat tinggi. Tak ada kata turun saat perjalanan sudah dimulai. Tapi sebaliknya, lift yang ia naiki sedang turun, dan takdir memang tak berpihak padanya. Ia mulai mencium aroma yang tidak enak. Aroma parfum wanita di baju suaminya. Yang jelas Widya tidak merasa memiliki bau parfum seperti itu. Widya mulai kalap dan menuduh suaminya. Bapak Direktur tidak berusaha mengelak. Ia katakan dengan jelas kepada Widya, kenyataan dari apa yang dituduhkannya. “Ya saya memang berselingkuh jadi kamu mau apa?!”” bentak Bapak Direktur. Tangisan bayi mereka memecah pertengkaran Widya dan Bapak Direktur. Bapak Direktur keluar sambil membanting pintu. Dan di kamar itu, tidak hanya satu orang yang menangis.

dua tahun yang lalu
Widya yang malang sebenarnya sudah mencoba menerima nasibnya. Ia memilih mempertahankan pernikahan itu dengan tak pernah menggugat semua perbuatan suaminya. Ia tahu hal itu hanya akan membuat suaminya jadi naik pitam dan mungkin menceraikannya. Ia berbuat demikian hanya karena ia memikirkan nasib anaknya. Ia tak merasa dirinya terlalu lemah untuk berdiri sendiri. Tapi dengan seorang anak yang kecil, itu berarti dua perut yang harus ditanggungnya. Widya hanya menangis setiap hari sambil memeluk atau kadang saat menyuapi bayi itu. Bayi itu mungkin merasa heran dengan tingkah ibunya, sebaliknya, jadi sangat jarang menangis.

satu tahun yang lalu
Tepat sehari setelah ulang tahun anaknya, Widya mengambil keputusan. Sudah cukup penghinaan yang ia terima oleh Bapak Direktur. Tidak ada kebaikan atau saling menghargai dalam rumah tangga itu. Selama ini ia bertahan itu hanya karena anaknya masih terlalu kecil. Widya tak sudi lagi melihat Bapak Direktur bercumbu rayu di depan dirinya, di rumah dimana dia menjabat ibu rumah tangga. Widya tak sudi lagi menjadi tempat suaminya melayangkan kepalan tangan, atau gamparan ringan yang tidak mematikan. Siksaan itu sudah tak bisa lagi ditolerir, dan Widya membuat keputusan yang semestinya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Kini Widya jadi lebih gampang terkena sakit. Setelah bercerai, dan hidup berdua dengan anaknya kondisi psikologis Widya memang menjadi lebih tegar, tetapi kondisi fisiknya jadi kian rapuh. Namun Widya tetap melangkah meskipun kini sedikit kerut dan keriput mulai menghiasi wajahnya.

sepuluh hari yang lalu
Widya sekarang jadi sangat aktif dalam mencari sosok ayah yang baru untuk anaknya. Ia berdandan begitu menor, tata rias kerjanya bahkan kadang-kadang menyaingi tata rias artis. Tapi kadang-kadang ia lupa memperhatikan bahwa hak sepatunya sudah beberapa kali ditempel aica-aibon. Ia lupa bahwa ada yang mengatakan bahwa melihat nilai keanggunan seorang wanita adalah dari sepatunya. Komunikasinya begitu intens, dan terkadang terlalu tak berjarak. Dan itu jelas membuat semua pria mundur teratur. Apalagi dengan munculnya kerut dan keriput itu. Semestinya Widya lebih bisa menonjolkan sosok keibuannya. Tapi ia kini malah hadir sebagai sosok yang haus kasih sayang. Sehingga terus mencari hal itu dari pria manapun yang ia temui di tempat kerja barunya. Malangnya engkau Widya.

Aku melihat Widya dengan sudut mataku. Ia memang baru dua minggu kerja di tempat ini. Tapi dia selalu berbicara panjang lebar dengan para pria, dan hampir tak pernah berbicara dengan wanita. Ia memang cantik, meski harus diakui ia sudah mulai tua. Aneh sekali, seminggu ini sudah tiga kali aku memimpikannya. Tadi malam aku bermimpi ia menangis begitu memilukan. Itu yang ketiga kalinya. ..ups dia mendekat

Hei Ton, eh gimana ntar malam jadi ada acara nggak? Kita ke tempatku ya, aku udah siapin bahan-bahan buat makan malam. Jangan bilang kamu gak mau cobain loh,” dengan derasnya Widya memborong kata.

Duh maaf Wid, malam ini dan malam besok aku mau pergi ke Sukabumi ama teman-teman jadi kayanya aku ga bisa deh, sorry ya,” aku berbohong.

—14 Juni 2005—

Iswara
0

Leave a Reply

Basic HTML is allowed. Your email address will not be published.

Skip to toolbar