DI LUAR PINTU
Panggil aku Dina. Saat ini aku dalam perjalanan menuju kantor pos untuk mengirimkan paket yang ditunggu Kyan tapi tiba-tiba saja aku merasa agak pusing. Matahari sedang terik-teriknya di atas sana, mungkin ia sedang bermain-main dengan kita penghuni bumi ini. Atau bisa saja ternyata pernah ada seorang anak bodoh yang mencoba menyiksa seekor semut dengan kaca pembesar.
Mengumpulkan titik panas di kepala semut itu. Mencoba melihat apakah semut itu akan meregang nyawa, dan dengan sembunyi-sembunyi menikmatinya. Dan mungkin ada sebagian dari anak itu yang merasuk pada kita semua. Lalu sang semut yang telah tewas itu mempunyai permintaan terakhir yang nampaknya dikabulkan Yang Kuasa. Panas matahari itu kini menyengat kepala kita semua.
Kyan bodoh. Dia pernah datang ke rumahku untuk menawarkan kue buatannya. Hatinya memang baik. Tapi sayang dia bodoh. Aku tak pernah menyukainya hanya karena ia pandai memasak kue. Meskipun hampir seluruh peralatan dan genteng yang rusak sudah menerima sentuhan ajaibnya, Kyan tetap Kyan. Ia bodoh karena entah mengapa aku tak pernah bisa mencintainya.
Kue itu misalnya. Entah apa yang telah diperbuat Kyan pada kue itu. Ia yang membikinnya jadi separuh jalan mungkin bisa juga kalau disebut ia Ayah dari kue itu.
“Dimakan dong Na,” pintanya
“Ngga mau, kuenya kebagusan … Mendingan Na jadiin pajangan aja,” jawabku serius.
Kue ulang tahunku itu berakhir di tong sampah setelah menjamur dan bentuknya pun tak indah lagi.
Zap! Entah mengapa peristiwa itu terlintas kembali di benakku. Aku juga heran mengapa begini. Persis di saat aku harus mengirimkan paket penting ini. Uuh … kepalaku semakin pusing. Aku merasa gugup saat tanganku mengeluarkan sesuatu dari kantong blazerku. Oh, ternyata sebuah telpon genggam. Lalu tanpa menunggu lebih lama jemariku memencet nomor telpon Kyan dan menempelkan telpon tersebut erat-erat di telinga kananku. Dari dalam kantong kertas yang kupegang dengan tangan kiriku terdengar dering telpon. Bahu kananku refleks bekerja sama dengan leher yang merapat. Menjaga agar telpon di telinga tak jatuh. Tangan kananku merogoh kantong kertas dengan gerak terbatas, benar-benar bukan suatu pemandangan yang anggun. Tapi pemandangan aneh itu tidak bertahan lama. Aku sekarang dihinggapi keheranan. Mengapa telpon genggam milik Kyan ada di kantong kertas ku? Matahari semakin terik dan aku semakin merasa pusing.
———-
Langkahku kupercepat. Aku sudah tak tahan lagi. Panas ini tak lagi dapat ditolerir. Ingin rasanya aku melepas semua busanaku dan mencebur ke kolam renang. Uuh … disaat seperti ini pasti akan terasa nikmat sekali. Tiba – tiba saja kakiku berhenti dan menghentikan juga angan-angan aneh tentang berenang tanpa busana.
Aku menengok ke sebelah kiri. Lima buah anak tangga kecil akan mengarahkanku persis di hadapan sebuah pintu besar berwarna cokelat dengan tulisan berukir di atas pintu tersebut. GALERI MATAHARI. Papan penjelas di kaki anak tangga bertuliskan “Pameran GALERI MATAHARI hari ini menampilkan karya dengan tema APAKAH HATI HARUS PUTIH?. Buka setiap hari mulai pukul 08.00 – 14.00.” Hmm … sudah lama sekali aku ingin masuk ke tempat konyol seperti ini. Dan jika mungkin dilanjutkan dengan melecehkan penjaga lukisan saat ia sibuk sok menjelaskan arti sebuah lukisan. Kupikir sebuah rabaan halus di selangkangannya akan membuyarkan penjelasannya. Dan ia akan sulit berkata-kata, menatapku dengan pandangan setengah tak percaya. Mungkin ia akan mengira aku seorang maniak, atau mungkin juga ia akan menatap pengunjung lain di belakangnya (yang bisa kita pahami sebagai ketakutan pada istrinya). Bikin bingung saja. Mengapa kita harus patuh pada aturan-aturan tertentu? Suami harus setia pada istri misalnya. Bodoh sekali. Lagipula jika memang ada istri yang selalu mengawasi di balik punggungnya, semestinya aku yang takut kena gampar, bukan dia yang semestinya menikmati saja posisinya sebagai korban. Ah, aku segera masuk ke dalam Galeri Matahari. Tak sabar ingin melihat tampang korban khayalanku.
Begitu masuk dalam ruangan pertama, aku terhenyak. Ruangan dalam Galeri Matahari ternyata sangat luas dan langit-langitnya tinggi sekali. Pilar-pilar putih menjulang menopang kokoh bangunan tersebut. Udara sejuk serta wangi aneh terpancar di seluruh ruangan. Cahaya remang-remang minimalis menyinari dari atas tiap lukisan yang disajikan. Nikmat sekali rasanya berada di ruangan itu. Tiba-tiba saja korban khayalan tersebut tersingkir dari harapanku yang begitu kuat dari detik sebelumnya. Aku tak ingin ada figur sebodoh itu di tempat seindah ini. Aku tak percaya manusia itu lemah. Yang aku tahu manusia bisa memilih untuk menjadi manusia. Atau sekedar untuk menjadi bodoh. Manusia yang mendesain bangunan ini pasti tidak memilih pilihan yang kedua.
Wah … lihat di ruangan ini juga ada kupu-kupu dan kunang-kunang. Mereka nampak mondar-mandir kebingungan. Jumlahnya ratusan dan ada juga yang terduduk lesu di pojokan. Terdiam hampa di lantai marmar, di bingkai lukisan. Indah memang jika dilihat sekilas. Tapi ini terlalu berlebihan, setidaknya perasaanku mengatakan demikian. Seperti melihat keindahan artifisial dan keindahan natural saling berbenturan dan akhirnya justru membunuh semuanya. Segala sesuatu yang berlebihan memang sukar untuk dinikmati.
———-
Kyan bodoh itu misalnya. Ia pernah mengecupku di kening dan menyelimutiku. Saat itu aku pulang dalam keadaan mabuk usai bercinta dengan Digo. Digo bahkan langsung tancap gas usai aku membanting pintu Corolla-nya. Kyan sebaliknya bangkit dari duduknya di tangga beranda depan. Entah sudah berapa lama ia duduk di situ. Kyan memapahku dengan sangat lembut sekaligus terasa amat jantan dalam waktu bersamaan. Ia melakukan ritual “menyambut wanita pulang mabuk” dengan sangat sempurna. Pure Excellent. Tapi ia melakukannya dengan berlebihan, pada akhirnya. Setelah melepaskan kompres di keningku, Ia mengecup indah di kening, membenarkan letak selimut dan berkata, “Aku sayang kamu Na.” (Aaargh … dasar bodoh. Pipiku bersemu merah. Mengapa sih Kyan? Kamu tuh udah sempurna. Mengapa harus berlebihan? Mengapa harus mengucap sayang? Aku tuh udah tau Kyan, udah ngerti banget. Memangnya mentang-mentang aku dulu agak tomboy kamu kira aku ngga punya perasaan apa? Sekarang kan aku susah jadinya. Mana mungkin aku bisa tidur sekarang. Aku tuh suka banget ama ‘semua tentang kita’ selama ini. Kita bisa saling sayang tanpa harus bilang. Tanpa harus terjebak dalam formalitas, ritual, tetek bengek percintaan yang akhirnya cuma bakal bikin sayang kamu ke aku jadi aneh.)… dan sesudah itu Kyan mematikan lampu terang dan menyalakan lampu tidur. Pintu tertutup. Aku takut banget. Aku takut aku ngga bakal pernah bisa bilang sayang ama dia.
Aduh, kenangan Kyan lagi yang membersit tanpa sopan santun. Setelah itu, aku berjalan semakin dalam, memperhatikan lukisan demi lukisan. Ada lukisan anjing tertawa, lukisan buah penuh ulat, lukisan awan yang indah sekali dengan petir yang tampak nyata.. aku bergerak ke lukisan di sebelahnya. Aaargh … Bodoh!! Mengapa bisa ada lukisan wajah aku disini? Judul di sebelah kiri lukisan itu “Dina Raina Kyan at 65”.
Gila. Siapa yang telah mencipta gambar ini? Pasti ia datang dari Masa Depan. Dan ini lagi, bikin tambah bingung saja. Namaku kan hanya Dina Raina. Mengapa di sini tertera Dina Raina Kyan? Sosokku di lukisan itu sudah penuh keriput. Aku berhadapan dengan kue persis seperti kue ulang tahun yang pernah masuk tong sampah. Hohoho.. setelah kuperhatikan lebih seksama, nampaknya selera humor si pelukis boleh juga. Mata si nenek (yang kata si pelukis adalah aku di usia 65) dilukis buta. Mau mencoba mengutuk dan menakut-nakuti ku di saat yang bersamaan ya …, pikiran nakalku kembali keluar. Sosok korban khayalan yang tadi telah kusingkirkan kembali muncul, tapi kali ini nyata. Aku harus mengorek informasi tentang siapa yang telah melukis lukisan bodoh tentangku ini. Aku dekati si penjaga galeri dengan langkah pasti dan tekad bulat.
“Maaf Pak, saya ingin tahu, siapa ya pelukis lukisan yang ini,” ucapku seraya menunjuk gambar bodoh itu.
“Oh, ini buatan Bapak Kyan Dinata, bu” jawab si korban khayalan.
(Keganjilan ini seakan hendak melumatku. Pelukisnya Kyan!)
“Terus, apa bapak tahu, nenek ini … siapa ya?” aku mencoba agar terdengar natural.
“Nenek ini …, katanya sih istrinya Pak Kyan. Istrinya ini meninggal dua tahun yang lalu,” jawabnya pelan.
(Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kalau ini memang cuma mimpi, sebaiknya seseorang segera bangunkan aku. Mimpi ini mulai terasa tidak menyenangkan)
“Oh begitu, lantas apa ada karya Bapak Kyan yang lain? Saya sangat tertarik untuk membelinya,” nada suaraku mulai terdengar aneh dan tidak simpatik.
“Oh, ini pameran tunggal bu. Semua karya lukisan yang ada di sini adalah karya Pak Kyan. Tetapi putranya lah, Pak Rava yang mengorganisir event Pak Kyan di Galeri ini.” Si korban khayalan menjelaskan singkat.
“Ya … terimakasih Pak,” jawabku sebelum beranjak pergi.
———-
Kini aku terduduk lemah di pojokan Galeri Matahari. Lemas. Aneh sekali galeri ini. Mana mungkin aku disebut-sebut meninggal dua tahun yang lalu? Kyan Dinata seorang pelukis? Bodohnya lagi, Rava adalah nama calon anakku yang tersembunyi rahasianya erat-erat dalam diary. Hmm … aku baru tersadar akan satu hal. Wangi aneh ini adalah aroma parfum Kyan yang selalu kuledek sebagai ‘selera feminim yang ganjil’. Semakin aku menyadari bahwa keganjilan ini berkaitan satu sama lain semakin bergidik aku membayangkannya. Ingin rasanya sekarang aku berteriak sekuat tenaga. Tapi, aku malah limbung. Aku tergeletak lemas di lantai. Pandanganku berkunang-kunang. Oh Tuhan, apa aku benar-benar sudah mati? Memoriku berkelebat dengan cepat. Aku ingat sekarang … anjing tertawa yang terdapat pada lukisan pertama tadi adalah anjing Kyan yang mati. Aku dan Kyan memberi upacara penguburan sebagai penghormatan terakhir untuk anjing tersebut. Waktu itu aku berusia 7 tahun dan Kyan 10 tahun. Dan dia mulai menangis …
“Na, Kiel pasti bahagia kan ya? Biar gak sama Kyan lagi Kiel pasti bahagia kan ya?” serunya dalam isak tangis sendu.
“ … Iya Kiel pasti ngga pa apa koq, Kyan jangan nangis dong?” jawabku..
“Kiel masih bisa ketawa kan ya? Dia ngga pa apa kan ya Na?” ulangnya lagi.
“Iya Kyan …,” jawabku lirih.
Kami tak bicara lagi hingga pemakaman itu selesai. Dan lukisan buah penuh ulat adalah caranya menyepakati pemikiranku. Aku sedang cemburu pada Digo saat itu. Aku curiga Digo selingkuh dengan wanita lain. Aku pernah bilang pada Kyan kalo pengkhianatan itu serupa dengan buah penuh ulat, terlihat indah dari luar namun di dalamnya penuh kebusukan. Kyan diam saja waktu itu. Tapi beberapa bulan kemudian ia menghadiahiku lukisan tersebut, yang lalu kubiarkan tak terawat di gudang. Uuh … apakah aku benar-benar sudah mati dua tahun yang lalu? Aku takut, Kyan.
———-
Nampaknya aku jatuh tertidur di ruangan itu. Saat aku bangun ruangan itu gelap gulita. Leherku pegal sekali. Aku mencoba berdiri tegak dan meregangkan tubuhku yang kaku. Ternyata aku, Dina Raina, masih hidup sehat walafiat tak kurang suatu apapun. Tapi keganjilan seakan masih belum hendak berhenti menyerangku. Ruangan gelap itu tiba-tiba penuh dengan gemerlap ratusan mungkin ribuan kunang-kunang yang datang entah darimana asalnya. Mereka seakan menuntunku mengikuti mereka. Aku berjalan melewati lukisan demi lukisan hingga akhirnya kunang-kunang itu berhenti di sebuah lukisan dan menerangi lukisan tersebut.
(DIARY NA RAINA 11-10-2006 )
Setengah sebelas malem
Dear Diary,
Seneng banget deh, hari ini Na bisa jalan bareng Digo. Kita jalan-jalan sampe capek, having fun, mabuk, pokoknya Na ngerasa sexy abis deh kalo lagi bareng Digo. Tapi ya, ada satu hal yang bener-bener bikin Na bingung.
Kyan.
Iya Kyan bodoh itu. Kenapa sih diary? Kenapa Kyan mesti nungguin Na pulang? Sejak mama ama papa meninggal, kenapa sih Kyan mesti ngurusin Na? Lagian dia kan bukan siapa-siapanya Na.. Tapi dia slalu baek buat Na, slalu ada buat Na..
Malam ini, Kyan bilang sayang ke Na Diary, jangan ceritain ke Kyan ya .. Kalo Na sebenarnya ga mungkin ada hati buat Kyan. Na, sayang banget ama Digo.. Aduh kalo Na sampe bikin Kyan sedih malem ini aku ga tau deh
Lukisan itu hanya berupa gambar hati biasa saja. Sekilas tidak ada yang istimewa. Tapi kunang-kunang yang sekarang sudah seolah menjadi lampu halogen tak beranjak dari sana. Aku menunggu, sambil mencoba mengingat-ingat, tapi lukisan hati ini rasanya tak pernah ada dalam kenanganku. Waw! Lukisan hati tersebut perlahan-lahan bersinar putih terang. Aku menatapnya dengan rasa tidak percaya. Dan jika keajaiban memang harus terjadi hari ini, sekaranglah saatnya, pikirku. Seluruh tubuhku seperti terangkat ke atas oleh tenaga tak terlihat. Perlahan kakiku melayang dan tak lagi menginjak lantai marmar. Lalu kepalaku tersedot masuk ke dalam sinar putih hati tersebut diikuti seluruh tubuhku dan aku pun menghilang.
Aku melayang. Aku berada di kamarku. Aku menatap diriku sedang menulis diary. Aku ingat betul ini adalah malam saat Kyan mengucap ‘sayang’ padaku. Saat itu, untuk pertama dan terakhir aku menulis aku sayang Digo dalam diary. Aaargh! … Dina yang naif. Mau sampai kapan kamu percaya kalau Digo itu lelaki yang tepat buat kamu? Dia itu manfaatin kamu. Aku sibuk mengutuki betapa naifnya ‘diriku’ saat itu. Sulit dipercaya rasanya, cahaya hati di Galeri Matahari itu melemparkanku ke titik ini. Apa yang bisa kulakukan atau tepatnya apa yang harus kulakukan sekarang? Kyan! Aku harus melihat Kyan!
Kyan ternyata tak pernah pergi jauh dariku malam itu. Ia ada di sana. Di luar pintu. Ia terduduk dan menangis di depan pintu kamarku. Kyan yang selama ini aku kenal sebagai figur ‘pria yang bisa diandalkan’ ternyata tak pernah kuasa melawan beban hatinya. Aku tau aku bodoh karena telah menghancurkan hati seorang pria. Tapi aku senang, aku tahu dengan demikian aku selalu hidup di hatinya. Dan aku bahagia karena aku tau jawabannya.
———-
Bandung, Kompas 12 Desember
Seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta bernama Dina Raina meninggal kemarin siang (11/12) di depan Galeri Matahari di jalan Gatot Subroto. Hasil autopsi menyatakan adanya kelainan jantung yang telah lama diderita. Menurut keterangan saksi mata, mahasiswi tersebut pingsan begitu saja dibawah terik matahari …