DI BAWAH BULAN PINGGIR TAMAN

You could be happy and I won’t know
But you weren’t happy the day I watched you go
And all of the things that I wish I hadn’t said
You could be happy I hope you are

Lagu itu masih mendengung …

Udara dingin masih menemaniku. Memelukku dengan erat setelah lelah berpacu dengan tubuh indah yang gelisah. Udara tak berbicara. Hening. Asap rokokku seakan tak kuasa menghangatkan rongga dada. Masih dingin hingga ke sumsum. Keringatku tak hendak membeku. Sementara itu cengkraman awan pada bulan jingga nampak perlahan mulai terlepas. Kembali ke tanda tanya dalam benakku.

“Kuharap kamu tahu siapa aku .. setidaknya kamu bukan pria yang sedang mabuk dan saat bangun pagi nanti .. kamu sudah tak tau dimana kamu sekarang.” Wanita itu terus menatap ke langit-langit sembari aku bekerja di dadanya. Suaranya sedikit gemetar, parau, dan tak bertenaga. Aku tahu dia pasrah. Tangannya meraih rambut di kepalaku, menariknya ke atas dengan sentakan seakan ia ingin mencerabut akarnya. Aku tak perduli. Kuturunkan sedikit tanganku untuk lebih merendah dan agak ke belakang, agar berat tubuhnya dapat tertopang, karena aku tau persis tak lama lagi kakinya akan enggan berpijak.

“Singgahi aku disana Kar, aku tahu kau tak ingin menunggu lebih lama lagi.” Suaranya semakin pelan. Tapi gerakan tubuhnya semakin sulit diterka. Menggeliat kesana kemari seperti hendak melepaskan keangkuhan dan keanggunan yang menjadi satu dalam jalinan syarafnya.

You made me happier than I’d been by far
Somehow everything I own smells of you
And for all tiniest moment it’s all not true
Just do the thing that you always want to
Without me there to hold you back don’t think just do

Matanya mendelik ke atas, lalu menatapku dengan pandangan tak percaya. Padahal aku tak berbuat apa-apa. Aku hanya sedang bekerja di bawahnya. Bekerja dengan perasaan ragu dan bimbang. Tak yakin terhadap diriku sendiri. Perasaan naif yang sama seperti yang selalu hinggap. Yang selalu hinggap saat usai meletakkan sejumlah receh di tangan pengamen. Apakah ketulusan, ataukah gestur imbal-balik, mungkin takut akan karma, bisa jadi karna tatapan lawan jenis yang mencoba memberiku penilaian. Aku adalah pihak yang gagal dalam kehidupan sosial. Dan perasaan yang itu-itu juga kian meraja. Membuatku enggan meneruskan cerita indah ini. Kukecup keindahan itu. Hening sesaat lagi antara kami. Hening yang sesak. Karena kata-kata dalam benak tak lagi mampu bergerak lewat bibir kami.

And for all tiniest moment its all not true
Just do the thing that you always want to
Without me there to hold you back don’t think just do
More than anything I want to see you girl
Take a glorious bite out of the whole world

Semuanya berawal dari senja itu, senja pulang kuliah. Saat aku sedang melepaskan kunci pengaman motor, dibelakangku seorang gadis manis berdiri. Keanggunan yang tak pernah kulihat selama hampir 5 tahun aku di kampus ini. Aku mengenalinya. Dia baru masuk semester ini. Saat Ospek kemarin, ia dan teman-temannya nampak sibuk ‘mengganggu’ kakak tingkat.

“Kamu siapa, mau apa?” ucapku sembari mengangkat kaca helmku agar dapat melihatnya lebih jelas.

“Antarkan aku pulang ya Karra? Supirku mengantar Papa dan Mama ke Jogja. Arman sedang naik gunung.” Matanya terangkat ke atas menantikan gestur kesetujuanku.

“Mestinya pasang iklan mbak kalau mau cari supir baru.” Aku tak perduli.

Kunci pengaman motor kutaruh di dalam tas pinggangku. Kaca helm kututup. Aku mulai menghidupkan mesin motor. Tapi tiba-tiba gadis itu duduk di bangku belakang. Aku menoleh kaget, karena entah kapan dia sudah mengenakan helmnya. Ia menunjukkan layar handphonenya padaku. Di layar itu tertulis, KARRA, AKU SAYANG KAMU. Yang kulihat saat itu di wajahnya adalah senyum terindah yang pernah aku lihat. Dan motorku pun melaju kencang menembus senja. Senja pulang kuliah.

Aku berdiri dari posisiku sebelumnya. Kuambil bathrobe yang terserak di lantai. Kupakaikan perlahan dari tangan kiri dan barulah tangan kanannya. Kini bathrobe itu kembali berfungsi sebagai busana. Menutup indah bentuk tubuh yang hatinya sedang rapuh itu. Kukecup keningnya dan turun ke matanya. Lalu aku bawa ia ke atas ranjang dengan anggun pula. Kuletakkan ia perlahan hingga ia terbaring sempurna. Aku mencari celana panjangku yang terjatuh dekat pintu kamar mandi. Mengenakannya. Rokok di atas meja kunyalakan, kuhisap dalam-dalam. Dan aku melangkah keluar melalui pintu samping. Menuju taman.

“Kenapa sih Kar?! Apa aku kurang cantik buat kamu? Apa yang ..?!”

Kata-katanya terhenti. Tercekat oleh isak tangis yang lepas seketika. Ia tersedu-sedu di atas kasurnya. Sementara aku terus melangkah hingga akhirnya aku terduduk.

Di bawah bulan pinggir taman. Aku ingin pulang.

Ia terlalu indah.

You should be happy no matter what …

Lagu itu masih mendengung …

(in memoriam of my smoking habit)

Iswara
0

Leave a Reply

Basic HTML is allowed. Your email address will not be published.

Skip to toolbar