PDPDSH

““Masuk, pintunya enggak dikunci,” suara dari dalam menitah.

Aneh sekali. Padahal aku belum mengetuk.

“Rahan, kan? Silakan duduk di sofa itu,” suruh si tuan rumah.

Aku pun menuruti saja. Duduk di sofa empuk, yang kupilih adalah bagian tengah. Tuan rumah adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya denganku. Aku seperti familiar dengan orang ini meskipun aku belum pernah bertemu dengannya. Dia sedang membuat kopi sepertinya, maksudku menyeduh kopi yang biasa diiklankan di televisi. Lalu ia pun meletakkan kedua cangkir kopi hitam panas tersebut di atas meja.

“Kopi saja ya, saya tidak minum teh,” ucapnya tanpa ditanya.

Lalu ia mengulurkan lengannya untuk jabat tangan. Aku menjabat tangannya perlahan.

“Bernard.”

Kuanggap itu namanya, dan aku tidak menyebutkan namaku, karena aku anggap dia sudah tahu namaku.

“Bagaimana tadi perjalanan kesini? Gampang dicari kan alamatnya?”

“Gampang, mas Bernard. Begitu saya bilang Bernard yang rumahnya di belakang kompleks kuburan, orang-orang sekitar sini pada tahu semua dan menunjukkan jalan setapak itu.”

“Iya lah, semua orang disini kenal sama saya. Siapa yang ga kenal Bernard si Pemberani?” ucapnya menyombongkan diri.

“Hah? Itu nama julukan mas?”tanyaku kaget.

“Iya. Kenapa? Kamu pernah dengar tentang saya?”

“Ah enggak mas.. enggak, enggak pernah,” aku berbohong.

“Wah, kamu bohong barusan ya .. hayo ngaku .. jangan main-main kamu, masa ganteng-ganteng pembohong.” Ia berkata demikian sambil senyum.

Sial. Darimana dia bisa tahu kalau aku berbohong barusan ya? Siapa juga yang ga pernah dengar cerita Bernard si Pemberani. Orang yang berprofesi sebagai penggali kuburan sekaligus kuncen kuburan sejak usia 13 tahun. Cerita itu aku dengar waktu SMP dari temanku. Waktu itu lagi ngetren zaman telpon setan. Dari telpon umum kita bisa menelpon nomor .. sudah lupa berapa nomornya .. nah di nomor itu nanti di ujung sana ada suara setan yang menangis. Katanya sih itu cuma bohong-bohongan. Sampai suatu ketika, suara telpon itu memanggil-manggil nama Bernard. Aku ga ingat jelas gimana ujung cerita itu.

“Iya mas, pernah dengar dulu waktu saya masih kecil,” aku tersipu merasa tidak enak ketahuan berbohong.

“Ah, emangnya sekarang sudah besar ya? Sudah merasa tua ya?” Bernard menyerempet lagi dengan pertanyaan nyelenehnya.

“Enggak mas, biasa aja.” Aku ga tau mesti jawab apa.

“Dulu memang, yang didengar cerita yang mana?”

“Yang tentang telpon setan mas,” aku engga berani berbohong lagi.

“Oh kalo itu bohong.”

“Hah? Sumpah mas, kali ini saya engga bohong.” Aku berkeras setengah ketakutan. Seperti takut bakal disihir jadi kodok atau yang menyerupainya.

“Bukan begitu, maksud saya itu cuma cerita bohongan. Wong, yang nelpon itu saya koq. Hehehe.” Si Bernard malah tertawa nggak jelas.

Aku melamun sesaat. Ini orang maunya apa sih, suruh aku datang kesini segala. Orang ini agak-agak aneh. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang buruk.

Tiba-tiba dia memecahkan lamunanku.

“Oh gitu ya? Menurut kamu saya aneh? Kamu bingung saya mau apa suruh kamu datang kesini? Tidak, tenang saja, tidak bakal terjadi sesuatu yang buruk koq.”

Anjrit! Mampus! Dia bisa baca pikiran gw. Gw kaget setengah mati, sampe seluruh bulu kuduk berdiri.

“Wah om, ampun om, saya jangan diapa-apain om.” Engga tahu kenapa, tiba-tiba saja aku memanggil Bernard dengan sebutan om. Sumpah takut banget rasanya.

“Ayo diminum dulu kopinya, siapa tau ini jadi minuman terakhir kamu. Hehehe” Bernard terkekeh lagi.

Wah. Beneran nih, jelek nih kalo kaya gini caranya. Berurusan sama orang kaya gini, kabur juga percuma kayanya. Aku menyeruput kopi hitam itu dengan malas.

“Iya, ga usah kabur lah. Ngapain juga kabur-kabur segala. Percuma.”
Andai ini di komik-komik jepang, karakterku pasti sudah ada keringat dingin segede Gaban di keningnya.

–//–

“Rahan. Kamu sukanya ngapain sih?”

“Kerja mas, eh om, cari duit,” jawabku gugup.

“Buat apa?”

“Buat biayain keluarga om. Adik saya masih kecil-kecil.”

“Oh gitu ya? Terus suka apa lagi yang lain?”

“Hah? Eh apa ya? Internetan om, Ngaskus… ngaskus, browsing google.”

“Hoo.. sama saja kaya saya ya. Disini saya juga internetan.”

Wah songong bener nih mahluk aneh satu, sinyal internet mana ada yang mau masuk belakang pekuburan begini. Aku nyolot dalam hati.

“Eits, anda sopan kami segan,” ucapnya memperingatkan.

“Iya.. iya .. maaf mas Bernard, eh om.”

“Kalo kamu kerja itu, dapat uangnya banyak engga?”

“Engga om. Sedikit, pas-pasan.”

“Sedikit, atau pas-pasan itu berapa?”

“3 jutaan sebulan.”

“Memang kamu maunya berapa?”

“5 jutaan sebulan. Biaya sekolah mahal sekarang.”

“Hm… begitu ya. Kamu mau ngga dapat uang banyak?”

“Mau.. mau banget, tapi yang halal tentunya. Saya takut sama uang haram. Ngga berkah om.”

“Hmm.. memang halal dan haram itu tau darimana?

“Dari cara dapatin uangnya lah. Kalo mencuri atau merampas hak orang lain, itu haram.”

“Oh, bukannya itu dosa ya?” ceplos Bernard lagi.

“Dosa dan haram, om.” kataku.

“Ya.. ya .. ya ,” ia manggut-manggut seperti orang tua.

“Selain kerja itu, kamu ada lagi pemasukan yang lain?”

“Ada om, buka lapak di kaskus om.”

Dia menatapku sebentar dengan tajam. Lalu kembali berbicara tanpa menatapku.

“Ya.. ya, memang itu engga haram ya? Kan film dan benda-benda itu, bukan kamu yang buat.”

Aku cuma nyengir kuda.

“Hm.. standar ganda ya.. Ya .. ya .. saya mengerti, manusia memang biasa begitu.”

“Nggak standar ganda om. Cuma …”

“Cuma apa?” tanyanya serius.

“Banyak yang butuh om, dan semua orang juga kaya gitu.”

“Ya … ya .. Kira-kira kalau adik kamu tahu kamu kasih dia uang haram tiap bulannya gimana?”

“Mungkin dia marah, om..”

“Mungkin?”

“Ya, namanya zaman sekarang om, yang penting uangnya, buat makan, buat bayar sekolah.”

Bernard cuma geleng-geleng kepala mendengar jawabanku. “Saya kecewa,” ucapnya.


Lalu kami diam beberapa lama. Ia hanya diam 5 menit. Tapi waktu terasa berjam-jam bagiku.

–//–

Ia bangkit dari duduknya, menutup tirai dan jendela, serta menyalakan lampu-lampu, karena hari sudah gelap.

“Saya menyuruh kamu kesini, mau memberi kamu suatu pekerjaan.”

“Pekerjaan? Pekerjaan apa om?”

“Bagaimana menurut kamu? Mau? Ini pekerjaan bagus. Gajinya 6 sampai 7 juta sebulan, kalau kamu sungguh-sungguh.”

“Iya om, saya tentu mau, tapi pekerjaan apa dulu om?”

“lha kamu itu, engga usah banyak tanya, semua pekerjaan kan kamu mau. Halal. Haram. Kalau ada kesempatan prinsipnya,yang ga bener pun, saya rasa kamu embat juga.”

Asem. Mentang-mentang punya ilmu baca pikiran. Makiku dalam hati.

“Jaga Kuburan dan Gali Kuburan. Urusin Hantu-hantu dan Setan Gentayangan. Itu pekerjaannya. Mau?”

Aku jadi teringat iklan operator paling konyol. Siapa yang mau begoooo? Pekerjaan ‘mulia’ begitu. Dipikir gua udah ga sayang nyawa apa?

–//–

Dia keluarin segepok uang dari dalam lemarinya.

“Nah, ini uang 3 juta. Ini upah karena kamu telah datang kesini.”

Buseet. Banyak amat? Cuma karena gw datang kesini? Weits, ini pasti ada udang di balik pintu nih.
Tapi tangan tidak bisa menolak. Aku raup uang itu dan menjejalkannya ke kantong baju dan celana.

“Terimakasih .. terimakasih ..” ucapku sigap.

“Kuburan mana yang harus saya jaga, mas, eh Om,” tanyaku.

“Kuburan Kandang Kawat inilah,” ucapnya.

“Hah, serius om, ini kan wilayah kekuasaannya om.”

“Ah, sudahlah. Mulai hari ini. Kamu yang pegang kendali. Kalau ada setan datang, usir. Kalau ada hantu, tanya maunya apa, ladenin. Kalau ada yang mati, gali tanah. Kalau tanahnya abis, tumpuk-tumpukin saja mayatnya yang udah lama.” Dia berbicara seenaknya dan demikian cepatnya.

“Dan terakhir. Jaga kuburan ini dari maling kuburan. Manusia tuh lebih bahaya daripada setan gentayangan.”

–//–

“Wah om tidak kasih saya pilihan nih. Ya jangan gitu om. Setidaknya ajarin dulu lah om. Saya kan ga ada bakat urus kuburan dan hantu..” setengah memelas hampir menangis.

“Pilihan apa? Oke saya kasih kamu pilihan. Sekalian saya ajarin cara urus hantu.”

Dia diam beberapa saat. Tiba-tiba diluar petir menggelegar, dan angin berhembus kencang.

“Pacar kamu, pacar kamu meninggal ya dua bulan yang lalu?” suaranya berubah, terdengar berat dan berwibawa.

“I .. Iya .. Kenapa gitu?”

“Saya mau panggil kesini.”

“Wah.. wah jangan mas Bernard .. ga usah repot-repot.” Aku mulai merasa menahan pipis di celana.

Dia diam namun mulutnya berkomat-kamit.

Tiba-tiba lampu ruangan meredup, dan tercium bau melati yang sangat aneh menyeruak menusuk indra penciuman.

“Hai sayang.” Suara pacarku yang sudah meninggal memanggil halus.

“BWaaAAWaaawwwhhhh ….” Aku terpekik dan terkencing-kencing di celana.

“Ini pacarmu kan?”

“Bu.. bu .. kan .. Ini mah setan. Pacar saya sudah meninggal ga mungkin balik lagi.” Aku terbata ketakutan setengah mati.

“Coba suruh dia lakukan sesuatu, Rahan.”

“.. Seduhin kopi saya lagi,” kataku ..

Hantu wanita yang menyerupai ujud pacarku pun melakukan apa yang kuperintahkan.

“Nah, sekarang saya sudah selesai mengajari kamu cara menangani hantu. Gampang kan? Sekarang saya akan memberi kamu pilihan. Pilih mana, jadi penjaga kuburan atau ikut sama pacar kamu ini?”

Mampuuusss… pilihannya enggak banget.

Si hantu centil melambai, “Ayo sayang, ikut aku saja, disini enak lho, ayo. Kamu kangen kan sama aku?”

“Engga deh ,.. makasih .. masih mau hidup. Saya jadi penjaga kuburan saja mas Bernard.”

“Oke kalau begitu. Pilihan yang tepat. Selamat bekerja ya, bye.”

Tiba-tiba gelegar petir terdengar begitu keras, sehingga membuat aliran listrik menjadi tak stabil dan lampu rumah berkelap-kelip beberapa saat. Saat semuanya kembali terang, tidak ada lagi Bernard, tidak ada lagi hantu itu.
Aku bersiap kabur. Namun, ketika aku tak sengaja melewati cermin besar, kudapati wajah dan tubuhku sudah berubah menjadi Bernard! ….
Di luar ramai suara langkah orang.. Aku singkap tirai. Ternyata warga.

“Mas Bernard, Mas Bernard, buka pintunya mas. Ada yang mati nih, harus dikubur.” Ucap warga banyak.

“Ya sebentar.” Aku mencoba tenang.

Ketika kulihat ke luar, ternyata jenazah yang digotong warga di keranda itu adalah aku!

“IBUUUUUU!!!!!!!” teriakku melolong di tengah kegelapan malam.

THE END
Iswara
0

Leave a Reply

Basic HTML is allowed. Your email address will not be published.

Skip to toolbar